Trending Topic
Ini Alasan Berkompetisi Bisa Bikin Anda Ketagihan

6 Dec 2016


Foto: Fotosearch
 
Ketika seseorang mampu bertahan atau bahkan menaklukkan sebuah tantangan atau kompetisi, ini akan berdampak pada harga diri, self proud, dan ketika bisa bertahan, self esteem-nya meningkat.

Ketika sedang bertahan untuk bisa kontinu di sebuah kompetisi, ada hormon-hormon yang dirilis tubuh, yaitu oksitoksin dan adrenalin. “Dan ketika berhasil melewatinya, adrenalin meningkat tinggi, dan ia akan mengalami orgasme psikologis dan emosi. Sensasi ini memberikan rasa yang sangat positif,” ujar Ratih. Tak heran jika ada orang-orang yang ingin merasakannya lagi dan lagi. ‘Ketagihan’ jadinya.

‘Ketagihan’ ini bisa dikondisikan oleh diri mereka sendiri atau lingkungan, dan menyebabkan seseorang ikut lagi kompetisi demi mendapatkan kemenangan. Bahkan ada yang membatasi keikutsertaan dalam kompetisi hanya demi mendapat sensasi.

Tak berarti ‘ketagihan’ ini selalu buruk. Mengikuti lomba demi lomba dan mendapatkan peningkatan kemampuan tentu baik. Namun, memang tetap dibutuhkan justifikasi dari diri kita, sampai kapan kita akan berusaha mengasah kemampuan itu. Biasanya, sih, sampai sudah mentok dan tak ada tantangan lagi.

Ratih mencontohkan, “Tiger Woods ketika ditanya apa yang ia akan lakukan jika sudah memenangkan semua pertandingan dan mengalahkan semua pegolf? Jawabannya simpel, ‘Saya akan mengalahkan mereka lagi.’” Begitu juga Steve Jobs yang menyatakan, tantangan bagi dirinya adalah mengalahkan produknya sendiri.

Namun, di antara survival dan agresi, ada fenomena lain yang terjadinya bersamaan dalam diri tiap orang: kebutuhan untuk eksis atau tampil. Intinya, supaya eksis, seseorang harus menonjol.

“Dulu orang harus fokus meningkatkan hal-hal yang kurang dikuasai. Namun, dampaknya jadi negatif, karena yang terjadi justru energi kita habis untuk memperbaiki. Karena itu, muncul mazhab baru di ilmu perilaku, yaitu mengapresiasi yang bagus atau dikenal dengan positivisme,” ungkap Ratih. Aliran baru ini ininya adalah mencari hal-hal positif dan menghargainya. Sekecil apa pun hal positif itu layak untuk dihargai karena hal itu berguna untuk meningkatkan self esteem.

Baca juga: Namun, pendekatan ini juga memiliki dampak negatif. Positivisme membuat orang menjadi semakin narsis. Didukung teknologi, survival dan mastering akhirnya menjadi narsisisme hingga menimbulkan sikap tidak sportif karena merasa dirinya lebih baik dari yang lain.

“Manifestasi perilakunya sekarang adalah ‘Pokoknya yang penting gue eksis.’ Cara apa pun menjadi halal. Demi sense of proud, ia akan melakukan apa pun juga untuk memenuhi kebutuhan batinnya, termasuk melanggar peraturan. Sebab, jika dipatuhi, ia tak akan mencapai keinginannya itu,” Ratih menjelaskan. Pada akhirnya, banyak orang yang menjadi salah menilai tujuan mulia kompetisi. (f)
 


Topic

#Kompetisi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?