Fiction
1001 Hari di Hong Kong [4]

25 May 2012

<< cerita sebelumnya

Dulu, aku tidak mengeluh jika anak-anakku rewel atau menangis. Sekarang, saat aku hanya minta diperhatikan, mereka bilang aku cerewet.

Tina Ng, Desember 2004, Kelenteng Wong Tai Sin
Beberapa hari lagi tahun baru.
Udara sangat dingin menjelang tahun baru. Tetapi, pagi-pagi Bobo sudah ‘uh… uh…’ memanggilku. Tangan kirinya bergerak-gerak memintaku untuk mengganti bajunya. Setelah bersama Bobo cukup lama, aku mulai mengerti, bila ingin berganti baju, akan keluar rumah.

“Mau keluar? Di luar udara sangat dingin,” kataku.

“Uh… uh…,” jawabnya.

“Tunggu sebentar. Aku siapkan sweater dan syal. Kita mau ke mana?”

Aku hanya mendorong kursi rodanya sesuai petunjuk arah darinya. Ke kanan, ke kiri, lurus, menyeberang, dan seterusnya. Kami terus memasuki MTR. Aku tak tahu, ia hendak ke mana.

Ketika masuk ke dalam kereta bawah tanah, orang-orang menepi dan memberikan tempat karena melihat Bobo menggunakan kursi roda. Akhirnya, kami berhenti di tengah kota dekat stasiun kereta bawah tanah. Bobo terus menunjukkan arah sampai kami berhenti di sebuah kelenteng. Kelenteng Wong Tai Sin, kelenteng tertua di Hong Kong.

Kulihat, cukup banyak orang bersembahyang, menyalakan lilin dan mengangkat hio. Kepulan asap hio memenuhi ruangan kelenteng itu. Aromanya khas dan semerbak. Mengikat gumpalan udara di dalam wangi yang mencair ke dalam seluruh rongga dada.

“Ada apa?” tanyaku, kepada seorang wanita separuh baya yang tiba bersamaan dengan kami.

“Ini mau sembahyang menyambut tahun baru,” sahutnya, seraya tersenyum. Lalu, ia bertanya kepada Bobo, “Mau bersembahyang juga?”

Bobo cuma menjawab dengan senyuman. Aku tahu, tugasku adalah memberi jawaban pada wanita itu. Karena, Bobo tidak suka bila orang lain mengetahui bahwa ia cuma bisa berkata ‘uh… uh….’ Karena itu, ia lebih banyak memilih diam jika ditanya orang yang tidak dikenal.

“Ya, Nenek juga mau bersembahyang.”

Bukan sok tahu bila aku memberi jawaban seperti itu. Tetapi, untuk apa lagi Bobo pergi ke kelenteng kalau bukan untuk bersembahyang?

Kupikir, jawabanku tidak salah. Karena, Bobo juga memberikan anggukan dan senyum ramah kepada wanita itu.
Selanjutnya, tanpa disuruh, aku sudah harus mengerti sendiri apa yang harus kulakukan. Aku harus menyulut hio dan lilin untuk setiap altar. Dari pintu paling depan, aku memapah Bobo agar ia mengangkat hio untuk mengagungkan Thian (Tuhan), lalu berjalan menopang bagian belakang tubuhnya, sambil setengah memapahnya. Karena, ia hanya bisa berjalan dengan menyeret-nyeretkan langkah kaki kanannya yang lumpuh, dari meja altar yang satu ke meja altar berikutnya.

Setelah selesai mengelilingi seluruh meja altar di Kelenteng Wong Tai Sin, aku memapah Bobo kembali ke kursi rodanya yang kutitipkan di bagian depan. Tentu melelahkan bagi orang tua setengah lumpuh seperti dia untuk berjalan bersembahyang mengelilingi kelenteng besar ini.

Ditambah dengan berjejalnya orang yang masing-masing membawa batang-batang hio. Tetapi, Bobo bisa menyelesaikannya dengan baik. Hatiku trenyuh melihatnya. Kurasakan degup jantungnya yang menderu ketika aku memapahnya dengan memeluk tubuhnya dari belakang.

“Bobo capek?” tanyaku, setelah membantunya duduk di atas kursi roda. Semestinya, tidak perlu kutanyakan karena napas hangatnya menampar-nampar pipiku, dadanya yang tipis berlomba turun-naik dengan helaan napasnya.

Aku memarkir kursi roda itu agak ke pinggir supaya tidak tersenggol orang lain yang memadati kelenteng. Aku mengangkat tuas rem, supaya kursi roda itu tidak bergerak-gerak. Lalu, aku melangkah ke meja yang di atasnya terdapat cawan-cawan dan teko-teko teh. Aku menuangkannya untuk Bobo.

Mata tua itu berseri ketika aku mengangsurkan teh untuknya. Tanpa disangka, sebelum menerima cawan teh itu, tangan kirinya terulur, menepuk-nepuk pipiku. “Uh… uh…,” ujarnya seperti biasa.

“Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyaku, tidak mengerti.

“Uh… uh…,” kali ini mulutnya membentuk sebuah senyum lebar. Garis-garis keriput di sekitar bibirnya terangkat ketika ia memberikan senyum kepadaku. Mungkin, sebuah senyum terima kasih, pikirku. Karena, hatiku mendadak terasa hangat ketika melihat pancaran kebahagiaan di wajahnya.

Ketika akan pulang, aku mulai mendorong kursi roda Bobo. Kurasakan telapak tangan kirinya yang keriput itu menggenggam tanganku. Perasaan nyaman mengalir ke segenap penjuru batinku. Ketika pandangan kami bertaut, tidak ada kata-kata lagi untuk menguraikan kebahagiaan yang kami rasakan.

Mendadak, aku merasa, hari esok akan lebih baik.

Bobo Ng, Oktober 2004, di sebuah taman
Seperti yang setiap hari kulakukan.
Di bulan Oktober udara sangat nyaman. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Anginnya sejuk dan sepoi. Aku suka berjalan-jalan di taman, menikmati hangatnya matahari pagi, dan menghirup dalam-dalam udara segar yang memenuhi paru-paruku yang makin tua. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati kesegaran bulan Oktober ini.

Di Hong Kong, sulit sekali mencari sejengkal tanah untuk menikmati udara segar karena tiap jengkal tanah pasti dipergunakan untuk membangun gedung-gedung pencakar langit. Tetapi, setiap kompleks apartemen selalu menyediakan tempat lapang, yang dihiasi kursi, pohon, dan ayunan.

Gadis ketiga ini mendorong kursi rodaku pelan-pelan, memutari taman. Sudah tiga bulan ini dia merawatku. Dia rajin, sabar, telaten, dan cukup pintar untuk mengerti ‘uh… uh….’ Ia tidak jorok seperti gadis Cina itu dan tidak sok pintar seperti gadis yang selalu berbahasa Inggris dengan Yau Man.

Ia selalu menanyakan apa yang aku suka dan apakah aku setuju dengan yang dilakukannya. Sebelum menyekaku, ia selalu bertanya dan menyuruhku merasakan air yang disiapkannya. Ia juga tahu bahwa aku tidak suka dipaksa-paksa mengejan di toilet. Ia cuma membantu memapahku ke toilet, bila aku memanggilnya. Lalu, ia mendudukkan aku di toilet, menyiapkan tisu di sampingku, dan menutup pintu. Jika sudah selesai, aku akan memanggilnya ‘uh… uh….’ Lalu, ia masuk dan membantuku merapikan pakaian.

Ia juga cekatan membersihkan rumah dan memasak. Ia selalu bertanya padaku, ingin makan apa untuk hari ini. Ia tidak pernah lupa meletakkan obat-obatku. Ia juga tidak pernah sok tahu mendorong kursi rodaku ke arah teman-teman sebayaku yang duduk di bangku taman.

Aku kesal pada anak-anakku, yang mengatakan aku cerewet, bawel, dan rewel karena menderita stroke ini. Mereka merasa aku merepotkan mereka, sehingga mencari orang lain untuk menjaga dan merawatku. Gadis-gadis tidak becus itu menyalahkan aku karena aku cerewet.

Sebagai pelampiasan kekesalanku, ada saja yang kurasakan tidak beres. Makin lama makin kucari-cari alasannya. Bahkan, gadis-gadis yang tidak becus itu sering kubangunkan tengah malam dengan berbagai alasan. Tentu akhirnya mereka tidak betah merawatku. Dengan begitu, anak-anakku akan kembali memerhatikanku. Aku cuma ingin diperhatikan.

Aku juga rewel pada gadis ketiga ini. Dari semula, ia memang kelihatan paling ramah dan tulus. Tetapi, aku ingin mencobanya. Apakah ketulusan yang kulihat itu terpancar sungguh dari dalam hatinya? Maka, kecerewetanku makin menjadi.

Aku kerap membangunkannya tengah malam untuk minta diantar ke toilet atau sekadar minta segelas air putih hangat. Pasti tidak mudah dan tidak menyenangkan bangun tengah malam hanya untuk membantu seorang wanita tua. Kupikir, akan lebih bagus kalau akhirnya dia tidak kerasan dan minta berhenti. Dengan begitu, aku bisa menarik perhatiananak-anakku lagi.


Penulis: Lan Fang
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?