Trending Topic
Hati Hati, Modus Penipuan Berkedok Donasi

30 Aug 2016


Foto: Fotosearch

Berbicara soal penggalangan dana lewat media sosial untuk membantu orang-orang yang teraniaya, seperti dalam kasus Saeni maupun Darsem, Prof. Laurentius Dyson P. MA, sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, melihat hal tersebut dari persoalan klasik yang ada di  tiap negara, yaitu kemiskinan. Menurutnya, dalam ilmu sosial dikenal istilah budaya kemiskinan (culture poverty). Artinya, masyarakat di dunia menjadi miskin karena adanya budaya apatis, menyerah pada nasib, sistem keluarga yang tidak mantap, kurang pendidikan, tidak ada ambisi untuk membangun masa depan, dan kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya.

Melihat kemiskinan di Indonesia, sosiolog yang akrab disapa Dyson ini mengingatkan tentang aturan-aturan yang ada yang terkait kemiskinan, seperti UUD 1945, Pasal 34 Ayat 1, yang menjelaskan tentang fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara, serta beberapa perda tentang memberi uang kepada fakir miskin. “Selain menjadi tanggung jawab negara, mengacu pada aturan-aturan yang ada, pengumpulan dana melalui media online termasuk yang bisa dilarang,” jelas Dyson.
           
Menurut Dyson, crowdfunding sebenarnya bukan hal yang baru. Gerakan mengumpulkan dana ini sudah ada sejak zaman Orde Baru (Orba) yang dihimpun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satu crowdfunding yang dianggap berhasil di masa  Orba adalah pembangunan Kali Code di Yogyakarta yang digagas oleh Romo Mangunwijaya.

“Bedanya, pengumpulan dana lewat LSM terbilang lebih jelas, sedangkan media online tidak. Tidak heran kalau media online sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ingin mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya. Maka, terjadinya penipuan di medsos sangat lumrah,” ungkap Dyson.

Survei yang dilakukan Symantec, sebuah perusahaan software dari California, Amerika Serikat (AS), menguatkan pendapat Dyson. Berdasarkan survei yang mereka lakukan pada tahun 2015 soal penipuan melalui medsos, Indonesia berada di posisi ke-13 tertinggi se-Asia Pasifik untuk kasus tersebut.
           
Dyson menambahkan, tindak penipuan yang terkait kemiskinan juga terjadi di kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, kasus pengemis yang berpura-pura lumpuh, buta, terkena koreng, kusta, hingga yang sengaja menyewa anak ataupun bayi agar orang lain yang melihat mereka jadi iba. “Ternyata, para pengemis itu dikelola dengan rapi oleh pihak-pihak tertentu. Di negara kita, kejujuran memang sangat mahal harganya,” tegas Dyson.
           
Terlibat sebagai relawan ACT sejak tahun 2005 membuat Imam paham benar berbagai macam karakter penerima bantuan. Menurut N. Imam Akbari, Senior Vice President Global Partnership & Communication Department, Aksi Cepat Tanggap (ACT) Indonesia, tidak sedikit orang yang menerima bantuan  pada akhirnya justru bergantung pada bantuan orang lain. “Tidak perlu saya sebut kasusnya. Beberapa kali terjadi, korban yang mendapat bantuan hingga belasan juta rupiah pada akhirnya jadi malas dan terus-menerus mengharapkan belas kasihan orang lain,” katanya, khawatir.

Itu sebabnya, Imam mengingatkan masyarakat untuk bersikap lebih bijak dalam menyalurkan bantuannya. Bantuan berupa uang memang paling mudah dilakukan, tapi bisa memberikan efek jangka panjang. “Kalau korban yang dibantu memiliki jiwa entrepreneur, sih, tidak masalah. Tapi, apa jadinya bila mereka tak mau berusaha? Donasi berupa uang malah membuat mereka jadi pemalas,” cetus Imam.

Selain itu, Imam juga mengingatkan netizen untuk tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang ada. Dalam kasus Saeni misalnya, menurut Imam, ia tak tergolong orang miskin, karena memiliki mata pencaharian sebagai pemilik warteg. “Kalaupun ia terlihat dizalimi, itu hanya soal perspektif masyarakat. Masih banyak Saeni-Saeni lain yang kondisi kehidupannya lebih memprihatinkan: tidak memiliki pekerjaan maupun uang untuk makan,” ujar Imam.
           
Dalam menggerakkan aspirasi masyarakat, Arief menegaskan, tiap orang bisa berpartisipasi memulai petisi. Caranya pun mudah, tinggal mengunjungi website change.org, seseorang bisa langsung memulai petisi dan berkampanye. “Selama petisi tidak mengandung kekerasan, menyebarkan privacy orang lain, ataupun bullying, change.org akan memfasilitasi,” ungkap Arief.
           
Di kitabisa.com, tersedia beberapa pilihan campaign yang bisa Anda bantu, mulai dari pembangunan masjid, bayi yang mengidap kanker, wanita yang menderita kanker, biaya pendidikan anak, hingga korban meledaknya sebuah rumah sakit (RS) di Siria. Di website ini, informasi mengenai donasi juga disebutkan dengan transparan. Saat ini, tercatat sudah ada 115.691 donatur, jumlah donasi berupa uang sebesar Rp32.161.116.092, dan telah mendanai 2.054 campaign.
           
“Awalnya, saya mengetahui info penggalangan dana kitabisa.com dari posting-an teman di Facebook. Saat mengunjungi website-nya, saya langsung yakin menyumbang sejumlah uang untuk bayi penderita kanker,” ujar Fifi Anggraini (35), yang mengaku aktif menyumbang  tiap bulan.
           
Menurutnya, website charity seperti kitabisa.com memudahkannya berdonasi. Selain reputasinya yang positif, proses berdonasi di kitabisa.com sangat praktis dan mudah. Di halaman depan website  terdapat 2 pilihan utama: Galang Dana dan Donasi. Bila ingin langsung menyumbang uang untuk sebuah campaign yang sudah terpampang, pilih ‘Donasi’. Namun, bila ingin menggalang dana dan membuat campaign, pilih ‘Galang Dana’. “Dengan 6 langkah praktis, Anda bisa langsung memulai campaign dan menggalang dana,” jelas Fifi.
           
Dalam menyeleksi orang-orang yang hendak dibantu, ACT juga melakukan participatory role appraisal (PRA) untuk kelompok dan assesment lapangan untuk perorangan. PRA merupakan pendekatan kepada masyarakat desa dan analisis kondisi kehidupan desa, sedangkan assesment lapangan dilakukan dengan cara bertanya kepada tetangga dan ketua RT/RW setempat mengenai sosok yang akan dibantu. “Dengan begitu, kami bisa menentukan jenis bantuan yang benar-benar dibutuhkan seseorang atau kelompok yang benar-benar membutuhkan,” cetus Imam.
           
Selain itu, ACT juga menerapkan Mobile Social Rescue yang perannya mengelola komunitas supaya bisa lebih efektif dalam menyalurkan bantuan.  ACT  memiliki tim digital media berjumlah 10 orang yang bertugas mengecek admin dan lokasi sebuah akun medsos. Jadi, akun-akun ‘bodong’ yang mencoba menipu dengan kedok menyalurkan donasi, bisa terdeteksi.
               
Karena terlalu percaya dan tidak melakukan check and recheck, Annisa Ambarukmi sempat tertipu temannya sendiri yang menggalang dana melalui Facebook untuk menolong seseorang yang terkena musibah kecelakaan. “Berhubung dia teman sendiri, saya langsung saja mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening yang dipajang di status tersebut, tanpa bertanya lebih lanjut target donasinya,” kisah Annisa.
           
Seminggu kemudian, saat Annisa ingin menanyakan kabar perkembangan si korban kecelakaan, akun temannya itu sudah deactive. Mengecek ke teman-teman lain, terungkaplah bahwa teman yang menggalang donasi lewat Facebook itu memang penipu. “Gara-gara kasus itu, saya jadi lebih teliti ketika akan berdonasi. Hal itu tak membuat saya kapok berdonasi, tapi jadi lebih waspada dan selalu mengecek dengan detail mengenai badan penyalur sumbangan dan orang yang akan dibantu,” kata Annisa. (f)
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?