Trending Topic
Mengapa Pada Bulan Suro Orang Jawa Tidak Diperbolehkan Menikah?

11 Sep 2018


Foto: Pixabay
 
 
Tanggal 1 Muharram, selain menjadi tahun baru penanggalan Islam, juga menjadi tahun baru penanggalan Jawa, yaitu 1 Suro. Bagi orang Jawa, memasuki bulan Suro juga ditandai dengan berbagai tradisi, salah satunya adalah membuat bubur suro. Sebagian masyarakat Yogyakarta dan Solo pada malam 1 Suro juga melakukan perjalanan mengelilingi benteng keraton, dalam diam dan tidak boleh makan, minum maupun merokok.
 
Setelah diawali dengan laku tapa dan instropeksi, pada bulan Suro juga banyak pantangan. Salah satunya adalah larangan untuk menikah di bulan ini.
 
“Orang Jawa memiliki persepsi waktu yang sangat tajam, dan bahkan memiliki cara yang rumit untuk menentukan waktu. Kemampuan untuk merasakan irama waktu, ditentukan dengan suatu cara tradisional salah satunya dengan menghitung saat-saat penting seperti contoh siklus bercocok tanam, penentuan hari dan bulan menikah, pindah rumah dan sebagainya,” demikian tulis antropolog Lucy Diah Hendrawati dalam buku Biografi Prof Dr. Habil Glinka, SVD: Perintis Antropologi Ragawi di Indonesia, mengutip Koejaraningrat (1994).
 
Pada akhirnya, sistem penanggalan (primbon) digunakan untuk menentukan tanggal yang baik secara religio-magi (artinya berhasil tidaknya manusia dalam  menjalankan sesuatu hal yang ditentukan oleh konstelasi para dewa dan mahluk gaib), guna memulai suatu pekerjaan penting.
 
Penentuan tanggal dilangsungkannya pernikahan dilakukan dengan penghitungan yang seringkali mengakibatkan waktu pernikahan dapat tertunda lama. Bulan pernikahan yang dianggap “baik” untuk melakukan perkawinan (ijab) adalah bulan Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Besar.  Bulan yang dianggap “cukup baik” untuk melakukan perkawinan (ijab) adalah bulan Sapar, Bakdomulud, Jumadilawal dan Sawal.
 
Sedangkan bulan yang dianggap pantang atau terlarang melakukan perkawinan adalah bulan Suro, Mulud, Pasa dan Sela. Jika dilanggar pasangan pengantin dan keluarganya akan mendapat musibah besar dalam hidupnya.
 
Lucy juga menuliskan, hasil penelitian di Kabupaten Blitar, Kota Blitar dan Kota Surabaya menunjukkan bagaimana hal ini masih ditaati oleh sebagian besar masyarakat yang mengaku sebagai orang Jawa, meskipun hidupnya sudah sangat terpengaruh oleh gaya hidup moderen.
 
Keyakinan terhadap primbon masih dilakukan dan ditaati, karena menurut penelitian tersebut, pada dasarnya individu hidupnya ingin  slamet sehingga mereka tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan di luar keyakinan yang telah disepakati oleh masyarakat budaya pendukungnya.  Rasa slamet adalah tidak akan terjadi apa-apa pada diri mereka, secara psikologis akan berpengaruh pada perasaan dan kondisi sehat dan bahagia.
 
Konsep sehat dalam perspektif Jawa adalah sehat hati dan pikiran yang teguh, kondisi fisik rahayu, maupun perilaku dan tuntutan kebutuhan manusia yang slamet. Rasa teguh diartikan kondisi hati dan pikiran yang tidak goyah dalam menghadapi segala situasi dan kondisi kehidupan manusia.
 
Rasa rahayu awake/fisik, artinya yang mencakup semua unsur jasmani manusia yang terdiri dari bulu, kulit, daging, otot, tulang, sumsum, darah, syaraf sampai organ dalam paru, jantung, hati, ginjal, pankreas semua dalam keadaan normal dan berfungsi sebagaimana mestinya.
 
Slamet kehidupane (lakone urib/nasib), artinya selama proses tahapan kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai masa kematian dalam perilaku dan memenuhi tuntutan kebutuhan selalu mendapatkan situasi yang diuntungkan. (f)

Baca Juga:

5 Cara Masyarakat Menyambut Tahun Baru Islam

 
 
 
 
 
 
 


Topic

#bulansuro, #budayajawa

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?