Travel
Mengenal Perjalanan Kain, Catatan dari Sukabumi

28 May 2016


 Foto: Fic

Kain. Hamparan benang yang sambung menyambung menjadi satu ini memang baru mempunyai tempat tersendiri di hati saya. Bukan semata bahwa kain adalah warisan budaya bangsa dengan ragam keindahan serta kekayaan makna di dalamnya, tapi juga karena pelan-pelan, ‘ia’ bisa mengubah pandangan saya akan kain yang biasanya berkesan kuno dan kampung, sekaligus menyadari akan indahnya kebersamaan (bergotong-royong dalam proses pembuatan), indahnya berbagi (produsen untung dan konsumen happy), dan yang paling penting, indahnya Indonesia.
           
Perkenalan pertama saya dengan kain adalah sewaktu kecil, saat bertandang ke rumah Akung-Apoh (kakek dan nenek) saya di Purworejo, Jawa Tengah. Berbeda dengan Ibu yang suka memakai daster batik sebagai pakaian rumah, Apoh atau nenek saya ini selalu tampil dengan berbalut kebaya sederhana dan kain. Hingga saat meninggal pun, beberapa kain koleksi beliau memang diwariskan kepada anak cucu, namun karena saat itu saya belum mengerti, kain tersebut entah ke mana.
 
Sementara itu, kain pertama yang saya beli adalah kain Bali motif rang-rang di sebuah toko di jalan Semarang, Menteng, Jakarta, dengan harga yang cukup fantastis, Rp. 25.750. Anda tidak salah baca, toko tersebut tetap memasang harga tahun “1945”, begitu julukan saya, saat menanyakan mengapa harganya begitu murah. Katanya penjaganya yang merupakan pasangan lansia, nyonya si empunya toko sekaligus kos untuk para ekspatriat ini, belum mengubah harganya sejak toko tersebut ada, dan itu berarti berpuluh tahun lalu. Dan jika ada yang bilang menyesal selalu datang belakangan, saya setuju. Pasalnya, dua tahun lalu, saat saya hendak mampir lagi, toko bercat merah tersebut sudah tutup, meninggalkan rumput yang tumbuh tinggi. Dibantu teman, saya pun berusaha mencari lokasi baru toko tak bernama itu, hasilnya nihil. Bahkan para tentangga yang saya sempat tanyai tidak mengetahui letak pasti toko tersebut.
 
Meninggalkan toko tadi, perkenalan akan kain selanjutnya membawa saya ke Pekalongan, Jawa Tengah, tepatnya ke rumah desainer ternama Indonesia, Dian Pelangi, saat tugas kantor. Di sana, saya tidak hanya diperkenalkan dengan batik Pekalongan, namun juga teknik jumputan khas Palembang yang juga mewarnai ruangan dalam galeri mini di lantai atas. Mengapa ada kain Palembang di Pekalongan? Jawabannya sederhana, Ibunda sang desainer ternyata berasal dari Palembang. Tak heran jika kolaborasi kecintaan akan kain tradisonal daerah pada ibu dan anak ini begitu sukses hingga ke mancanegara.

Penasaran dengan kain dari daerah lainnya, saya tidak hanya rajin bertanya maupun mencari kain saat jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata di Indonesia, tapi juga mengusahakan untuk tidak absen mendatangi galeri seni ataupun pasar produk Indonesia tahunan di Jakarta. Untuk sekedar mengagumi keindahannya, serta seperti anak kecil yang suka didongengi, saya selalu tertarik akan cerita di balik motif, illustrasi maupun pembuatannya.
 
Hingga suatu hari. “Des, cek (majalah) Femina deh, mereka punya acara jalan-jalan tuh ke Sukabumi melihat workshop tenun sutra”, pesan whatsapp seorang teman. Tanpa pikir panjang pun saya mencari tahu informasinya, sampai akhirnya, saya pun ikuti writing competition Gado-gado, simple kindness, yang merupakan bagian dari kolaborasi Writers Club Femina dengan BTPN Sinaya. Tahu-tahu, saya masuk sebagai finalis!
 
Hari itu -Sabtu, 12 Desember 2015-  saya rela bangun pagi. Sebagai gantinya, saya bayar ‘utang’ tidur di sepanjang perjalanan. Bonusnya, saya bebas bete di sepanjang perjalanan yang memakan waktu tempuh yang cukup lama. Dari terbangun dan masih melihat jalan tol, saat bis mogok di tengah dataran hijau entah berantah, sampai hujan yang cukup deras mengguyur kota Sukabumi. Bahkan saat kami sampai pun di rumah Tenun Gaya, milik pengusaha Wignyo Rahadi, gerimis masih cukup deras. Yang ada, saya semakin lapar (pada artian sebenarnya) dan semakin tak sabar melihat proses pembuatan kain cantik, yang beberapa di antaranya sudah dipajang di selasar depan.
           
Benar saja, masuk ke dalam, tidak hanya nasi liwet hangat beserta sayur dan lauk pauk yang menyambut kami, namun juga hamparan benang berbagai warna yang terjuntai di beberapa ruas bambu, serta alat tenun yang berjejer rapi. Selagi makan sambil mengobrol bersama peserta lainnya, seorang pria menyapa kami dengan ramah, ternyata beliau adalah sang desainer sekaligus pemilik workshop Tenun Gaya, Bapak Wignyo Rahadi. Beliau bahkan mengundang kami untuk melihat workshop sebenarnya, yang berjarak 30 menit dari galeri, tepatnya berada di kampung Cicohag, desa Padaasih, Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat. Di sana, seperti yang dikatakan beliau, kita bisa melihat proses lengkap pembuatan kain Tenun Gaya. Mulai dari mengolah kepompong sutra, mewarnai hingga finishing touch dan kain siap dijual. Sayang karena keterbatasan waktu, kami belum bisa menengoknya. Namun, saya tetap senang berkesempatan melihat sekilas pembuatannya di workshop mini ini.
 
Selesai makan, sambil menikmati buah manggis dan jeruk sebagai hidangan penutup, saya pun kembali berkeliling. Ada yang sedang memintal benang, ada yang sedang merapikan kain, dan ada yang tiba-tiba menaiki alat tenunnya, memperbaiki sesuatu di bagian atas alat tadi. Seakan membaca pikiran saya, wanita ini pun menerangkan jika alatnya tersebut mengalami kemacetan. Lalu ia pun kembali duduk, menempatkan benang pada posisinya, menarik tali, hingga tangan dan kakinya kemudian kompak bergerak, jetgreg-jegreg bunyinya, lalu kain bergerak, kelanjutan motif pun tampak.
 
Saya pun langsung penasaran kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan wanita ini sebelum mahir menggunakan alat tenun yang terlihat ngejelimet, “Saya belajar selama tiga bulan Mba, dari awalnya kaku banget banyak salah, sampai akhirnya bisa,” katanya sambil tersenyum. Lalu, beratkah membuat alat ini bergerak, mengingat pada kakinya terdapat beberapa ruas kayu untuk didorong bersamaan dengan gerakan tangannya tadi. “Sudah terbiasa Mbak, tidak berat. Mbak, mau coba?” tanyanya sambil tersenyum. Mau! Saya lalu mengambil posisi, dan ternyata, tidak sukses! Hahaha, kami pun tertawa bersama. Hingga kemudian, MC sudah memanggil kami untuk berkumpul karena acara talkshow akan segera dimulai. Saya pun melipir pergi sambil minta maaf jika ternyata aksi saya membuatnya kerja dua kali.
 
Sambil sesekali menyesap minuman bandrek hangat, talkshow yang diselingi fashion show mini berlangsung seru. Tidak hanya warna, serta motif yang terinspirasi dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Bukit Tinggi hingga Papua yang membuat saya terkesima, namun ada satu kain yang sukses mencuri perhatian saya. Pak Wignyo menyebutnya dengan kain (teknik) benang putus. Yang kalau saya bisa gambarkan, kain ini dihiasi dengan kumpulan sejumput benang yang  terkesan keluar, seperti benang putus. Ternyata, beliau terinspirasi dari human error salah satu pekerjanya, sampai sisik ikan yang menjadi peluasan inspirasi kain cantik tadi. Tersedia dalam berbagai warna seperti merah, hijau, biru, abu, kuning keemasan, kali ini saya dibuat bingung memilihnya, yang ada malah ingin memiliki setiap warnanya!
           
Tidak hanya memamerkan karyanya, Pak Wignyo pun tak ragu berbagi ilmu tentang cara menyimpan kain yang baik, hingga yang paling penting, tip memilih tenun berkualitas. Salah satunya, nih, menurut beliau, kita bisa melihatnya dari segi benang, mudah putus atau sebaliknya, rapat atau tidak; sedangkan dari pewarnaannya, apakah belang atau tidak, saat kain dihamparkan. Kain tenun yang bagus, benangnya tidak mudah putus, berjarak rapat dan juga tidak belang. Dan, tidak hanya berhenti sampai di situ. Styling memakai kain pun diperagakan, dan tidak hanya gampang tapi juga terlihat up-to-date. Kalau sudah begini, tidak hanya triple happy-nya tapi juga makin cinta dengan kain tradisional.
 
Sesekali di saat jeda fashion show, Pak Wignyo bercerita bagaimana ia membangun usahanya. Tidak mudah. Pasalnya, bukan hanya modal, namun juga tenaga kerja. Di daerah ini, para wanitanya lebih memilih profesi pekerja kasar, mengangkat batu. Hingga ketelatenan dan kesuksesan usahanya mampu membuat mereka berubah pikiran. Setelah sukses, masih ada masalah yang menganjal, harga. Sehelai kainnya karyanya termasuk tidak murah, tapi kalau saja setiap pembeli tahu bagaimana proses pembuatannya, satu kain bisa memakan waktu hingga tiga bulan, harga yang tertera rasanya, memang sepadan.
           
Bicara mengenai harga, saya pun langsung teringat status Facebook teman SMA saya, bulan lalu. Ia adalah desainer dengan karya yang mulai diperhitungkan dalam dunia mode Indonesia, dia bilang begini, “Friends will ask for discount prices. True friends will pay full price, to support you, your time and your work.” Benar, harga bukan hanya sekadar angka, namun ada nilai kerja keras dan penghargaan di dalamnya. Seperti kata Mas Wignyo tadi, jika selembar kain butuh pengerjaan satu sampai tiga bulan, maka rasanya kurang bijak jika kita menawar diskon besar hasil kerja keras mereka. Bayangkan saja jika Anda seorang desainer, pembuat kain dan hasil karya Anda yang merupakan ‘gaji’ Anda, dimintai diskon, kesal bukan?
 
Sebagai perempuan, saya tahu banget, rasanya memang kurang afdal jika saat membeli barang namun tidak minta diskon, dan saya pun melakukannya dulu. Itu, minta diskon! Jangankan mengacu pada kain tradisional ataupun pakaian desainer, jika teman membuat usaha bikin kue saja, kita lalu minta diskon saat pemesanan perdana, hahahaha, betul nggak? Kalau begini, sebersit sebuah pertanyaan dalam benak saya. Jika kita bisa heboh minta diskon dengan mengagungkan harga pertemanan, sementara itu, kita bisa dengan ‘patuh’ membayar sesuai dengan harga yang tertera saat membeli sebuah tas berlabel ternama di mall. Ya memang sih, meminta diskon bisa membuat kita diplototi oleh petugas keamanan dalam toko, namun jika kita mampu membeli barang branded tapi keukeuh minta diskon pada hasil karya anak bangsa, a.k.a teman sendiri, kok kedengarannya miris, ya?
 
Sejak saat itu, saya janji dalam hati jika ingin memiliki kain tradisional Indonesia yang cantik, ataupun baju rancangan desainer, teman atau bukan, menabung jadi jawabannya! Plus sambil mencari tahu bagaimana memilih kain yang berkualitas agar tak tertipu. Ini baru namanya smart shopper, setuju kan?
  
Dessy Ariyanti (Penulis, Jakarta)  
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?