Sex & Relationship
5 Panduan Jalin Hubungan di Era Internet

13 Apr 2017


Foto: Dok. Feminagroup
 
Pernahkah Anda membayangkan, bagaimana romantisisme terjadi di era nenek moyang kita. Bagaimana cara bertemu dengan kekasih hati, menikah, hingga akhirnya berkeluarga. Tiap zaman punya cerita  masing-masing. Begitu juga teori relationship, akan selalu berubah sesuai zaman. Lima buku di bawah ini adalah buku-buku relationship terbaru yang ‘menangkap’ narasi relationship masa kini.   
 
Modern Romance
Aziz Ansari/ Penguin Press
Bukannya memudahkan, smartphone dan teknologi komunikasi  malah membawa dilema baru bagi lajang masa kini. Ambil contoh, saat berkenalan, apa yang harus dilakukan ketika si dia tak segera membalas pesan kita? Apakah benar pesannya sudah sampai, ataukah karena dia sedang sibuk. Tapi, kenapa ia aktif posting di Facebook dan Instagram, sementara pesan diabaikan?

Coba bayangkan romantisisme di era satu dekade lalu, ketika orang masih harus menggunakan telepon rumah. Lebih sulit, tapi toh, kegelisahannya tidak sekompleks sekarang. Itulah yang melatarbelakangi Aziz untuk membuat tulisan yang komprehensif tentang relationship di era modern ini. Dibantu oleh sosiolog Eric Keinenberg, ia mengorganisasi serangkaian Fokus Group Discussion (FGD), mewawancarai ratusan responden di beberapa kota, dan para ahli.

Di Amerika Serikat, mereka yang lahir di tahun ‘60-an umumnya menemukan jodoh mereka dari lingkungan terdekat. Makanya, muncul istilah the girl/boy next door. Menentukan seseorang menjadi suami, juga lebih simpel. Asal dia sudah mapan, berkumis, itu sudah masuk kategori husband material yang sulit ditolak.

Sekarang, jangankan memilih suami, menemukan soul mate saja jauh lebih sulit. Pilihan yang  makin banyak menghadirkan problem  paradox of choice yang tak berkesudahan. Di masa sekarang, mencari soul mate ini menjadi proses yang stressful. Bisa memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun. Jarang sekali ada yang mau mencari pasangan cukup dari tetangga dekat, mapan, dengan teman dari masa kecil, atau perjodohan oleh keluarga. Generasi sekarang punya budaya romantisisme yang berbeda. Itulah hal yang diulas oleh creator serial televisi Master of None keturunan India ini.  
 
Screw Everyone: Sleeping My Way to Monogamy
Ophira Eisenberg/ Seal Press

Stand up Comedian New York yang lahir dan dibesarkan dari Calgary, Kanada, Ophira Eisenberg, mengungkap pengalamannya tentang bagaimana ia mengakhiri fobianya pada komitmen. Sejak masa remaja dan mulai mengenal cinta, Ophira selalu menganggap  tiap kencannya adalah sebuah eksperimen. Di usia 20-an, ia menikmati petualangan, dari kencan ke kencan.  

Ophira tak pernah berpegangan pada ‘aturan’ kencan, seperti ‘membiarkan 3 hari setelah kencan pertama hingga si dia menelepon kembali’, atau ‘pura-pura sedang sibuk padahal tidak’, dan berbagai aturan lain. Yang dia lakukan adalah mengikuti kata hatinya.  Bahkan, setelah usianya menginjak 30 tahun, dan pindah ke New York, ketakutannya menjalin hubungan yang serius dengan pria, tak kunjung hilang.

Ia tak pernah percaya bahwa ‘the one’ itu sungguh-sungguh ada. Ia hanya ingin menikmati kebebasan dengan pria-pria yang tidak perlu ia kenali lebih dalam. Baginya, membiarkan seseorang memasuki hidupnya, hanya akan membuat kepribadiannya menjadi stagnan.  

Ketika seorang pria mengalami masalah semacam ini, maka hal ini sering diistilahkan ‘commitment issues.’ Akan tetapi, ketika wanita yang mengalaminya, sering diistilahkan ‘pengejar jackpot’. Setidaknya itulah yang sering dikatakan teman-temannya kepada Ophira.  

Hingga suatu kali, ia bertemu seorang pria yang mengajaknya menikah. Sesuatu yang tak pernah ia percayai. Yang ia yakini, 50% pernikahan biasanya hanya akan mengalami kegagalan. Namun, toh, di balik persentase kegagalan itu, probabilitas keberhasilannya juga ada. Pria ini menawarkan sesuatu yang membuatnya (akhirnya) mengubah paradigma tentang pernikahan.  
 
Superhandbook for Perfect Lie Detector in Relationship
Editor: Anjelita Noverina/ Grasindo

Kejujuran adalah hal penting dalam suatu hubungan percintaan. Ketika kita berkomitmen dengan seseorang, maka itu artinya kita juga harus punya rasa saling percaya. Ketika ada salah satu pihak yang melakukan kebohongan, secara tidak langsung ia sudah mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh pasangannya. Memang,  tiap orang yang berbohong kepada pasangannya  pasti memiliki alasan kuat melakukannya. Entah itu alasan menjaga perasaan, menutupi masa lalu, mencegah pertengkaran, atau karena ia tengah berselingkuh. Di balik itu, juga ada kondisi psikologis yang melatari tindak kebohongannya.

Adapun masalah perselingkuhan, tak seorang pun mau menjadi pihak yang dikhianati. Buku ini mengungkap alasan-alasan mengapa seseorang berselingkuh. Ada lima alasan mengapa seorang pria berselingkuh, antara lain merasa lelah dan lemah di rumah, merasa kalah, kenyamanan, persahabatan yang berkembang, dan faktor seks. Adapun alasan seorang wanita berselingkuh biasanya adalah karena suami berselingkuh, alasan kesepian, dan ekonomi.

Agar sebuah hubungan tidak berada dalam kondisi yang penuh kebohongan dan pengkhianatan, ada baiknya seseorang bisa mendeteksi kebohongan pasangannya. Secara teori, kebohongan pasangan bisa dibaca. Antara lain, dari pesan yang disampaikan melalui komunikasi, kinesika, facial, gestural, postur tubuh, dan artefaktual. Hal-hal itulah yang dikupas secara mendetail dalam buku ini.
 
Dataclysm: Who We Are (When We Think No One's Looking)
Christian Rudder/ Crown Publisher

Selama bertahun-tahun, kita bergantung pada polling, survei, dan eksperimen laboratorium untuk meneliti perilaku manusia. Tapi, sekarang itu sudah berubah. Dengan  makin tingginya tingkat konektivitas digital, perilaku keseharian kita, pertemanan, kebiasaan, bahkan   preferensi teman kencan dan seksualitas, tak luput ada jejaknya di data digital. Preferensi wanita ataupun pria, dari usia tertentu, warga kota tertentu, anggota ras tertentu, bisa dibaca lewat data.

Tak heran, ilmu menganalisis data digital ini menjadi sebuah kebutuhan baru. Penulis yang juga salah satu pendiri website OKCupid, mengungkapkan penemuannya tentang hubungan erat data dengan relationship.

Untuk mendapatkan jempol likes di Facebook, bisa dipelajari. Apa yang membuat seseorang mengekspresikan diri di media sosial, memancing kemarahan orang, cara menarik perhatian orang pun ada ilmunya. Bagaimana menjadi orang yang atraktif bagi lawan jenis, terutama bagi mereka yang menjadi target kencan kita. Akun media sosial kita tak ubahnya akun profil match.com atau OKcupid, yang bisa didesain untuk menarik lawan jenis.  Buku ini akan membuat kita mengerti betapa data-data dan algoritma itu telah menjelma menjadi narasi zaman.
 
The Myth of Mars and Venus: Do men and women really speak different languages?
Professor Deborah Cameron/ Oxford University Press

Benarkah pria dan wanita berkomunikasi dalam bahasa yang sama? Jika benar ya, mengapa kenyataannya sering muncul miskomunikasi antara kedua gender tersebut? Celakanya, selama ini yang kita percayai, pria dan wanita memang memiliki bahasa yang berbeda. Itulah mengapa buku ini muncul sebagai reaksi dari teori buku yang pernah populer dan berpengaruh yang terbit di tahun 1992, dan selalu dicetak ulang hingga sekarang, berjudul Men Are From Mars, Women Are From Venus.

Deborah adalah dosen Bahasa dan Komunikasi di Oxford University, yang biasa melakukan penelitian di kajian gender dan bahasa. Menurut pengalamannya, fakta bahwa pria dan wanita memiliki bahasa yang berbeda adalah teori yang salah dan tidak berdasar.

Mitos tersebut sesungguhnya diambil dari budaya masa lalu, yang meyakini bahwa pria dan wanita dalam masyarakat menempati posisi yang berbeda. Secara gender, peran antara pria dan wanita juga berbeda. Begitu juga keyakinan bahwa anak perempuan dan anak lelaki dibesarkan dalam cara yang berbeda. Dari situlah asal muasal teori perbedaan bahasa pria dan wanita yang kemudian menjadi stereotip. Menurut Deborah, perbedaan bahasa antara pria dan wanita lebih ditentukan oleh pandangan diri dan identitas. Yang berbeda adalah cara mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. (f)
 
 
 


Topic

#relationship

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?