Sex & Relationship
Pengalaman Syahdunya Mengikat Janji di Tanah Suci

27 Jun 2016


Foto: Fotosearch

Persiapan yang merepotkan, birokrasi yang ribet, kendala bahasa, hingga biaya mahal tak  menjadi penghalang banyak pasangan untuk melangsungkan akad nikah di Mekah. Gengsi pun turut terdongkrak, mengingat tidak semua orang berkesempatan menikah di sana. Bagi tiga pasangan ini menikah di Tanah Suci menyiratkan keharuan karena bisa lebih dekat kepada Tuhan.  
 
Nur Fitria, Dokter, Surabaya
Menyambung Nazar Orang Tua
Delapan tahun lalu, saya dan suami, Prasetya, menikah di Tanah Suci. Momen berkesan itu terjadi karena nazar ayah saya, yang memang ingin menikahkan anaknya di Mekah. Menurut Ayah, nazar itu adalah bagian rasa cintanya kepada anak-anaknya. Awalnya nazar tersebut ditujukan untuk kakak pertama saya. Puji syukur, beberapa tahun kemudian, saya pun ikut menikah di Mekah.

Karena kakak sudah melakukannya pada tahun 2003, saya jadi punya pengalaman lebih ketika harus mempersiapkan pernikahan sendiri. Keluarga pun tak lagi pontang-panting membuat persiapan, seperti ketika mengurus pernikahan kakak. Apalagi, kini sudah banyak agen travel yang menyediakan paket pernikahan di Mekah.

Saya dan keluarga sepakat   menggunakan jasa sebuah agen perjalanan  yang tepercaya untuk mengurus pernikahan saya di Mekah. Selain karena lebih praktis, saat itu kami juga tidak punya banyak waktu untuk mengurus birokrasinya sendiri.

Sebenarnya, mengurus  surat-surat untuk menikah di Tanah Suci  tak jauh berbeda dengan menikah di Indonesia. Kami tetap harus mempersiapkan surat pengantar dari RT setempat serta surat izin menikah dari KUA. Hanya, semua berkas yang sudah lengkap tersebut harus dikirimkan ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah.

Demi kelancaran pernikahan, kami sengaja mengambil paket all in, yaitu pihak travel agent yang mengatur semua persiapan untuk menikah di Mekah, mulai dari pengurusan surat di KJRI di Jeddah, hingga surat izin menikah di Masjidil Haram. Biaya yang kami keluarkan hampir 1.000 dolar Amerika, belum termasuk membayar penghulu. Untuk yang satu ini memang ada bujetnya sendiri.

Pengurusan perizinan umumnya berlangsung hampir satu bulan. Akhirnya, saat izin keluar kami dijadwalkan menikah antara tanggal 7-11 Agustus 2008.  Dua hari sebelum tanggal 7, kami sekeluarga sudah harus berada di Mekah.

Soal tanggal ini sempat membuat kami deg-degan. Karena, saat berangkat dari Jakarta, saya dan suami belum mendapatkan tanggal pasti kapan kami menikah. Bayangkan saja, kalau pasangan lain bisa menentukan sendiri tanggal pernikahannya,   kami harus menunggu kepastian dari KJRI.

Sambil menunggu hari pernikahan, tak banyak hal yang bisa kami lakukan. Menikah di Mekah memang jauh lebih sederhana, sehingga persiapannya tak seribet menikah di kota sendiri. Selain keluarga yang hadir jumlahnya sangat terbatas, kami juga tidak mengenakan pakaian ala pengantin pada umumnya.
Saat akad, saya hanya mengenakan baju muslim berwarna putih dengan sedikit detail payet yang serasi dengan baju koko warna dan peci putih yang dikenakan suami. Keluarga lainnya juga mengenakan pakaian berwarna putih. 
   
Lucunya, selama menunggu kepastian tanggal menikah, justru calon suami yang saat itu sempat waswas. Ia khawatir karena, katanya, proses ijab kabul harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Bolak-balik ia menghafal  tiap kata yang harus diucapkan untuk ijab kabul. Saya hanya bisa menyemangatinya dan berdoa agar ia tak deg-degan hingga akhirnya lupa dengan apa yang harus diucapkannya.  
           
Tepat pukul 7 pagi, tanggal 9 Agustus 2008, kami melangsungkan proses ijab kabul di Masjidil Haram, Mekah. Meski tak banyak keluarga dan sahabat yang menyaksikan pernikahan kami,  proses sakral ini bisa berlangsung dengan khidmat.

Di hadapan penghulu dari KJRI, suami mengucapkan ijab kabulnya (ternyata dalam bahasa Indonesia) sambil menjabat erat tangan ayah saya. Saya merinding, bahagia, dan haru, semua jadi satu. Terlebih lagi ketika penghulu menyatakan ‘sah’. Semua beban kami berdua seolah terlepaskan. Hadir pula ibu, kakak dan adik, serta kakek nenek dan om tante saya yang tinggal di Mekah. Tak terasa air mata mulai menitik karena bahagia.

Proses pernikahan kami berjalan relatif singkat, hanya 2 jam. Setelah proses ijab kabul selesai, saya kemudian duduk bersanding dengan suami. Di sinilah suasana haru dan syukur kami rasakan. Tak terlukiskan betapa bahagianya kami berdua bisa berada di rumah Allah untuk mengikat janji suci. Atmosfer Islam yang begitu kental mengelilingi kami ketika memanjatkan doa untuk kebahagiaan pernikahan kami. Kumandang ayat-ayat suci Alquran yang terdengar saat itu seperti nyanyian indah yang mengiringi langkah kami memulai babak baru kehidupan.  
           
 
Fardani Annisa, Dosen, Surabaya
Persiapan Serba Mendadak
Siapa sangka, rencana pernikahan yang sudah saya persiapkan dengan suami saya, Zaki, di akhir tahun 2008  harus berubah total. Saat itu, calon mertua saya jatuh sakit. Beliau pun meminta kami untuk segera melangsungkan pernikahan. Rasanya tak mungkin bagi kami untuk menolak permintaannya. Alhasil, kami harus memajukan pernikahan  empat bulan lebih awal. Mau tak mau, segala persiapan berlangsung dengan terburu-buru.
           
Ternyata, tanggal pernikahan yang dipercepat itu bertepatan dengan jadwal umrah yang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari. Di tengah persiapan mengurus keperluan pernikahan mulai dari surat pengantar RT hingga KUA, saya diliputi gundah, antara umrah dan pernikahan sama-sama pentingnya. Tapi, saat itu suami tetap memberikan izin saya untuk berangkat umrah.

Tak disangka, ternyata ia punya rencana yang mengejutkan saya. Tanpa sepengetahuan saya, suami sudah lebih dulu meminta izin ibu saya untuk menyusul saya ke Tanah Suci. Tapi, karena status kami belum menjadi muhrim, Ibu tak mengizinkan. Rupanya, suami bersikeras ingin menyusul, hingga akhirnya Ibu mengizinkan, dengan satu syarat: menikahi saya di Tanah Suci. Suami pun menerima syarat itu.

Maka, ketika saya berangkat umrah, ia memberikan kejutan dengan menyusul saya ke Tanah Suci didampingi   oleh om dan tantenya. Kejutan itu ditambah lagi dengan kedatangan orang tua dan adik saya, tiga hari kemudian. Mereka juga membawa surat-surat yang bisa kami pakai untuk menikah. Saat itu, menikah di Tanah Suci seakan menjawab keinginan orang tua kami berdua. Saya hampir tak percaya dengan semua itu.

Alhamdulillah, tanpa harus melalui birokrasi yang berbelit-belit, kami akhirnya tetap bisa menikah pada 8 Agustus 2008 di Masjid Nabawi di Madinah. Proses pernikahan diawali dengan khotbah nikah, lalu dilanjutkan dengan ijab kabul. Selama prosesi ini berlangsung, pria dan wanita duduk dipisahkan oleh tirai. Proses ijab kabul pun berlangsung dengan menggunakan bahasa Arab, dipimpin oleh penghulu nikah dari KJRI. Untuk semua proses pernikahan itu, kami menghabiskan biaya sekitar Rp5 juta.  
           
Usai proses pernikahan, tak ada acara pesta atau makan-makan. Kami justru sujud syukur karena bisa diberikan berkah untuk menikah di Tanah Suci dan melewati semua prosesnya dengan lancar.
Mungkin karena   kelelahan dan terlalu tegang, saya sempat jatuh sakit hingga harus didorong dengan kursi roda saat menuju Masjid Nabawi. Untunglah, kondisi saya itu tak menghalangi proses akad nikah yang pada akhirnya tetap berjalan lancar. Uniknya, usai melangsungkan akad nikah, saya langsung bisa jalan!
           
Bisa menikah di Madinah memang memberikan pengalaman luar biasa. Saya dan suami merasa lebih tenang setelah resmi menjadi suami-istri. Apalagi pernikahan kami berlangsung di Masjid Nabawi, tempat yang selama ini selalu saya impikan bisa berada di dalamnya. Suasana yang khusyuk membuat kami tak kuasa menahan tangis bahagia. Kini, usia pernikahan kami sudah memasuki 7 tahun dan sudah dikaruniai seorang putra.
 
Ayu Ungsi, Jakarta
Diminta Foto oleh Wanita Arab
Saya menurut saja saat orang tua berencana menikahkan saya di Mekah. Apalagi saat itu  calon suami juga tidak keberatan dengan rencana keluarga saya. Kami pun menyambutnya dengan sukacita dan mulai mempersiapkan semuanya secara antusias.

Menikah di negeri sendiri saja harus melewati banyak birokrasi, apalagi di negeri orang. Hal inilah yang paling kami rasakan saat menyiapkan semua persyaratan untuk menikah di Arab. Bisa dibilang, banyak cobaan yang kami rasakan di awal persiapan menikah.

Berkas lengkap yang kami kirimkan ke KJRI sempat ikut hangus terbakar ketika KJRI di Jeddah mengalami kerusuhan akibat demo tenaga kerja Indonesia di sana. Mendengar kabar tersebut, kami pun diliputi kecemasan, takut pernikahan tak bisa dilanjutkan.  Karena surat yang terbakar itu adalah surat izin yang telah diurus oleh KJRI Jeddah agar kami bisa menikah di Masjidil Haram, kami pun harus mengirimkan surat-surat yang baru ke KJRI di Jeddah.

Syukurlah, pada akhirnya semua berjalan lancar. Pernikahan kami pun dijadwalkan antara tanggal 19 hingga 22 Juni 2013. Satu minggu menjelang pernikahan, saya dan suami serta seluruh keluarga sudah tiba di Mekah. Sesampainya di sana, barulah kami menerima tanggal pasti pernikahan, yaitu 21 Juni. Bahagia rasanya.
           
Di hari pernikahan, proses akad nikah yang kami lakukan tak jauh berbeda dengan proses pernikahan di Jakarta. Hanya, kami melakukannya di dalam Masjidil Haram, tempat Ka’bah yang menjadi arah umat Islam bersujud saat melakukan salat. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata untuk menggambarkan kebahagiaan saya kala itu.

Proses akad nikah dilakukan pada pagi hari. Saat kami memasuki Masjidil Haram, banyak polisi yang berjaga ketat di area masjid. Katanya, ini memang mereka lakukan untuk memastikan bahwa pernikahan kami berlangsung khidmat, khusyuk, dan tenang.

Usai melewati proses ijab kabul, kami berdua diselimuti perasaan lega. Kami pun langsung berdoa khusyuk meminta agar kebahagiaan memenuhi  pernikahan kami. Rasanya hidup saya makin sempurna, memiliki seorang pendamping sekaligus bisa mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Satu hal yang sangat saya sukai dari menikah di Mekah adalah prosesnya yang berlangsung khusyuk dan sederhana. Meski hanya dihadiri keluarga inti, tidak mengurangi makna kebahagiaan kami saat itu. Saya juga tidak perlu direpotkan dengan baju pengantin dan tata rias mewah. Saat itu, saya hanya mengenakan baju muslim putih polos. Tapi, agar terlihat lebih menawan, saya memilih kerudung dengan bahan renda yang cantik. Sementara suami saya mengenakan sorban seperti pakaian khas pria Arab.

Ada kejadian lucu usai kami melangsungkan pernikahan. Beberapa wanita Arab yang ada di dalam masjid menghampiri saya dan meminta berfoto bersama. Lalu mereka membuat lingkaran dan saya berdiri tepat di tengah lingkaran tersebut. Katanya, hal itu sebagai ucapan selamat mereka dan mendoakan kebahagiaan perkawinan kami kelak. Menurut cerita mereka, orang Mekah memang tidak melangsungkan pernikahan di dalam Masjidil Haram. Mereka menikah di rumah masing-masing. Karena itu, melihat orang menikah di dalam Masjidil Haram menjadi sesuatu yang unik. (f)
  

     
           
            
 


Topic

#PuasadanLebaran

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?