Fiction
1001 Hari di Hong Kong [5]

25 May 2012

<< cerita sebelumnya

Aku juga rewel pada gadis ketiga ini. Dari semula, ia memang kelihatan paling ramah dan tulus. Tetapi, aku ingin mencobanya. Apakah ketulusan yang kulihat itu terpancar sungguh dari dalam hatinya? Maka, kecerewetanku makin menjadi. Aku kerap membangunkannya tengah malam untuk minta diantar ke toilet atau sekadar minta segelas air putih hangat. Pasti tidak mudah dan tidak menyenangkan bangun tengah malam hanya untuk membantu seorang perempuan tua. Kupikir, akan lebih bagus kalau akhirnya dia tidak kerasan dan minta berhenti. Dengan begitu, aku bisa menarik perhatian anak-anakku lagi.

Tetapi, dia selalu membantuku dengan senang hati. Tak pernah sekali pun bibirnya cemberut, meski matanya terkantuk-kantuk. Aku cukup sekali memanggilnya ‘uh… uh…’, ia langsung bangun dan membantuku. Tidak seperti dua gadis sebelumnya, yang begitu malas dan membiarkan aku tersiksa.

Melihatnya begitu sigap membantuku, tanpa berkeluh-kesah, akhirnya, aku merasa tak pantas merepotkannya atau melampiaskan kekesalanku kepadanya. Sehingga, tiap kali sebelum tidur, aku selalu meminta diantar ke toilet terlebih dahulu dan meminta segelas air putih hangat dan sedotan di meja kecil samping tempat tidurku.

Bukan itu saja. Ia juga sangat cekatan dan telaten. Ia tidak sekadar membersihkan butir-butir nasi yang berhamburan ketika aku makan sendiri dengan tangan kiri, tetapi juga telaten menyuapiku. Setelah aku selesai makan, ia selalu memberiku lap untuk membersihkan mulutku, lalu mengambilkan obat-obatan yang diberikan dokter untukku.

Ada lagi. Gadis itu juga suka berbicara. Aku hanya berucap ‘uh… uh…’, tetapi ia bisa menjawab panjang lebar dengan mata bulatnya menatapku jenaka. Ia berbicara tentang apa saja. Sambil memasak, ia berbicara. Ketika membersihkan rumah, ia menyanyi. Jika mendorong kursi rodaku, ia bercerita. Ia hanya diam ketika sedang tidur. Ia bicara apa saja yang ia lihat. Aku tidak tahu, apakah ia berbicara pada dirinya sendiri, pada burung-burung, atau pada diriku. Yang jelas, setiap kali ia mengakhiri bicaranya, ia selalu menoleh kepadaku dan memberikan sebuah senyum lebar yang jenaka.

“Bobo sudah ingin makan? Ingin makan apa hari ini? Bubur atau nasi? Hari ini saya masak cha sam choi (ca sayur caisim) dan phou kei kiok thong (sup kentang dan ceker ayam).”

“Udara sangat cerah. Bobo ingin jalan-jalan?”

“Bobo ingin menonton televisi? Baiklah, ingin acara apa? Ada Wenny Yeung siu ce (nona) di channel delapan.”

Ia juga suka bicara pada burung-burung peliharaan Yau Man.

“Halo, Ken, apa kabarmu hari ini? Sangkarmu sudah kubersihkan. Ini air minummu yang baru. “Hai, Jon, kemarin Bobo dan aku berjalan-jalan cukup lama. Apakah kamu kesepian? Tapi, bukankah di rumah banyak teman?”

Mula-mula aku merasa terganggu karena ia selalu berbicara panjang lebar. Aku tidak suka gadis yang terlalu banyak bicara. Apalagi, selama ini aku cuma tinggal berdua dengan Yau Man dan Yau Man juga tidak pernah banyak bicara. Akhirnya, lama-kelamaan, aku merasa gadis berkulit cokelat ini lucu juga. Sehingga, aku merasa kehilangan bila tidak mendengar suaranya.

“Bobo, kenapa tidak suka berkumpul dengan teman-teman?” ia bertanya ketika aku menyuruhnya untuk mencari tempat agak ke pinggir di taman.

Aku diam. Apa urusanmu aku suka atau tidak suka berkumpul dengan teman-temanku? Jika kau jadi aku, apakah kau suka mendapatkan pertanyaan seputar, “Bagaimana kesehatanmu? Ah, kamu masih belum bisa berjalan. Wah, ini gadis ketiga yang merawatmu. Tentunya, susah sekali merawat orang stroke. Kenapa kamu tidak mencoba terapi?” Dan, pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku sadar bahwa aku benar-benar merepotkan orang lain.

“Tetapi, duduk di sini juga nyaman. Tidak terlalu ramai dan banyak orang,” gadis itu menjawab sendiri pertanyaannya tadi.

Siapa bilang tidak ramai? Ocehanmu sudah cukup ramai di dalam kesendirianku, sergahku dalam hati.
“Hari ini matahari hangat sekali, Bobo. Seperti matahari di desaku,” ia berkata, sambil mengambil tempat duduk di depanku.

Aku sudah tahu bahwa matahari bulan Oktober sangat nyaman. Tidak usah kau beri tahu lagi. Karena itu, aku ingin berjalan-jalan keluar. Tetapi, katanya, seperti matahari di desanya? Seperti apa desanya?

“Desaku cantik sekali, Bobo. Di sana tidak ada gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti di Hong Kong. Yang tampak menjulang adalah Gunung Merbabu. Di sepanjang jalan menuju desaku, banyak sawah dengan sistem tanam dan pengairan bertingkat. Sawah-sawah itu melingkari punggung gunung. Indah sekali dipandang mata.

Udaranya sejuk. Airnya dingin karena dari pegunungan. Di sana, aku bisa mendengar suara angin yang bergesekan dengan pelepah pisang, suara air bergemercik mengairi sawah, sampai suara jangkrik bersahutan ketika malam. Juga ada suara burung dan ayam. Tetapi, burung-burung di desaku terbang bebas, tidak seperti burung-burung yang kita pelihara. Tentu mereka sedih sekali hidup di dalam sangkar seperti itu.”

Hmm… kedengarannya menarik sekali. Memang di Hong Kong ada gunung. Tetapi, bukan sawah yang menghiasi sisi-sisi tebingnya, melainkan gedung-gedung tinggi. Di Hong Kong, telingaku tidak pernah mendengar desis angin atau gemercik air. Yang terdengar hanya ketukan langkah sepatu ribuan pasang kaki manusia yang berlomba dengan detik jarum jam. Bahkan, untuk mendengarkan suara kicau burung, aku harus memeliharanya dalam sangkar.

“Rumahku jauh di puncak gunung. Dari jalan raya harus masuk kurang lebih lima kilometer melalui jalan berkelok tajam naik dan turun. Jalanan itu belum beraspal. Hanya berupa batu-batu gunung yang disusun. Kalau hujan, batu-batu itu licin sekali. Di samping jalan ada semak-semak dan jurang.”

“Uh… uh…,” aku tidak tahan hanya diam saja mendengar ceritanya. Aku tahu, mungkin ia tidak mengerti. Tetapi, aku ingin menanyakan bagaimana caranya bisa sampai ke rumahnya kalau jalannya saja begitu sulit.

“Kalau hendak naik ke rumah atau turun ke kota, kami naik ojek. Wah, ojek di desaku hebat-hebat. Mereka seperti pembalap. Tidak semua orang bisa mengendarai motor seperti itu. Ketika tanjakan tajam, penumpangnya seakan ikut melorot ke belakang. Tetapi, ketika jalannya melandai turun, penumpang di belakang juga ikut merosot ke depan.” Gadis itu bercerita dengan ceria.

Mau tidak mau, aku juga tertawa ketika mendengar ceritanya.

Menggembirakan sekali mendengar cerita gadis ini.

“Ah, aku jadi kangen desaku. Aku ingin pulang,” gumamnya, tiba-tiba.

Jangan! Jangan pulang! Aku menyergah. Tapi, yang keluar dari mulutku cuma ‘uh… uh…’ lagi.

Kuraih tangannya. Hangat seperti matahari bulan Oktober.


Penulis: Lan Fang
Pemenang Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?