Trending Topic
Serunya Para Kolektor Berburu Urban Toys

17 Feb 2017

 



Foto: Dok. Pribadi
 
Bisa Menjadi Profesi
Jika action figure sudah lama dikenal di kalangan para pencinta budaya pop Indonesia, maka urban toys dalam bentuk designer toys baru marak sejak 6 tahun belakangan ini. Biasanya, designer toys digemari di kalangan seniman, ilustrator, maupun desainer grafis.

Tak puas hanya mengoleksi action figure dari film-film dan serial televisi Hollywood, Bowo Baghaskara (35) mulai mencari tahu tentang art toys. Perkenalannya pada art toys dimulai saat ia membeli mainan berupa blank toys, yakni boneka vinyl berwarna putih polos di sebuah pameran mainan. “Awalnya, saya tidak paham mainan ini harus diapakan. Belajar dari internet, baru ketemu caranya. Ternyata, saya bebas menuangkan kreativitas, mau diwarnai apa saja,” kisah Bowo, yang sudah mengoleksi ribuan mainan.

Ia pun mulai bereksperimen membuat urban toys dan mengikutkannya di pameran sejak tahun 2009. “Waktu itu, banyak orang masih belum paham. Mereka masih beranggapan toy adalah action figure yang sudah terkenal,” tutur pria yang sekarang berprofesi sebagai desainer urban toys ini.

 


Foto: Dok. Pribadi

Hal serupa juga dialami Silvia Tampi (36). Wanita yang sejak kecil sudah senang mengoleksi mainan ini mengaku mulai terpikir untuk membuat sendiri urban toys setelah melihat salah satu mainan yang diinginkannya berharga cukup mahal. Tahun 2008, ia pun mulai belajar memproduksi sendiri.
Menurut Silvia, proses pembuatan urban toys ada dua macam. Pertama, ‘custom toys’, biasanya diawali dengan menentukan karakter yang ingin dibuat. Lalu dibuat sketsa dan dibentuk dengan menggunakan epoclay (bahan clay untuk membuat miniatur atau action figure). Dengan cara ini, ia bisa membuat urban toys dari karakter yang sudah terkenal. Yang kedua, scratch build. Membuat bentuk dari nol. Mulai dari rangka, pose, lalu dipahat dengan epoclay.

Jumlah produksi juga menentukan harga. Bisa saja, sebuah mainan hanya diproduksi satu piece, istilahnya one of a kind. Harganya tentu bisa sangat mahal. Ada juga yang dibuat sebagai prototype, lalu diproduksi dalam jumlah terbatas. Mainan kreasi Silvia dijual dari harga Rp800.000 - Rp3,5 juta.
Salah satu ciptaan Bowo adalah Kung Pow, boneka tanpa mata dan tanpa ekspresi. Menurut Bowo, karakter ini diambil dari psikologi manusia. “Penggambaran orang yang terjebak di tengah. Antara bosan, tidak tahu harus lanjut atau tidak,” jelas pria yang memajang koleksinya di studio rumahnya ini. Bowo mengenalkan karakternya lewat blog. Tiap karakter ciptaannya yang baru rilis dijelaskan di blog-nya, tertera nama, medium yang digunakan, lalu kisah di balik pembuatannya.

Desainer toys asal Indonesia juga sudah makin banyak yang berkibar di dunia internasional. Salah satunya adalah Arkiv Vilmansa, yang kini berkiprah sebagai pelukis dan menggelar pameran di banyak negara.

Sebagai desainer, Bowo, yang menjual toys-nya secara online, mengakui karyanya lebih banyak diapresiasi oleh pembeli dari luar negeri. “Hanya sedikit pembeli asal Indonesia. Itu pun biasanya mereka adalah orang yang sudah mengikuti karya saya dari awal,” tutur pria yang harga mainannya  antara Rp90.000 hingga Rp7 juta ini.

Bowo boleh bangga, sebab kiprahnya sebagai desainer toys membuatnya diundang ke beberapa acara di luar negeri, seperti Bangkok Comic Con dan Singapore Toys Game and Comic Convention, untuk pameran di sana. “Senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan para seniman urban toys, dan lebih dikenal publik luar. Kesempatan ini makin membuka channel karya saya untuk dijual di luar negeri,” tuturnya.

Bowo dan Silvia mengamati, tren urban toys di Indonesia sudah makin berkembang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada awalnya hanya ada di kota-kota besar, seperti di Jakarta dan Bandung. Tapi sekarang, mulai banyak bermunculan dari Bogor, Surabaya, Pontianak, dan kota lainnya. Acara-acara yang mengangkat urban toys juga makin sering. Pada  Februari ini misalnya, ada The Jakarta Toys and Comic Fair. Lalu Maret, ada Epic Comic and Toys Fair. Keduanya di Jakarta.

Salah satu komunitas urban toys di Jakarta, yakni Indonesian Art Toys, kini beranggotakan 500-an orang di Facebook. Silvia yang cukup aktif di dalamnya, mengatakan, komunitas ini cukup aktif mengadakan pameran karya bersama, membuat custom toys dengan tema sama tapi dengan kreasi masing-masing, lalu ada gathering bulanan untuk sharing tutorial, karena tidak sedikit di antaranya adalah desainer urban toys yang sudah eksis.

“Sekarang, di beberapa universitas jurusan desain malah sudah memberikan mata kuliah urban toys. Jadi, mahasiswa diberi bekal jika ingin menjadi desainer toys sebagai karier mereka nantinya,” jelas Silvia, yang pernah membuat kreasi toys berbentuk barong, yang diangkat dari mitologi barong Bali.
Dalam hal desain, seperti apa yang digemari oleh publik Indonesia? Bowo berpendapat, sebetulnya kalau di Indonesia tidak ada dominasi desain tertentu. Pada dasarnya,  tiap desain dan desainer punya fans masing-masing.

“Ada desainer yang senang membuat toys dengan desain complicated, baik dari segi pewarnaan maupun bentuk. Misalnya Paul Kaiju, yang membuat monster warna-warni. Ada juga yang simpel seperti Qee. Masing-masing ada pasarnya sendiri,” tutur Bowo. Ia menambahkan, jika ingin menjadi desainer urban toys harus bisa membawa identitas sendiri, tidak mengikuti style desainer lain. (f)
 
 


Topic

#TrenGayaHidup

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?