Profile
NH Dini, Penulis Yang Baru Saja Berpulang Itu Adalah Wanita Berani

5 Dec 2018

FOTO: DACHRI MEGANTARA S
 
NURHAYATI SRI HARDINI, begitu nama yang tercetak pada surat kelahirannya. Namun, orang banyak mengenalnya dengan nama pena NH Dini. Karya wanita kelahiran Semarang, 29 Februari 1936, ini ikut menapasi generasi sastrawan era tahun 1950-1970-an di tanah air. 

Lewat tulisannya, ia mengangkat sosok wanita yang tidak takut menunjukkan kerapuhannya, tapi yang justru bertumbuh menjadi karakter￾karakter yang kuat dan berdaya. 

BUKAN FEMINIS

“Monggo, silakan masuk. Dipakai saja sepatunya,” ungkap NH Dini, saat menyambut kedatangan femina, di rumah kuno apik bercat putih di tepi Danau Lembang, kawasan Menteng, Jakarta.

Rasanya seperti mimpi punya kesempatan mengobrol dengan salah satu pelopor kesusastraan Indonesia ini. Terlebih saat mengetahui bahwa ia adalah satu-satunya wanita yang namanya bersanding dengan para penulis besar lain sezaman, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis

Di salah satu dinding, sebuah lukisan bunga teratai putih yang mekar di tengah kuncup-kuncup dan telaga berwarna keunguan. “Ini saya lukis waktu sedang di Bali. Teknik pewarnaannya lumayan sulit, dengan cat air dan media kertas khusus yang diimpor dari Cina,” ungkap Dini, tentang lukisan, yang rupanya sudah laku di angka puluhan juta rupiah itu.

“Harganya sudah deal, tinggal diambil saja,” lanjut Dini, yang Mei 2013 lalu menggelar pameran lukis bertajuk Rekreasi Visual N. H. Dini, di Oudetrap Gallery, Semarang. 

Di usia senjanya, Dini tetaplah pribadi yang ulet dan tak mau diam. Melukis adalah kegiatan luangnya, selain hobi berkebun yang ditekuninya di Wisma Lansia Langen Werdhasis, di Ungaran, Jawa Tengah.

"Melukis itu bagi saya adalah sebuah relaksasi di tengah waktu antara menulis. Sekarang ini saya sudah tua, hanya kuat maksimal dua jam di depan komputer. Kalau tidak, bisa kena vertigo,” ujar penerima penghargaan SEA Writers (2003) bagi penulis Asia dari Ratu Sirikit, di Thailand, ini. 

Jadi, salah apabila kita menyangka ia telah meninggalkan dunia menulis. Bahkan, salah satu karya terbarunya, Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang, terbit di Februari 2012. Novel yang merupakan kelanjutan dari Argenteuil (2008) ini terinspirasi oleh kehidupannya usai perceraian dengan sang suami, Yves Coffin, seorang diplomat Prancis, di tahun 1984. 

Semua karya Dini memiliki penokohan yang kuat, dengan tokoh utama wanita yang memperjuangkan harkatnya sebagai pribadi bebas di tengah berbagai kungkungan tradisi atau situasi. Hal ini yang kerap membuatnya dijuluki sebagai seorang feminis.

“Saya bukan feminis. Saya hanya mencari keadilan. Begitu saja, sangat sederhana. Saya ingin wanita dilihat sebagai manusia yang berdaya, punya kemampuan yang setara dengan pria,” ungkap Dini yang pernah bercita-cita menjadi masinis ini.

Banyak orang penasaran, seberapa banyak kisah pribadi si penulis ikut tertuang dalam karya-karya fiksinya. Apalagi jika itu berbau skandal! 
 


Topic

#nhdini, #novel, #sastra, #fiksi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?