Profile
Avip Priatna, Kuatkan Nasionalisme Indonesia Lewat Ruang Musik Asyik

14 Oct 2018


Foto: Dok. Feminagroup
 
Konser di Indonesia harus tetap ‘berbunyi’ dan tidak boleh sepi. Musik klasik harus populer di tengah masyarakat Indonesia. Ini menjadi mimpi Avip Priatna (53) sejak pertama memutuskan untuk menerjuni musik klasik 30 tahun lalu, hingga saat ini. Keuletannya tidak sia-sia, jenis musik yang dulu dianggap eksklusif ini sekarang makin merakyat, bahkan digemari generasi milenial dan merebut hati generasi Z!
 
“Menyukai musik klasik itu perlu waktu, berbeda dari musik pop yang sekali didengar langsung bisa dinikmati. Sebenarnya, dalam musik klasik pun ada tingkatannya, mulai dari yang easy listening sampai yang rumit. Keberadaan konser dan komunitas pencinta musik klasik membuat orang teredukasi,” ungkap pria yang pada tahun 2011 mendirikan Jakarta Concert Orchestra ini.
 
Bersama Jakarta Concert Orchestra ini ia banyak berkolaborasi dengan musikus daerah untuk memainkan komposisi klasik Beethoven, Shubert, Bach, hingga Racnmaninoff. Pada tahun 2007 ia mendirikan The Resonanz Music Studio, sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan musik. Dalam perjalanannya, yayasan ini menjadi tempat bernaungnya Batavia Madrigal Singers, The Resonanz’s Children Choir, dan Balai Musik Kertanegara.
 
Perjalanan membawa musik klasik lebih dekat ke telinga pencinta musik Indonesia tidaklah mudah bagi peraih gelar konduktor terbaik di 57 Certamen Internacional de Habaneras Polifoni Torrevieja, Spanyol dan 34th International May ChoirCompetition ‘Prof Georgi Dimitrof’ di Bulgaria, ini. Ia mengaku, kecintaannya pada musik klasik pun datang secara alami dari alunan piringan hitam yang diputar kedua orang tuanya saat ia masih kanakkanak.
 
Kecintaannya pada musik klasik ini mulai terasah saat ia menyelesaikan kuliah sarjananya di jurusan arsitektur, di Universitas Parahyangan (UNPAR), Bandung. Avip bergabung dengan paduan suara UNPAR. Sejak tahun 1990 mereka rajin mengadakan konser dan membawakan lagu-lagu klasik. Para penontonnya tentu para mahasiswa yang juga membawa serta teman lain atau keluarga mereka.
 
Perkembangan teknologi informasi, menurutnya, juga sangat membantu. Ia ingat, dulu, tahun ’90-an, orang harus membeli CD untuk bisa menikmati musik klasik. Di Jakarta saja, tokonya hanya satu di Jalan Sabang. Koleksinya juga terbatas. Sekarang, tiap saat ingin mendengar musik klasik, kita tinggal membuka saluran YouTube. Melalui teknologi internet, segala literatur musik klasik mudah ditemukan.
 
“Karena orang makin mengenal, mereka akhirnya jadi sayang,” ungkap lulusan high distinction (nilai tertinggi) dari sekolah musik Hochshule for Muzick und Darstellende Kunstdi Wina, Austria (1998), ini. “Sekarang, sekolahsekolah, seperti St. Ursula, St. Theresia, dan Universitas Pelita Harapan di Jakarta, sudah memiliki kelompok orkestra,” lanjut Avip, senang.
 
The Resonanz’s Children Choir (TRCC) yang dikembangkannya sejak tahun 2007 berhasil menjadi magnet yang menarik minat pencinta musik klasik dan kontemporer berusia dini. Banyak penghargaan internasional berhasil diraih oleh paduan suara anak ini. Tiga penghargaan terakhir Grand Champion di International Musica Eterna Roma (2017), Grand Champion di 49th Tolosa Choral Contest (2017) di Spanyol, dan yang terakhir Juara I European Grand Prix for Choral Singing (2018) di Maribo, Slovenia.
 
Membawakan lagu tradisional Bali Janger, hasil aransemen Agustinus Bambang Jusana, TRCC berhasil membuat penonton di European Grand Prix di Maribo, Slovenia, memberikan standing ovation. Di kesempatan yang sama mereka juga membawakan lagu komposisi klasik, seperti Duo Seraphim karya Thomas Luis de Victoria, Der Wassermann dari Robert Schumann, dan dua karya komponis Indonesia, Salve Regina (Ivan Yohan) dan 137 Hip Street, karya komponis muda kelahiran 1988, Fero Aldiansya Stefanus.
 
Melalui ajang Simfoni untuk Bangsa, Avip memberi ruang bagi para komposer muda Indonesia untuk menulis komposisi baru lagu-lagu tradisional Indonesia yang dibawakan dalam format orkestra. “Di Simfoni untuk Bangsa ini kami memperkenalkan karya musik Indonesia yang belum dikenal. Misalnya, karya komponis almarhum Mochtar Embut dan Sam Saimun,” ungkap Avip, yang berharap, melalui musik klasik, nasionalisme Indonesia ikut terbangun. (f)

Baca Juga:

Usaha Ignatia Nilu, Kurator Artjog, Membumikan Seni Kontemporer
8 Perempuan Supreme: Yura Yunita
Energi Dalam Berkarya Rinaldy A. Yunardi, Desainer Pembukaan Asian Games 2018


Topic

#profil, #musikklasik, #musikus

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?