Fiction
1001 Hari di Hong kong [1]

25 May 2012

Tina Ng, Desember 2005, Quarry Bay
Ini hari Minggu.
Jalanan lebih padat dibanding hari-hari biasa. Padahal, udara sangat dingin karena sudah memasuki bulan Desember. Aku melenggang santai menuju stasiun MRT menuju Victoria Park. Tidak ada alasan untuk terburu-buru karena hari Minggu adalah hari mutlak untukku. It’s time to hang out! Dan, udara dingin ini pun tidak membuat acara kumpul-kumpul dengan teman di Victoria Park terganggu.

Semua pekerjaan sudah kuselesaikan. Tugas dari Yau Man, mengedit sebagian naskah dan artikel, serta membalas e-mail sudah kuselesaikan kemarin. Selain itu, semua pekerjaan rumah sudah kubereskan sebelum aku keluar rumah. Aku sudah menyapu lantai, membersihkan dapur, menyiapkan sarapan pagi dan makan siang untuk Bobo (nenek) dan Yau Man. Biasanya, aku sudah pulang menjelang petang untuk menyiapkan makan malam. Semua obat-obat Bobo sudah kusiapkan.

“Uh… uh…,” Bobo menggumam ketika aku pamitan padanya.

“Saya akan pulang sebelum pukul lima sore,” jawabku dalam bahasa Canton.

“Uh… uh…,” Bobo lagi-lagi berkata begitu.

“Ya, saya akan hati-hati,” sahutku.

Entah kenapa, aku selalu menjawab ‘uh… uh…’ Bobo, walaupun aku tidak tahu apa yang dikatakannya.

Bobo baru berusia enam puluh tahun. Sebetulnya, belum terlalu tua. Tetapi, stroke membuat tubuh sebelah kanannya tidak bisa digerakkan, sehingga ia harus menghabiskan waktunya di kursi roda dan cuma bisa mengatakan ‘uh… uh…’. Jika ada sesuatu yang diperlukan, ia hanya memanggilku dengan ‘uh… uh…’, lalu berbicara ‘uh… uh… uh…’, kadang-kadang disertai gerakan tangan kiri.

Awalnya, aku sulit mengerti maksudnya. Tetapi, aku berusaha mengerti keinginannya dengan mengikuti aktivitas irama tubuhnya setiap hari. Pagi-pagi, aku membersihkan tubuhnya, membantunya ke kamar mandi untuk buang air, meletakkan beberapa lembar tisu di sampingnya. Bobo masih bisa membersihkan kotorannya sendiri, asal aku menyediakan tisu. Ia tidak suka aku memperlakukannya seperti bayi. Setelah selesai, ia akan memanggilku ‘uh… uh…’ lagi, lalu aku memapahnya dari kamar mandi kembali ke kursi rodanya.

Kemudian, aku menyiapkan sarapan paginya. Bobo hanya sarapan dengan semangkuk bubur encer dan pak lobak (sayur lobak putih). Kadang-kadang, aku menyuapinya. Tetapi, kadang-kadang, ia lebih suka mencoba makan sendiri dengan tangan kirinya. Setelah selesai makan, biasanya Bobo juga akan ‘uh… uh…’ lagi kepadaku. Aku mengerti, ia minta diajak berjalan-jalan menikmati matahari pagi. Aku akan mendorong kursi rodanya, lalu berjalan-jalan di taman di dalam kompleks apartemen kami. Di sana banyak juga orang tua yang berkumpul, sekadar bertukar cerita, sambil minum teh. Kalau Bobo hendak pergi agak jauh, tangan kirinya akan memberikan petunjuk arah ke mana aku harus mendorong kursi rodanya.

Semua berjalan seperti itu setiap hari. Sehingga, lama kelamaan, aku sudah terbiasa dengan irama hidupnya. Hampir tidak ada kesulitan lagi bagiku untuk menyesuaikan diri dengan ‘uh… uh…’ Bobo.

Di apartemen itu, Bobo tinggal bersama anak bungsunya, Yau Man. Seorang pria muda yang super sibuk, menurutku. Ia berangkat pagi-pagi setelah minum segelas kopi, meraih koran pagi, memakai jas, dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Ia jarang bicara denganku. Kalaupun bicara, ia hanya berpesan, “Jangan lupa memberi makan burung-burung.” Itu saja. Ia memelihara beberapa ekor burung. Tetapi, aku yang bertugas memberi makan dan minum, serta membersihkan sangkarnya setiap minggu.

Kemudian, ia pulang setelah langit gelap dan sinar-sinar lampu di Hong Kong mengalahkan kerlip bintang di langit. Bobo selalu menunggunya untuk makan malam bersama. Setelah makan malam, mereka duduk menonton televisi sebentar, sementara aku membersihkan dapur. Aku jarang sekali mendengar mereka berbincang-bincang. Mungkin, karena Bobo cuma bisa mengatakan ‘uh… uh…’. Setelah dapur kubereskan, aku akan mendorong kursi roda Bobo ke kamar, memapahnya naik ke tempat tidur, menyelimutinya, lalu mengucapkan, “Selamat malam, Bobo….”

Aku masuk ke kamarku sendiri.

Yau Man lalu meneruskan pekerjaannya sampai tengah malam.

Setiap hari, seperti itulah yang kukerjakan di rumah ini.

Ng Yau Man, Agustus 2004, di rumah
Ini hari Minggu.
Cece (kakak perempuan) membawa seorang gadis lagi ke rumah. Ini adalah gadis ketiga yang dibawa Cece untuk Mama.

Sebelumnya, seorang gadis Cina bernama Amey. Ia pintar memasak. Tetapi, Amey hanya bertahan sebulan di rumah. Kami tidak suka padanya. Ia tidak rapi, ,jorok dan kotor. Lalu, kami mengembalikannya ke agen, tempat kami mengambilnya.

Gadis kedua yang dibawa Cece adalah gadis Filipina. Namanya Luna. Bahasa Inggrisnya bagus, padahal ia tidak menyelesaikan sekolah menengah di negaranya. Aku tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengannya dalam Bahasa Inggris. Tetapi, ia juga cuma bertahan sebulan di rumah kami. Karena, walaupun ia bisa berkomunikasi denganku, ia tidak bisa mengerti apa yang diinginkan Mama dengan bahasa ‘uh… uh…’. Padahal, kami membutuhkannya untuk merawat Mama. Bukan merawatku.

Mama sudah enam bulan mengalami stroke dan hanya duduk di kursi roda. Tubuh sebelah kanannya tidak bisa digerakkan. Lumpuh total karena serangan hipertensi. Hanya tubuh sebelah kirinya yang masih bisa digerakkan. Tetapi, sudah pasti, sangat sulit melakukan kegiatan dengan tubuh sebelah kiri. Selain itu, stroke itu juga membuat Mama kesulitan bicara. Ia hanya mampu mengatakan ‘uh… uh…’, sambil menggerak-gerakkan tangan kirinya.

Aku tinggal berdua dengan Mama di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Ada tiga kamar dan dua kamar mandi, selain sebuah dapur di apartemenku. Lantainya dilapis kayu sehingga ketika musim dingin, hawa hangat bisa menguap dari kayu itu. Dan, ketika musim panas, kayu bisa menyerap udara panas menjadi lebih sejuk.

Selain itu, aku juga memelihara beberapa ekor burung karena Mama suka mendengarkan kicau burung di pagi hari. Memang, sulit sekali mendengarkan kicau burung di antara sela-sela gedung pencakar langit di Hong Kong. Sebelum terkena stroke, Mamalah yang selalu memberikan makan dan membersihkan sangkar burung-burung itu. Tetapi, sejak mengalami stroke, mau tidak mau, itu menjadi tugasku.

Sebetulnya, masalah memberi makan dan membersihkan sangkar burung-burung itu bukanlah tugas yang berat. Yang lebih berat justru tugas merawat Mama karena ia selalu membutuhkan bantuan orang lain. Tetapi, aku tidak mungkin tinggal selama 24 jam merawat dan menjaganya. Karena, aku bekerja di bagian redaksi, sebuah majalah wanita di Hong Kong. Pekerjaanku selalu padat dan dikejar-kejar deadline. Karena, majalah kami terbit seminggu sekali dengan oplah yang cukup besar. Kadang-kadang, aku bahkan bekerja sampai larut malam. Sehingga, sulit jika harus ditambah tugas merawat Mama. Lagi pula, sulit sekali bagi seorang pria merawat wanita tua yang terkena stroke, walaupun itu ibunya sendiri.

Aku belum menikah. Aku tidak keberatan Mama tinggal bersamaku. Karena, memang sudah seharusnya Mama tinggal bersama anak laki-lakinya. Tunanganku, Wenny Yeung, seorang model. Ia cantik, tinggi semampai, dan sangat photogenic. Kariernya sedang berada di puncak dan jadwal pemotretannya sudah sangat padat. Tidak mungkin dia merawat Mama. Itu menjadi kesulitan baru. Karena, aku tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian di rumah setiap hari.

Kakak perempuanku ada dua. Keduanya sudah menikah. Yang sulung, masih tinggal bersama mertuanya. Ia tidak bekerja. Tetapi, karena ia masih tinggal serumah dengan mertuanya, tentu ia tidak bisa merawat Mama. Yang kedua mempunyai dua anak, yang masih berusia tiga tahun dan setahun. Ia sudah cukup direpotkan dengan kedua anak kecilnya, sehingga tidak mungkin sempat merawat Mama.

Gadis ketiga yang dibawa Cece ke rumah hari ini berkulit kecokelatan. Ia tidak banyak bicara kecuali menyapaku, “Hallo, how are you?” Aksennya jauh dari bagus. Tetapi, ia tersenyum. Cukup manis dan ramah. Kelihatannya ia gadis periang.

Aku tidak menanyakan siapa namanya dan dari mana asalnya. Kurasa, itu tidak terlalu perlu. Toh, nanti aku akan tahu dengan sendirinya. Aku juga sudah tidak terlalu mempermasalahkan, apakah dia bisa berbahasa Inggris atau tidak, apakah ia pintar memasak atau tidak, apakah ia jorok atau tidak, atau hal–hal lainnya. Yang penting, ia bisa merawat, menemani, dan mengerti Mama. Karena, itulah yang akan dihadapinya setiap hari.


Penulis: Lan Fang
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?