Profile
Endah Laras, Menjadi Sinden di Masa Kini

4 May 2016



Apalah arti sebuah nama? William Shakespeare mengatakan, “What is in a name? A rose by any other name would smell as sweet”.  Benarkah? Mungkin. Tapi pada Endah Laras (39) akan kita dapati harmoni yang selaras antara nama dan talenta yang ia miliki. Endah (Jawa) adalah indah, dan laras adalah harmoni. Suara yang merdu berpadu dengan kemahiran memainkan cuk (gitar kecil) untuk mengiringi lagu yang dinyanyikannya, itulah yang akan membuat kita terpesona pada wanita asal Solo ini. Meski dengan bakatnya ia telah meramaikan pentas-pentas pertunjukkan di berbagai dunia, namun Endah menjalani hidupnya yang indah dengan sederhana, yang ia sebut hidup ala wong ndeso.
 
GECUL dan CUK
Lahir di Sukoharjo, Solo dari ayah seorang dalang (alm) Ki Sri Joko Raharjo dan ibu yang seorang penari tradisi, Sri Maryati, darah seni mengalir ke pembuluh nadi Endah Laras dan ketiga adiknya, Supanjang Raharjo, Sruti Respati dan Retno Musthi Sari. Gamelan, wayang dan tembang Jawa menjadi mainan mereka sehari-hari. Bersama-sama memainkan kesenian tradisi itulah yang menjadi acara keluarga setiap hari dan secara alami membagi peran yang berbeda sesuai bakat masing-masing. Supanjang, menguasai dalang dan kerawitan.  Sruti kini terkenal sebagai pesinden dan penyanyi, sedangkan sang bungsu Retno mahir memainkan gamelan selain menyanyi.

Justru karena menjadikan tari dan nyanyi sebagai kegiatan sehari-hari, semasa kecil Endah tidak menyadari bahwa talentanya itu istimewa dan kelak akan menjadi jalan hidupnya. Seperti umumnya anak kecil pada masa itu, ia bercita-cita menjadi dokter. Sebuah kebetulan juga yang membawa Endah menapaki kariernya kini.

Ia mengenang, tahun 1995 selepas lulus SMA di Jakarta, Endah memutuskan untuk kembali ke Solo. Disewanya sebuah truk untuk mengangkut semua barangnya. Selesai packing yang melelahkan, dia segera mandi. Rutinitasnya saat mandi adalah menyanyi -satu kebiasaan yang dilakukannya hingga kini di kamar mandi mana pun dia berada. Seusai mandi, sopir yang juga pemilik truk yang rupanya mendengarkan nyanyian Endah, langsung mengajukan permintaan supaya Endah menyanyi pada acara pernikahan anaknya bulan depan.
​           
Emoh, aku dudu (tidak mau, saya bukan) penyanyi,” tolak Endah, “aku akan jagong wae (saya datang kondangan saja).”
​“Kalau tidak mau, barang-barang ini tidak jadi kuangkut,” ancam sopir truk yang rupanya terlanjur terpesona pada suara Endah.
Yo wes, tapi harus dijemput,” jawab Endah mengajukan syarat.  Sebenarnya dia tidak terlalu serius menanggapi undangan itu, kalaupun mengiyakan lebih karena merasa sungkan pada seorang yang lebih tua.

Tak disangka tepat pada harinya, seorang utusan benar-benar datang dengan mengendarai motor berjenis Honda Tiger 2000. Karena naik motor, Endah pun santai mengenakan celana jeans. Tampillah dia di panggung pesta menyanyikan lagu Jawa  “Yen Ing Tawang Ana Lintang” (Jika di Langit ada Bintang), sebuah lagu keroncong terkenal yang dinyanyikan penyanyi legendaris Waljinah. Suara merdunya langsung memukau hadirin, juga grup orkes keroncong pengiring yang langsung mengajaknya bergabung. Sedemikian mengesankannya tampilanperdana itu sehingga membuat Endah mendapat julukan “Endah Tiger 2000”sebagai penanda motor pengantarnya.

Sejak saat itu, dimulailah perjalanan kariernya sebagai penyanyi professional, baik lagu keroncong, campursari atau sinden.  Album pertamanya muncul tahun 1996 bertajuk “Gemes” bekerjasama dengan Anjar Any, seniman keroncong senior. Sesudah itu album barunya muncul setiap tahun, bekerjasama dengan beragam pekerja seni lainnya. Baik sesama seniman keroncong, dalang, campursari, kelompok ketoprak maupun seniman teater dan musisi pop bahkan penari kontemporer.

Pembawaan Endah yang ramah membuatnya luwes berkolaborasi dengan siapa saja. Karya seninya seolah tanpa batas, tak hanya seniman tradisi, tapi dengan siapa pun dia mampu berkolaborasi. Namun ayahnya sempat tak setuju dengan pilihannya ini dan lebih menginginkannya untuk menekuni jalur tradisi murni.
​“Ora sah sing-sing (tidak usah macam-macam), jadilah sinden yang tenanan (serius). Anak dan cucu dalang kok isone (bisanya) nyanyi Cucak Rowo,” kata ayahnya tegas.

Bukan hendak memberontak kehendak ayahnya bila Endah membuka dirinya pada beragam jenis musik. Ia merasa, kemampuannya menjuarai lomba lagu seriosa dan keroncong juga tim paduan suara, membekalinya semangat untuk mempelajari banyak hal. Perbedaan pendapat ini justru memicunya untuk membuktikan bahwa dia akan sanggup meng-uri-uri (melestarikan) seni tradisi pada wilayah yang tak terbatas. Endah tahu bahwa dia harus membangun karakter yang khas, yaitu kental pada tradisi sekaligus luwes berpadu dengan seni apa pun.

Saat bekerjasama dengan sineas Garin Nugroho untuk pementasan Opera Jawa: Tusuk Konde, Endah tak paham apa perannya di situ. Saat pendukung lain telah mendapatkan jatah peran, Garin hanya memintanya wara-wiri di panggung.  Ia pun melakukan hal itu: berjalan ke berbagai sudut panggung demi sebuah penafsiran dan menjadikannya sebagai laku meditatif.

Kemudian, muncullah inspirasi karakter bernama Limbuk, sebuah karakter kocak (gecul) yang akan mencairkan panggung.  Untuk membangun karakter ini Endah belajar pada Ibu Milko, seorang komedian tradisional senior. Ia pelajari dengan serius gerak dan ekspresi gecul yang khas. Meski mahir menari dan memenangkan berbagai lomba tari, Endah tetap merasa perlu belajar pada ahli lainnya untuk memahami sebuah karakter baru.

Garin juga memintanya untuk memainkan sendiri musik pengiringnya. Meneima tantangan itu, Endah memilih ukulele/cuk (gitar kecil) dan belajar memainkan cuk pada Sapto, seorang musisi keroncong. Tak disangka karakter gecul dan cuk itu memberikan karakter baru dan kemudian menjadi ciri khas Endah Laras. Di panggung, Endah meniupkan nyawa yang segar dengan ekspresi dan tingkahnya yang lucu dan spontan sekaligus kepiawaiannya memainkan ukulele setiap kali ia nembang.

Dengan karakter yang khas ini Endah selalu berhasil menciptakan suasana interaktif dengan para penontonnya. Ada banyak senggakan (improvisasi dalam bahasa universal) yang digunakannya untuk membuat penonton berperan serta. Misalnya seruan “yak e, yak e” seperti dalam lirik lagu Jangkrik Genggong. Seruan ini mudah ditirukan siapa saja, bahkan yang terkendala perbedaan bahasa atau pun anak-anak, sehingga setiap penonton bisa bernyanyi bersama Endah.

Begitu lekatnya Enah dengan gecul dan cuk, seniman Jepang Akiko Kitamura juga memberinya karakter gecul pada pementasan “To Belong” di Chino Culture Complex Nagano, Jepang. Dalam pentas internasional lainnya, cuk juga selalu bersamanya seperti di Tropen Museum di Amsterdam, Musee du Guai Branly di Paris dan saat berkolaborasi dalam album Field Recording dengan music director Yasuhiro Morinaga di Tokyo.

Saat tampil bersama Ayu Laksmi, Ariani Willems dan Dewi ‘Dee’ Lestari di Indonesia Booth, sebuah pentas khusus untuk menyambut Indonesia sebagai Guest of Honor pada Frankfurt Book Fair pada Oktober 2014 di Jerman. Endah juga tampil solo menyanyikan “Serat Joko Tingkir” dengan cuk-nya dan mendapatkan sambutan yang sangat meriah sehingga menyanyikan lagi beberapa lagu tambahan.
 
KEBAHAGIAAN BERBAGI
Tak hanya menjadi sinden, menyanyi dan menari, Endah jugamencipta lagu. Sebagian besar albumnya berisi lagu ciptaannya sendiri. Seperti lagu Suwung yang tercipta tahun 2013, memiliki kenangan mendalam karena tercipta sesudah ayahnya berpulang. Perasaan kehilangan yang ia alami memberikan rasa kosong dalam hatinya, itulah makna suwung dalam bahasa Jawa. Hingga kini, setiap menyanyikan lagu itu, di panggung mana pun atau sekedar rengeng-rengeng (bersenandung), setiap liriknya menghadirkan kenangan akan ayahnya, yang tak hanya mewariskan talenta dan kesetiaan pada tradisi seni tapi juga memberinya wejangan berharga.

​“Kamu telah menemukan celah pada beragam karya sehingga wawasan kesenianmu melebar. Bersyukur dan tekunilah. Di antara semua itu, ganjaran Tuhan yang paling berharga adalah hidup, maka pergunakanlah sebaik-baiknya,” kata ayahnya. Wejangan ini membawa Endah pada suatu penafsiran tentang hidup, yaitu membawa kebahagiaan pada kehidupan.

Dengan prinsip inilah Endah menghayati hidup dan mengaplikasikannya pada tradisi laku seni, bahwa baginya berkesenian dan berkarya adalah wujud syukur atas segala talenta yang teranugerah baginya. Ia tidak ingin memilikinya sendirian, melainkan harus berbagi dengan sesama. Diterimanya siapa pun yang ingin belajar bersama.Dijawabnyasetiap pertanyaan, saat bertemu langsung atau melalui SMS dan media sosial. Tak ada satupun teknik menyanyi yang ia sembunyikan.

Bahkan setelah merambah beragam panggung internasional di berbagai benua, yang paling membahagiakannya justru ketika tampil dalam pentas sederhana tanpa dana. Misalnya perayaan ritual bumi Mondosio, sebuah tradisi bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas anugerah kepada bumi. Perayaan ini biasanya dilakukan di berbagai desa dan semua yang terlibat dalam acara ini tidak ada yang berbayar karena berdasarkan semangat gotong royong. Endah selalu berusaha memenuhi undangan berpartisipasi dalam ritual ini di pelosok desa mana pun. Bagi Endah mengisi kehidupan dengan berbagi yang justru membuat kekayaan hidupnya tak terbatas.
           
Ibu satu anak, Elvira Dyah Utari, ini tipikal wanita yang sangat membumi. Nyaris tak pernah meminta fasilitas apa pun saat mentas. Bahkan kebaya, riasan dan gelung konde yang menjadi ciri khasnya, semua dilakukannya sendiri tanpa asisten. Gemerlap panggung sama sekali tak tampak pada kesehariannya. 

​“Lha wong hobi saya tuh ‘nginem’ jadi Inem,” katanya tertawa, “pakai daster terus nyapu, ngepel, masak. Sesudah itu mandi sambil nyanyi, akan terasa segar, relaks dan bahagia. Terutama karena berada di rumah dengan semua yang kucintai. Suami, anak dan open-openan (anjing peliharaan) Mourist dan Puppy.”
Endah selalu memilih pulang setiap selesai pentas (kecuali pentas di luar negeri) meskipun tempatnya jauh dari rumahnya yang berada di daerah Gentan, kota Solo dan sudah larut malam. Semewah apa pun fasilitas tersedia, terasa tak berarti bila anak dan suami tidak bersamanya.  Bertemu dengan mereka membuat segala kelelahannya terlepaskan.Merekalah energi sekaligus “nyawa” bagi Endah.

 Satu cerita lucu, sang suami, Bambang Seno Birowo, sempat ‘ditalak’ Endah saat pacaran karena ternyata sosok sederhana ini adalah anak seorang lurah terkenal di Delanggu, sebuah kecamatan bertanah subur di Klaten.  Sementara Endah merasa bahwa pria yang ia cintai itu adalah “piyayi ndeso” yang membuatnya merasa ayem tentrem.

Talak ini ditangkis Bambang dengan sebuah janji sederhana, yaitu akan tetap menjadi  “wong ndeso”.  Janji  yang ditepati.  Kesederhanaannya  tak berubah hingga kini. Sembari mengelola perusahaan penggilingan padi, dia mendampingi dan memberikan ruang seluasnya kepada istri ayunya ini untuk terus berkembang dan setia pada jalan seni. Sebuah kesederhanaan yang membuat seorang Endah Laras makin mencintainya.
 
Sanie B. Kuncoro (Kontributor, Solo)
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?