Sex & Relationship
Kisah Perjuangan Cinta: "Pasanganku Difabel"

3 Dec 2016


Foto: 123RF
 
Menyatukan dua hati tentunya tak pernah mudah. Terlebih lagi ketika memiliki pasangan seorang difabel, pastinya akan dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks. Wanita ini mengisahkan perjuangan ‘berdamai’ dengan konflik yang mereka hadapi sehubungan dengan tantangan ‘tersembunyi’ di balik keterbatasan pasangannya.  
 
Rentha Serena*, 35, Copywriter, Jakarta
Menjadi ‘Ibu’ Baginya
Setahun sudah saya merenda kasih dengan Johan* (33), yang saya kenal dari media sosial. Johan adalah seorang penyandang tunarungu sejak lahir. Usaha printing yang ditekuninya sejak kuliah mengondisikannya berinteraksi dengan banyak orang, sehingga membantu mengasah rasa percaya dirinya.

Johan seorang yang cerdas, hanya kemampuan bahasanya sangat rendah, sebagaimana kebanyakan anak-anak tunarungu lainnya. Tak hanya terbentur teknis berbicara, tapi juga pemahaman akan konteks kalimat. Untuk memperlancar komunikasi, ia mengajarkan saya bahasa isyarat sederhana, walau sebenarnya ia tak begitu menguasainya.

Meski memiliki keterbatasan, saya mencintainya. Saya tak pernah menganggapnya cacat. Namun,  ia punya cara berbeda dalam berkomunikasi dibandingkan orang umumnya. Untungnya, keluarga saya bisa menerima kondisi Johan. Apalagi ia seorang yang religius, baik hati, dan penuh perhatian. Orang-orang dengan keterbatasan fisik memang umumnya memiliki perasaan yang sangat halus.

Namun, sebagaimana hubungan cinta pada umumnya, kami juga memiliki masalah. Bukan komunikasi yang menjadi masalah besar kami, melainkan kondisi psikologis Johan dan sikap keluarga yang menjadi batu sandungan dalam hubungan kami.

Memiliki anak difabel, membuat keluarga Johan menjadi sangat over protective dan terbiasa ‘menyetir’-nya sejak kecil. Kecemasan berlebihan ini akhirnya kerap mendorong Johan berbohong demi mendapatkan yang diinginkannya. Orang tuanya juga sering mencampuri urusan kami berdua. Misalnya, mereka keberatan jika Johan mendatangi saya di Bogor, tapi justru berharap saya yang mengunjunginya ke Yogyakarta. Mungkin mereka cemas melepas Johan pergi jauh karena takut ia bertemu orang jahat atau kecelakaan. Mereka juga seolah tak senang anaknya diatur seperti itu, harus datang ke Bogor.    

Baca juga:

Tentu saja saya jengkel. Wanita mana, sih, yang tidak risi  kalau pasangannya terlalu diatur oleh orang tua dan tidak bebas mengambil keputusan sendiri? Padahal, itu untuk kebaikan hubungan kami. Belum lagi, prasangka buruk keluarga yang curiga saya memanfaatkan kebaikan Johan dari sisi materi.

Bisa dimengerti jika mereka amat melindunginya, karena menurut Johan, banyak di antara temannya sesama difabel yang mengalami diskriminasi, diejek, dan kerap dimanfaatkan orang yang nondifabel. Tapi tetap saja, saya merasa tidak nyaman dan  merasa terkekang karena acap kali keluarganya ikut campur dengan alasan melindungi atau membelanya.

Sayangnya, Johan yang sudah terbiasa ‘dilindungi’ keluarganya, sulit mandiri secara emosi. Dampaknya, tiap kali kami bertengkar, ia seakan-akan tak bisa menyimpan dan menyelesaikan masalah itu seorang diri, tapi harus ia sampaikan kepada keluarganya,dan membuat hubungan saya dengan keluarganya pun jadi merenggang.

Meski banyak tantangan, saya memilih bertahan karena masih menyayanginya. Peran saya akhirnya jadi seperti ibu yang selalu mengingatkannya untuk bisa menyelesaikan masalah kami berdua tanpa melibatkan pihak keluarga, berani berkata jujur, serta mendorongnya untuk bisa mandiri, ‘lepas’ dari kontrol orang tuanya.(f)


Topic

#pasangandifabel

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?