Profile
Abdullah Azwar Anas, Mengubah Wajah Banyuwangi

26 Aug 2016


Tak sedikit prestasi yang dicapai Kabupaten Banyuwangi di masa kepemimpinan Abdullah Azwar Anas. Putra daerah yang terpilih sebagai bupati pada Oktober 2010 ini dinilai banyak pihak berhasil mempertahankan budaya lokal sekaligus ‘menjual’ Banyuwangi kepada investor dan wisatawan. Kini, daerah yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini mulai dikenal sebagai daerah tujuan wisata baru di Indonesia yang diminati wisatawan lokal dan mancanegara.
 
Pro Budaya Lokal
Untuk melihat langsung pencapaian Anas, sapaan akrabnya, femina terbang ke Banyuwangi. Bandara Blimbingsari, bandara berkonsep green airport yang dibuka pada tahun 2011, menjadi titik awal perjalanan femina. Memang bukan kategori bandara internasional, tapi bandara sederhana ini yang menjadi pintu pembuka akses pariwisata di Banyuwangi.

Dengan transportasi udara, wisatawan yang ingin berlibur ke daerah ini tak perlu membuang waktu lebih panjang di perjalanan darat. Apalagi, rute penerbangan dari Surabaya dan Bali tersedia  tiap hari. Tak berhenti di prasarana, untuk mengangkat pamor Banyuwangi ada sederet strategi inovatif dan kreatif yang digelontorkan oleh Anas.
           
Melanjutkan perjalanan ke pusat kota kabupaten, femina menemukan sarana publik yang membuat daerah berjuluk ‘sunrise of Java’ ini layak ditinggali dan nyaman. Mulai dari jalanan yang mulus dan terawat baik hingga tumbuhan hijau yang mewarnai  tiap sudut kota. Suasana teduh yang tercipta seakan menutupi kenyataan bahwa kota ini terletak di pesisir pantai yang berudara panas.

Membangun kota yang layak huni dan memiliki ruang hijau yang banyak sebagai tempat warganya berinteraksi merupakan cita-cita Anas sejak awal menjabat. “Kalau sebelumnya identik sebagai kota yang keras, kerap demo, serta selalu dikaitkan dengan klenik dan santet, maka image ini yang ingin saya ubah,” ungkap  Anas.

Ada berbagai alasan personal mengapa ia begitu ingin mengubah wajah Banyuwangi. Sebagai putra daerah, ia merasakan sendiri ketika orang-orang asli Banyuwangi justru merasa malu dengan identitas kedaerahannya. “Dulu, orang sini kalau ditanya dari mana asalnya, bilangnya dari Jember atau daerah lain di sekitar sini. Mereka menolak identitasnya karena malu dan risi dengan predikat yang disandang kota ini,” jelas Anas, yang terkenal gemar naik sepeda ke kantornya.

Padahal, ia meyakini sebuah kota tidak akan bisa berkembang dan maju jika warganya tidak merasa bangga dan percaya diri dengan kotanya sendiri. Berangkat dari pemikiran inilah Anas menanamkan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, terutama generasi muda Banyuwangi.

Berbagai pemikiran ia lempar ke ruang publik untuk mencari respons masyarakat. Mulai dari memugar taman kota, menertibkan pedagang kaki lima yang membuat semrawut jalan protokol, penertiban bangunan di tepi jalan, dan revitalisasi berbagai sarana umum, termasuk kawasan Pantai Boom yang kini menjadi tempat wisata favorit warga.

Apa yang dilakukan pria lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini bukan tanpa perlawanan. Di awal kepemimpinannya, hampir  tiap kebijakan yang ia lontarkan mendapat aksi penolakan. Mulai dari demo yang digerakkan tokoh masyarakat dan agama, pengusaha, pedagang, hingga tukang pukul.

Toh, semua itu tak membuat Anas cepat-cepat menggulung project blueprint kotanya. Ia justru membuka lebar-lebar pintu pagar rumah dinasnya, dan mempersilakan siapa saja yang tidak setuju dengan kebijakannya untuk berdialog. Hingga pada akhirnya para penentang ini bisa menerima kebijakannya. “Mereka protes karena belum ngerti. Kalau sudah ngobrol, mereka juga akan melunak dengan sendirinya. Yang penting itu memberikan keyakinan dan hasil yang terukur,” katanya, santai.

Misalnya, ketika pemerintah Kabupaten Banyuwangi menetapkan biaya Rp10 miliar untuk memugar xx taman kota, banyak yang menyangsikan hal ini akan membawa keuntungan bagi masyarakat. Kesannya, hanya buang-buang uang! Berita miring segera beredar, apalagi renovasi ini juga berarti tergusurnya para pedagang kaki lima (PKL) yang selama puluhan tahun bercokol di taman-taman kota. Demo menentang Anas muncul silih berganti.

Tapi, bukan tanpa alasan  mengeluarkan kebijakan ini, karena dalam teori sosial pembangunan yang ia pelajari, masyarakat membutuhkan sebuah ruang publik untuk berkreasi. “Ruang publik ini akan menciptakan karakter masyarakat yang lebih soft, tidak emosian,” ungkap Anas.

Kini, taman yang terlihat indah, bersih, dan terang di malam hari itu menjadi sarana berkumpul favorit warga. Di sore hari, terlihat beberapa kelompok remaja yang duduk-duduk di rumput sambil membuka laptop. “Sekarang, anak-anak remaja senang ngumpul di taman kota karena tersedia hotspot. Mereka juga bisa mengerjakan tugas sekolah bersama. Ini sama seperti mengarahkan mereka pada kegiatan yang positif, tidak hanya sekadar nongkrong,” kata Anas, yang mengaku juga memikirkan soal keamanan berinternet dengan bekerja sama dengan provider untuk mem-block situs porno dan berbahaya.

Taman juga menjadi salah satu pusat pengembangan komunitas dan seni budaya Banyuwangi. Di Taman Blambangan, misalnya. Taman seluas xx hektare ini tak hanya dilengkapi jogging track, namun juga panggung di tengah taman untuk pementasan. Tiap Sabtu malam  taman ini dipadati warga yang ingin menyaksikan pertunjukan berbagai komunitas budaya, mulai dari seni tradisional hingga modern.

Para PKL pun mendapatkan keuntungan. Mereka tak perlu tergusur dari pembangunan, tapi justru menjadi bagian dari pengembangan budaya kuliner lokal. Dengan melokalisasi daerah PKL dan menyediakan tempat berjualan yang lebih nyaman, pengunjungnya pun kian bertambah.

Keseriusan Anas menggarap wajah Banyuwangi yang baru terlihat dari kebijakannya yang tak asal pugar atau tambal sulam. Ia pun bersinergi dengan beberapa arsitek andal, seperti Andra Matin, Yori Antar, Ahmad Djuhara, Adi Purnomo, dan Budi Pradono untuk membangun Banyuwangi yang tetap berakar pada karakter lokalnya. “Terbukti, dengan sentuhan tangan profesional hasilnya jauh lebih tepat guna dan bermanfaat,” ungkap bupati yang juga mengembangkan konsep green living dalam membangun dan menata kotanya ini.

Pro penguatan budaya lokal menjadi isu yang ia galang dan banyak mendasari kebijakannya. Salah satunya, pemberdayaan pasar tradisional dengan membatasi izin pendirian pasar ritel modern. Selain itu, ada juga kebijakan pro buah lokal untuk membendung serangan buah impor. “Dimulai dari pegawai pemerintahan yang wajib mengonsumsi buah lokal di berbagai kesempatan,” katanya, sambil mempersilakan femina mencicipi jeruk lokal Banyuwangi yang rasanya manis.
 
“Demokratis, tapi harus Tegas”
Jika banyak kepala daerah yang mengeluhkan keterbatasan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) menjadi penghalang pemerintah setempat untuk jorjoran membangun daerahnya, maka hal ini tidak berlaku bagi pria yang mengaku kagum pada sosok Abdurahman Wahid (Gus Dur) ini. Tidak ada dalam kamus kepemimpinannya untuk takluk oleh keterbatasan. “Ya, harus inovatif, jangan pasrah dengan keadaan,” katanya.

Bahkan, ketika lokasi Banyuwangi yang terdiri dari pantai dan pegunungan dinilai sebagai handicap, justru ia ubah menjadi kawasan ekowisata yang menjual. “Yang terpenting mengidentifikasi tantangan dan peluang yang ada. Demografi dan geografi sebuah daerah bukanlah penghalang, tetapi harus dianggap sebagai tantangan,” ungkap pria yang pernah menjabat sebagai anggota MPR termuda diusia 24 tahun ini.

Pariwisata menjadi sektor yang dilirik Anas. Ia melibatkan pengusaha lokal untuk berinvestasi, misalnya bekerja sama dalam pendirian hotel dan wisma. Sejak tahun 2011, ia memelopori diselenggarakannya Banyuwangi Festival yang menampilkan beragam budaya khas Banyuwangi serta musik dan olahraga. Tahun 2014 saja, ada sekitar 23 festival yang digelar dalam setahun, mulai dari Ethno Karnival, Banyuwangi Jazz Festival, hingga Tour de Ijen. Strategi ini pun dirasa mampu menaikkan pamor Banyuwangi.

Sedari awal, ia memang sudah menetapkan segmentasi Banyuwangi sebagai kota wisata keluarga. Faktor alam dan budaya di daerah ini memang mendukung ekowisata untuk pasar keluarga. “Dengan demikian, kita tidak perlu punya pub atau gemerlap dunia malam. Kalau mau mencari yang seperti ini, bisa datang ke tetangga kita,” ungkapnya, yakin. Ia juga melarang pembangunan hotel di beberapa lokasi wisata, seperti Pulau Merah yang sedang giat dikembangkan pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Meski demokratis dalam hal membuka kesempatan bagi banyak orang untuk membangun Banyuwangi,  pria yang gemar membaca buku-buku politik dan manajemen ini termasuk pemimpin yang tegas. “Karena ketegasan ini penting agar bisa menyinergikan semua upaya pembangunan di daerah,” ungkap suami Ipuk Fiestiandani ini.

Diakui Anas, berkecimpung di dunia politik praktis seperti sekarang berbeda rasanya dengan ketika ia masih menjadi anggota DPR. Sekarang ia harus memikirkan strategi yang tepat sasaran untuk kepentingan rakyat. “Meraih dukungan publik itu penting untuk menyukseskan program yang dicanangkan. Karena itu, pemimpin daerah harus turun langsung dan menyampaikan programnya kepada masyarakat,” ungkap Anas, yang mengaku tak memiliki banyak waktu untuk bersantai. “Karena ini waktunya hanya lima tahun, singkat. Jadi, kerja harus maksimal,” tambahnya.

Seperti hari itu, meski baru tiba di Banyuwangi pukul 04.00, setelah sehari sebelumnya menghadiri acara di Jakarta, Anas tetap memulai hari kerjanya pukul 07.00. Dari rumah dinas, ia langsung menuju lokasi kegiatan sosial di kantor PMI Banyuwangi,  dilanjutkan menengok tempat pelatihan keterampilan untuk mantan pekerja seks komersial. Setelah itu, ia bertemu dengan pejabat PT KAI untuk membahas soal transportasi kereta di Banyuwangi.

Lelah? Sudah pasti. Tapi, Anas tetap ceria dan gesit meladeni obrolan sambil sesekali meminta izin untuk mengecek pekerjaannya kepada sang ajudan. Namun, ketika pembicaraan sampai ke soal kehidupan keluarganya, ia terlihat sedikit enggan. Untuk topik yang ini, ia menjawab singkat, “Saya menghabiskan waktu santai bersama istri dan anak tunggal kami dengan mengunjungi pesantren keluarga yang masih terletak di Banyuwangi.”

Selain membaca buku, Anas gemar berolahraga. Sayangnya, ia tak punya kemewahan waktu untuk melakukan hobinya itu. “Saya usahakan rutin naik sepeda kalau berangkat ke kantor. Selain itu, saya selalu membawa baju dan kacamata renang serta sepatu kets kalau ke luar kota. Kalau nginep di hotel, pagi-pagi saya bisa jogging atau berenang,” ungkap Anas, yang menjaga staminanya dengan mengonsumsi sesendok madu  tiap hari. (f)
 
 
Foto: Dony Poetoe (Kontributor - Surabaya)
 
 
 
 

Faunda Liswijayanti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?