Profile
Evy Gozali, Memperjuangkan Nasib Petani Anggur Lewat Bisnis Wine Lokal

25 Jul 2016



Petani anggur di Buleleng hidup dalam kemiskinan dari generasi ke generasi. Sebagian bahkan berpendapatan 1 jutaan per tahun. Penyakit pada tanaman, gagal panen, dan tiadanya teknik pemasaran, membuat mereka terlilit  utang dengan tengkulak, pihak penentu harga dan penyalur anggur ke produsen raksasa.
Petani pesimistis ketika Evy Gozali, pemilik Sababay Winery, mengulurkan tangannya. Ia lalu berinvestasi pada pembangunan research and development dan winery seluas 2 hektare. Punya kesempatan menekuni bisnis besar lainnya, Evy justru menggandeng tangan sang ibu yang ingin menghabiskan masa pensiunnya untuk kepentingan hidup petani.

Sababay menembus rak bergengsi tempat makan yang hip maupun eksklusif. Evy menjadi inspirasi bagi anak muda bahwa bisnis agrikultur Indonesia ternyata seksi!
 
Ini bisnis yang didasari kesukaan terhadap wine?
Justru tidak. Dulu, saya hanya minum wine kala tahun baru. Di pesawat yang memiliki menu wine pun, saya tak pernah minta wine. Menuju masa  pensiun pada tahun 2009, ibu saya, Mulyati Gozali, mencari bentuk bisnis yang bisa membantu banyak lapisan masyarakat, memaksimalkan konten lokal, memiliki multiplier effect. Saya terketuk dengan misi ini, dan ingin meneruskan talentanya.
 
Bagaimana jalan hidup mempertemukan Anda dengan bisnis wine?
Kami sempat berpikir ingin membangun hotel di Bali, namun ragu karena tidak berlatar belakang pariwisata, dan area bisnisnya kompetitif serta break event point-nya lama. Ketika sisi Bali Barat terhubung melalui jalan layang, mata terbuka dengan daerah Buleleng yang tak pernah saya jamah. Saya melihat kebun-kebun para petani dengan anggur bergelantungan di musim panen, berjuntaian tak terurus. Rasanya pun asam. Ketika bercakap-cakap, para petani mengatakan bahwa  anggur dan jagung misalnya, ditanam karena tak ada pilihan. Tanah yang kering tak bersahabat dengan padi. 
 
Bagaimana kondisinya saat itu?
Petani bergantung pada tengkulak karena tak punya cold storage dan transportasi. Ketika menurunkan 12 periset IPB di kebun untuk meraih data riil, beberapa petani masih berpendapatan 1 jutaan rupiah per tahun. Mereka hanya bisa memakan apa yang ditanam di kebun, tidak punya kakus, dan tak ada uang untuk menyekolahkan anak. Saya tercengang, perkebunan semacam ini masih ditemui di pulau yang katanya favorit dunia. Petani sempat tak percaya mengapa kita yang jauh-jauh dari Jakarta mau membantu mereka. Mereka pesimistis karena kondisi ini sudah berjalan begitu lama.
 
Anda berbelok dari  latar belakang pendidikan economy-engineering. Bagaimana memantapkan hati?
Sungguh, I was a big city girl, dan bukan orang kebun. Namun, ibu saya  punya pengalaman bekerja dengan pola besar, jago analisis, dan terbiasa berurusan dengan petani. Jika ia mau menjalani ini, berarti future-nya memang ada. Target ibu saya, membawa wine Indonesia ke dunia luar, dan saya tahu ia tak mungkin berjalan sendiri.
 
Sababay berani melalui friksi dengan tengkulak?
Kita bukan orang Bali, tapi kalau mau membantu, ya, jangan takut. Tantangan lainnya juga human management, yakni petani yang sulit diajak kerja sama. Yang tidak mau mengikuti peraturan standar kami, didiskualifikasi. Wine produksi kami menjalani natural fermentation selama 7 minggu, berbeda dengan wine distilasi yang diberi alkohol dan jadi dalam seminggu. Berbeda dengan peraturan di luar negeri yang mengharuskan setidaknya 75% anggurnya adalah petikan lokal, wine di Bali bisa saja hanya diproses dan dibotolkan di Bali, tapi masih bisa dibuat dari anggur impor. Wine kami bahkan 100% dari anggur lokal.
 
Anda membangun 2 hektare winery di Gianyar?
Ya. Winemaker Prancis, Vincent Desplat, yang memiliki 20 tahun pengalaman, yang membuat wine di daerah New Latitude ini. Winery kami satu-satunya yang semaju ini di Indonesia. Jaraknya 3 km dari kebun di Buleleng, dekat Telu Saba, asal dari nama wine Sababay. Iklimnya baik untuk anggur, yakni panas di siang hari dan cukup sejuk kala malam. Kami membina 80 hektare kebun milik 180 kepala keluarga petani di Desa Gerogak, Banjar, dan Seririt.
 
Dulu ada satu perusahaan wine lokal, tapi tentunya tidak mampu menyerap produksi dari 1.000 hektare kebun yang ada. Jadi, kesempatannya luas. Apalagi wine lokal baru memenuhi sekitar 5% dari kebutuhan wine di Indonesia, sisanya diimpor.
 
Walau tren kuliner lokal tengah naik, masih ada orang Indonesia yang gengsi minum wine negeri sendiri. Apa kiat Anda?
Mengejar pengakuan dari kompetisi luar negeri. Total penghargaan Sababay sudah ada sembilan. Sebelum bergabung dengan Sababay, ahli wine Yohan Handoyo, sempat shock ketika mengetahui salah satu pemenang wine di .....kompetisi apa?...... yang ia nilai secara blind-tasting adalah Sababay.
 
Namun, produk bagus belum tentu marketing-nya lancar. Saya sempat berdoa untuk dicarikan Tuhan tim marketing yang cocok, karena enggak mungkin saya jualan sendiri. Akhirnya Astrid Suryatenggara bergabung dan melakukan pemasaran yang gesit. Kini, produksi kami kejar-kejaran dengan permintaan pasar. Kami ingin membina lahan yang lebih luas, namun data agrikulturnya tidak pernah ada. Kami harus mengumpulkan dana untuk memulai riset.
 
Dalam 2 tahun, bagaimana cerita petani Anda kini?
Anak-anak mereka sudah bisa sekolah. Ada petani yang sudah bisa membeli 7 sapi dan menjualnya kembali. Rumah juga sudah kokoh dari beton. Senang bisa mengubah hidup seseorang dalam waktu sebentar saja. Analisis ibu saya benar, wine memiliki highest added value, ketimbang mengolahnya menjadi jus seharga Rp30.000-an dengan persaingan tinggi. Petani dimotivasi dengan menonton video petani anggur di Asia Tenggara dan diajak ke pameran, serta piknik keluarga. Family culture penting dalam bisnis yang ingin bertahan lama.
 
Anda tidak mudah sedih karena tahu menjual wine di Indonesia tidak gampang?
Ya. Tuhan tidak tidur, dan pasti memberi jalan bagi yang berniat baik. Kalau sedang capek menunggu kapan Sababay bisa menjadi suvenir favorit Indonesia, saya mengingatkan diri bahwa tiada sukses yang instan. Saya menyebutnya ‘experiencing passion’. Pekerjaan seperti ini, yang profit-nya belum bisa kelihatan, tak bisa dikerjakan kalau bukan dengan hati. (f)
 

Trifitria Nuragustina


Topic

#WanitaHebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?