True Story
Warna-Warni Membesarkan Anak Asperger

29 Apr 2016


Foto: Fotosearch
 
I am an Aspie. Begitulah judul tulisan autobiografi yang ditulis Tyas (23) untuk tugas sekolahnya saat SMA dulu. Dalam tulisannya, pria bernama lengkap Antonius Tyaswidyono Moerti itu mencurahkan kegelisahan dan gejolak emosional yang dilaluinya sebagai penyandang Asperger, spektrum autisme yang membuatnya menonjol di tengah kerumunan, sekaligus kerap tersingkir dalam pergaulan. Namun, dukungan besar dari keluarga membuatnya tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya bisa menerima dirinya, tapi juga rajin berkarya.
 
Jelas, Tapi Tak Terbaca
There is a quest in every question.” Ungkapan ini tercetak di atas kaus hitam yang dikenakan oleh Tyas, Minggu (17/4), saat kami bertemu. Ada pencarian di balik tiap pertanyaan. Bagi Tyas, kata-kata itu tidak hanya lewat tanpa makna. Ia benar-benar menghidupinya! Pria yang bertugas membantu para profesor dan pakar untuk menjawab rasa penasaran anak-anak di www.anakbertanya.com itu sangat menikmati berbagai pencarian di hidupnya.
 
“Ia banyak menyimak dan mempertanyakan hal-hal yang lolos dari perhatian orang awam,” tutur Caecilia Hari Moerti, sang bunda. Seperti saat Tyas menginformasikan kepadanya, bahwa di sepanjang misa, Romo menyebut kata ‘Kristus Raja’ sebanyak 43 kali.
 
Meski tak tentu kegunaannya, bagi Tyas, informasi itu penting, dan menggugah rasa ingin tahunya. Sama seperti ketika ia mempertanyakan, mengapa manusia membuat hiu terlihat sebagai hewan buas yang siap memangsa manusia.
 
Siang itu, Tyas sedang bersiap untuk sebuah acara talk show. Ia hendak membagikan pengalamannya sebagai seorang Aspie, sapaan bersahabat bagi mereka yang hidup dengan sindrom Asperger. Tyas didiagnosis menyandang Asperger syndrome saat SMP, setelah melalui tujuh tahun observasi dan terapi.
 
Selama tujuh tahun pencarian tersebut, begitu banyak gejala yang terlihat, tapi tak terbaca dengan benar oleh mereka. Dan memang, dari sisi penampilan, orang tidak tahu bahwa ada yang berbeda dengan Tyas. Ia bisa berkomunikasi, merangkai kata serta kalimat dalam susunan berbahasa yang baik dan benar.
 
“Hanya saja, isi pembicaraannya selalu seputar hiu, paus, dinosaurus, lengkap dengan nama Latin-nya,” cerita Caecilia. Ketertarikan Tyas terhadap hiu dan teman-temannya ini berawal sejak ia masih berusia 2 tahun. Hingga semua barang-barangnya pun bertemakan hiu atau ikan-ikanan. Sampai-sampai, ia merasa telah ‘berselingkuh’ ketika akhirnya berkuliah di Jurusan Aeronautics Institut Teknologi Bandung (ITB). “Buat Tyas, hiu sudah seperti ‘istri’ saja,” ujar Caecilia, tertawa.
Sejak usia 5 tahun, Tyas sudah terobsesi menjadi profesor di laboratorium penelitian kelautan Mote Sarasota, di Florida, Amerika Serikat. Ia juga ingin bekerja di The Scientific Centre of Monaco, pusat riset oceanography di Monako. “Saya baru tahu ada tempat dengan nama-nama seperti itu,” ungkap Caecilia, yang berprofesi sebagai seorang dosen.
 
Kira-kira usia 2,5 tahun, Tyas sudah bisa membaca. Ia mempelajarinya secara autodidak saat kedua orang tuanya menunjukkan beragam merek kue kegemarannya, nama toko tempat mereka biasa berbelanja, atau berbagai merek mobil.
 
Di usia 5 tahun, Tyas minta sekolah ke SD. Menanggapi keinginan Tyas ini, Caecilia membawa putranya itu ke psikolog. Hasilnya, skor IQ Tyas mencapai 154, artinya putranya adalah seorang genius!
 
Kemampuan bahasanya tinggi, makin bertambah usia,  makin baik. Kalau orang lihat dia bicara dalam bahasa Inggris, orang menyangka dia ikut kursus. Padahal, semua itu dipelajarinya secara autodidak. Bahkan, para native speaker yang ditemui Tyas mengira putranya itu pernah tinggal di Inggris. Sebab, Tyas tahu jalan-jalan di Inggris, program TV mereka, seperti Dr. Who dan sebagainya. Selama mengobrol dengan femina, Tyas pun berbahasa Inggris sangat fasih.
 
Namun, yang berbeda dengan anak-anak seumurnya saat itu, meski nilai IQ-nya tinggi, ada ketidakseimbangan antara performance dan verbal. Meski lancar membaca, Tyas tidak bisa menulis hingga kelas 1 SD. Sampai-sampai, Tyas pernah memohon untuk mengikuti ulangan secara lisan.
 
Tentu saja permintaan ini menjadi masalah. Sebab, pihak sekolah menuntut dia untuk bisa menulis. Alhasil, nilai akademisnya buruk. Ia terancam tidak naik kelas. Bahkan, ada gurunya yang menuduh Tyas sebagai idiot. Ia juga menjadi bahan bullying teman-temannya.
 
Ditambah lagi, perceptual quotient (PQ) Tyas termasuk buruk. “Secara knowledge dia siap sekolah, tetapi secara maturity masih kurang sekali. Ini saya rasakan sampai ia besar, sampai   saat ini masih sering bicara sendiri di mana pun,” ujar Caecilia.
 
Sampai sekarang, ketika mendengar ada pesawat melintas di atas gereja, Tyas akan mengikuti suara pesawat dengan gerakan kepalanya, lalu bergumam sendiri. “Hanya ingin memastikan jenis pesawat dan kecepatannya,” jelas Tyas, saat ditanya tentang isi gumamannya. Masalahnya, lokasi gereja tempat mereka beribadah merupakan daerah lintasan pesawat. Caecilia khawatir, ulah putranya ini dapat mengganggu kekhusyukan jemaat yang lain.
 
Dia juga tidak tahan dengan suara tertentu, seperti suara hujan besar, AC, remasan plastik, suara tangis anak-anak, dan beragam suara yang keluar dari pengeras suara. Dia bisa panik dan menjerit histeris saat mendengar suara-suara ini.
 
“Selama tujuh tahun observasi tidak ada psikolog yang bisa menyatakan ada apa dengan anak saya,” keluh Caecilia. Mereka hanya memberikan sensory integrated dan occupation therapy yang tidak berlangsung lama karena kendala waktu dan biaya. “Baru awal tahun 2007 saya mendapat kepastian bahwa anak saya adalah seorang Asperger, dan kami belajar untuk menerima kenyataan ini,” lanjutnya.
 
Kuliah Ditemani Ibu
Meski mengaku telah menerima kondisi putranya, pada kenyataannya perjalanan yang harus dilalui Caecilia dan suaminya, Hari Moerti Witjaksana, sangatlah tidak mudah. Harusnya dia tidak begini, atau begini saja, kok, dia tidak bisa, sih, adalah pikiran yang seriing muncul di benak Caecilia.
 
“Untungnya suami saya easy going. Kalau saya sedang kesal, suami saya  hanya tersenyum dan menyeletuk ringan, ‘Namanya juga Tyas….’ Dia juga yang menjadi ‘pawang’ saat Tyas sedang mengamuk,” papar Caecilia.
 
Sebagai seorang ibu, ada rasa tidak terima ketika putranya mendapat perlakuan buruk dari lingkungannya. Misalnya, ketika Tyas menjadi bahan olok-olokan teman sekolahnya, saat ia diturunkan kelas, dari kelas 2 SD ke kelas 1 SD.
 
Namun, saat kelas 3 SD terbukti bahwa penanganan yang lebih baik dari para guru berhasil membuat Tyas berprestasi. Bahkan, ia pernah meraih peringkat 10 besar di kelas.
 
Namun, tetap saja Tyas menjadi sasaran empuk bullying dari teman-temannya. Bahkan ia pernah mencoba loncat dari lantai tiga tempat kelasnya berada, karena tidak tahan.
 
Saat SMP, ia pernah dipukuli hingga kacamatanya pecah dan kameranya rusak. Para pelaku bullying ini tidak sadar, apa yang telah mereka lakukan itu  memberikan dampak psikologis yang sangat dalam bagi Tyas.
 
Salah satunya yang tak terlupakan adalah saat Caecillia dan suaminya menemukan Tyas tertidur dengan seutas tali di lehernya, seperti berniat hendak bunuh diri. Namun, rupanya ia tertidur setelah lelah menangis. “Lagi, kami mengajaknya untuk belajar tabah dan sabar. Fokus pada prestasi dan menggali potensi-potensinya,” ujar Caecilia.
 
Agar Tyas tidak gampang terusik, ayahnya membiasakan Tyas mendengar bahasa gaul yang kasar. Sehingga, Tyas tidak menerima kata-kata itu sebagai bentuk kemarahan, makian, atau mengejek. Ia juga belajar bagaimana bersikap menghadapi teman yang jail dan kasar.
 
Anehnya, Tyas sangat pemaaf. Ketika Caecilia masih memendam kemarahan kepada pelaku bullying, putranya itu sudah berbaikan bahkan menjadi lebih akrab dengan mereka.
 
“Kalau begini, suami saya sering menggoda, ‘Tuh, Tyas saja bisa memaafkan,’” ujar Caecilia, yang bersyukur mendapat dukungan spirit dan mental dari komunitas Percik Insani, komunitas orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Bandung, tempat mereka tinggal.
 
Sedikit demi sedikit teman Tyas bertambah. Apalagi setelah mereka tahu bahwa Tyas adalah penyandang Asperger, yang memiliki kendala dalam bersosialisasi dan berkomunikasi.
 
Bersama teman sehobinya, Tyas pernah mendesain mobil Camry dan mengirimnya ke Toyota Jepang. Ia juga jadi lebih tenang di kelas sejak guru biologinya melibatkan Tyas untuk merevisi buku pelajaran biologi dalam kelas.
 
Karena Tyas bercita-cita jadi peneliti, maka sejak awal Caecilia dan suaminya telah memasukkan Tyas ke sekolah regular. Untuk nantinya menyiapkan Tyas terjun ke dunia kerja. Padahal, Tyas bercita-cita menjadi seorang peneliti.
 
Hal yang paling mengkhawatirkan bagi Caecilia adalah ketika Tyas mulai kuliah. Peristiwa hampir loncat dari lantai tiga dan tali di leher saat Tyas masih di SD itu benar-benar membekaskan trauma dalam diri Caecilia dan suaminya.
 
Apalagi, di dunia perkuliahan, mereka tidak bisa lagi mengawasi putra mereka, seperti ketika ia masih duduk di bangku SD hingga SMA.
 
“Akhirnya saya putuskan kuliah di tempat yang sama. Jadi saya bisa mendampingi dia tanpa terlihat seperti ibunya,” ucap Caecilia, yang mengambil S-3 Teknik & Manajemen Industri ITB.
 
Dengan begitu, ketika Tyas gundah, ia bisa datang ke ibunya. “Ada yang bilang ini keputusan bodoh, tapi ini jawabannya,” ungkap Caecilia dengan optimisme yang bercampur kepasrahan.
 
Caecilia pun menemani Tyas menemui dosen atau petugas tata usaha. Memberi tahunya bagaimana cara bersikap, menyusun kata atau kalimat. Ia juga mengamati putranya dari jauh, untuk melihat bagaimana Tyas berinteraksi dengan lingkungannya.
 
Kalau dia cenderung apatis, maka Caecilia akan mengirim pesan singkat melalui smartphone, mengingatkan Tyas untuk minimal menyapa teman-teman yang duduk di kanan kirinya, dan menanyakan nama mereka. Ia juga mengingatkan putranya itu untuk tidak melakukan gerakan-gerakan aneh. Sebab, jika tidak sedang bergumam sendiri, tangan Tyas tidak bisa diam.
 
Tyas sering melakukan gerakan-gerakan untuk membuat dirinya nyaman. Waktu kecil dia sering menggulung-gulung bajunya dan menyembunyikan tangannya ke  dalam lengan baju.
 
Makin besar, dia sering menggigit-gigit bibir, dan karena ia bermain gitar bas, tangannya selalu melakukan gerakan seperti sedang memetik senar gitar. “Yang paling menjengkelkan, kalau tangannya sudah membuat gerakan seperti sedang mengemudi, lalu mulutnya menirukan suara Aventador,” cerita Caecilia, menyebut mobil sport Lamborghini itu.
 
“Kalau begini, dia sedang menjadi carspotter,” lanjutnya. Rupanya, saat ini Tyas sedang tertarik menjadi carspotter, seorang pengamat otomotif amatir yang punya pengetahuan banyak tentang mobil, dan gemar mengambil gambar mobil-mobil yang ia temui di jalan. Tak heran, jika di pinggangnya selalu tergantung kamera pocket. Ia juga mengatakan ingin bekerja sebagai salah satu teknisi di perusahaan otomotif Formula 1 McLaren di Inggris.
 
Merencanakan Masa Depan
“Kekuatan saya adalah anak-anak saya,” jawab Caecilia, ketika ditanya apa yang selalu membuatnya kembali bangkit saat hendak menyerah kalah. “Saya menyimpan harapan bahwa pada saat saya ‘tidak ada’ kelak, Tyas sudah mandiri dan tidak terlalu bergantung pada anggota keluarga, seperti orang tua dan adiknya, Vincentius Aditya Khrisna Moerti (18).
 
“Menjadi orang tua anak berkebutuhan khusus bukan hal yang mudah. Keberadaan Vincent membuat kami harus berbagi kasih dan perhatian. Untungnya, sejak kecil Vincent anak yang supel. Bahkan, ia bisa menjadi pendamping yang baik bagi kakaknya,” ungkap Caecilia, senang.
 
Hanya, pernah, sekali waktu Vincent marah, saat melihat kakaknya sulit diberi pengarahan sederhana untuk mengganti baju, mandi, dan makan malam. “Kalau kamu gitu terus, kamu enggak sembuh-sembuh. Aku malu tiap kali ditanya temanku!” teriak Vincent kepada Tyas. Rupanya, ia sering ditanya oleh teman-temannya, “Kenapa kakakmu seperti itu?”  Tiap kali, Vincent akan mendiskusikannya dengan Caecilia, sehingga rasa empatinya kepada sang kakak menjadi tinggi.
 
Tidak hanya itu, Vincent juga suka bertindak sebagai stylist pribadi bagi Tyas. Seperti siang itu, saat femina memotret Tyas. Vincent meminta Tyas untuk melepas jaket yang memang membuatnya terlihat bulky. Ia juga mengarahkan gaya Tyas, agar tidak terlihat kaku. Atau, mengingatkannya untuk tidak lupa tersenyum.
 
Bahkan, untuk masalah percintaan, Vincent sering memberi masukan kepada Tyas. Misalnya,  tidak melulu membincangkan tentang hiu-hiunya, tapi juga topik yang menjadi kegemaran wanita yang sedang ditaksirnya. Sebab, pernah Tyas marah luar biasa, saat cintanya ditolak oleh wanita yang ia sukai. Lucunya, meski terdengar frontal atau blakblakan, Tyas mau mendengarkan masukan adiknya yang sudah seperti sahabatnya  itu.
 
Kini, yang masih menjadi pemikiran  Caecilia dan suaminya adalah  masa depan Tyas setelah ia menyelesaikan studinya, yang diperkirakan berakhir Mei tahun ini. Meski Tyas memiliki pengetahuan dan skill di dunia engineering, kemampuan sosialnya masih lemah.
 
“Tetapi, karena tuntutan lingkungan, saya mulai menyaksikan Tyas tidak malu untuk bertanya kepada rekan atau dosennya, saat sedang praktik di jurusan aeronautics,” ungkap Caecilia. Ia dan suaminya juga telah mempersiapkan rencana cadangan untuk Tyas. Caranya, dengan mengenali bakat dan potensi Tyas di luar dunia keilmuan.
 
Rupanya, Tyas hobi turun ke dapur dan memasak! Dari segi kualitas rasa, masakannya bahkan diakui mengalahkan hasil olahan ibunya. Fakta ini membuka ide bisnis kafe, di mana Tyas bisa mengambil peran sebagai chef dan adiknya yang lebih luwes mengambil peran sebagai frontliner, yang berhadapan dengan konsumen.
 
“Namun, apa pun masa depan yang akan dipilih oleh Tyas nantinya, apakah  bekerja sebagai peneliti biologi, ahli mekanis, jurnalis, atau membuka bisnis kafe sendiri bersama adiknya, tugas kami sebagai orang tua adalah memaksimalkan semua potensi yang dimilikinya, sebagai bekal agar Tyas bisa hidup mandiri,” ungkap Caecilia, penuh harapan. (f)
 


Topic

#autisme

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?