True Story
Teror Saraf Itu Bernama Fibromyalgia

15 May 2018


Duka, Trauma Cedera, dan Diagnosis Sindrom Fibromyalgia

Hasil test MRI menunjukan vertigo saya disebabkan oleh otot kaku yang menekan saraf leher, ada juga pengapuran di tulang belakang. Dengan harapan yang besar untuk sembuh saya melakukan kontrol ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis penyakit dalam (internis).

Ketika dokter menyatakan radang saluran pencernaan saya membaik, rasanya  sedikit lega, namun tidak bertahan lama. Di perjalanan pulang, suami saya mendapat telepon yang mengubah hidup saya. Mas Rudy, sahabat terdekat sekaligus rekan cameraman saya selama bertahun-tahun yang sudah seperti abang bagi kami, meninggal dunia.

Tubuh saya sakit sekali, sekaligus lemas tak bertulang. Hanya satu kalimat yang saya keluarkan, yaitu meminta suami untuk mengantarkan saya ke rumah almarhum, namun itupun tidak dikabulkannya. Ia tak percaya saya cukup kuat untuk menghadapi kenyataan untuk berpisah dengan sahabat saya itu. Apalagi saya baru saja berduka kehilangan paman dan seorang sahabat ibu yang sudah saya anggap nenek.

Benar saja, saat tiba di rumah rasa sakit di tubuh saya semakin menjadi-jadi, dada saya nyeri seperti ditusuk-tusuk saat menarik napas. Perasaan bersalah karena tak bisa hadir untuk mengantar sahabat di saat terakhir berkecamuk di kepala saya yang kembali vertigo.

Satu persatu pesan singkat datang, beberapa teman menelpon untuk bertanya kenapa saya tidak datang. Saya sangat menyesal. Sejak Mas Rudy pensiun dini, setidaknya kami biasa bertukar kabar seminggu sekali. Namun minggu terakhir saya sengaja tidak menghubunginya karena khawatir ia yang sakit diabetes akan repot-repot menjenguk saya ke rumah sakit yang jauh dari tempat tinggalnya.

Mas Rudy, jurnalis yang supel itu dimakamkan tepat saat pilkada DKI Jakarta sedang berlangsung. Tak bisa dipungkiri, kehilangan Mas Rudy adalah kehilangan terbesar saya dan membuat saya sangat berduka.  

Ayah rupanya memerhatikan kondisi saya dan beliau berusaha mencarikan ART untuk kami. Sehari setelah ART baru datang, waktunya saya untuk kontrol ke dokter saraf. Dalam perjalanan dengan taksi online, saya tak bisa lagi menahan rasa sakit di seluruh tubuh. Saya tertatih menuju meja pendaftaran dan meminta kursi roda.

Saat itu, saya sendirian. Tak mampu lagi berpikir, tubuh saya hanya perlu berbaring. Dokter lalu memeriksa 18 titik nyeri di sekujur tubuh saya dan saya merasakan semuanya. Rasa lelah berlebihan yang saya rasakan seperti tidak masuk akal, karena hari masih pagi dan saya tidak mengerjakan apa-apa selain mandi dan berangkat ke rumah sakit.

Saat itu Maret 2017, saya didiagnosis terkena sindrom fibromyalgia. Kata asing yang sekilas tidak terdengar seperti penyakit berbahaya. Dokter saraf menjelaskan kepada saya bahwa yang terjadi adalah ketidakseimbangan pada cairan kimiawi di otak yang menyebabkan otak saya menurunkan ambang batas nyeri. Otak merekam rasa nyeri terhebat saya, dan menjadikan itu acuan. Tebakan saya mungkin operasi caesar yang saya jalani dua kali dalam 4 tahun terakhir.

Saya lalu mengingat-ingat cedera apa lagi yang pernah saya alami yang mungkin mencederai tulang belakang saya. Tahun 2009, saya pernah jatuh saat berkuda. Tahun 2015 saya dua kali jatuh karena menyelamatkan anak saya, bahkan salah satunya, saya sampai terinjak-injak, untungnya anak saya selamat tanpa cedera apa pun.

Naluri jurnalistik membuat saya bertanya lebih jauh tentang penyakit ini. Sayangnya dokter saraf yang merawat saya tidak bisa menjelaskan lebih jauh. Ia hanya memiliki seorang pasien lain dengan diagnosis sama, dan menurut beliau tingkatan rasa sakit dan keluhan pasien satu dan lainnya tidak  sama, tergantung dari gaya hidup dan cedera atau trauma yang dialami.

Trauma di sini berarti dua hal, baik fisik maupun psikis. Saya pun teringat kejadian di tahun 2006, saat itu saya pernah mengalami kekerasan saat meliput demonstrasi hari buruh di depan gedung DPR MPR. Kejadian yang melibatkan lebih dari 10ribu buruh itu membuat saya mengalami PTSD-Post Traumatic Syndrome Disorder dan beberapa kali harus dilarikan ke UGD karena mengalami serangan panik hanya karena mendengar orang berteriak atau suara keras.

Saya telah menjalani 10 kali sesi terapi dengan fasilitas kantor dan bisa kembali bertugas. Saya tak tahu pasti, tapi bisa saja trauma itu tak sepenuhnya pulih. Saya menjalani pengobatan di rumah sakit pada akhir Maret hingga April 2017. Pengobatannya tidak banyak, hanya fisioterapi dengan mesin tens dan infra merah serta pemberian vitamin.

Yang paling penting adalah saya bisa beristirahat dan memulihkan tenaga tanpa gangguan. Saat atasan saya mengunjungi saya di rumah sakit, dokter menjelaskan bahwa fibromyalgia bukanlah penyakit berbahaya. Penyakit ini menyerang otot dan sistem saraf, tidak menyerang organ-organ vital, jadi saya merasa agak tenang.

Sepulang dari RS saya merasakan seluruh tubuh saya membengkak, kaki sayapun tak bisa ditekuk, mengerikan sekali... Terlebih saya teringat akan sepupu yang belum lama meninggal akibat lupus, ia pernah mengalami moon face seperti ini. Dua hari berselang, saya kembali kontrol ke dokter saraf, ia mengatakan saya tak perlu cemas, itu hanya efek samping pergantian vitamin saraf. Ia lalu mengganti resep obat dan tubuh saya langsung kembali normal. 

Selanjutnya: Ketika Ia Mulai Menggerogoti Saraf
 


Topic

#fibromyalgia, #penyakitsaraf, #truestory

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?