Profile
8 Perempuan Supreme: Najelaa Shihab

14 Nov 2018

Foto: Zaki Muhammad

Bicara soal pendidikan di Indonesia, nama Najelaa Shihab salah satu yang diperhitungkan. Sambil membesarkan ketiga anaknya, kakak dari Najwa Shihab ini banyak melakukan gerakan yang mendorong pada perubahan pendidikan di Indonesia menuju arah yang lebih baik. Ditemui di area bermain Sekolah Cikal di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, Ela, begitu ia akrab disapa, berbincang dengan femina, ditingkahi riuhnya suara anak-anak yang bermain bola.
 
Ayah memengaruhi ketertarikan Anda pada dunia pendidikan?
Salah satunya, ya. Keluarga saya memang memiliki latar belakang pendidikan, Abi (Quraish Shihab) dan kakek saya adalah dosen. Jadi dunia mengajar sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari saya. Abi juga selalu berpesan, kalau mau mencari pekerjaan, pilih yang manfaatnya banyak untuk semua orang.
 
Sejak kecil sudah ingin jadi guru?
Dari dulu rasa ingin tahu saya besar. Banyak hal yang saya lihat di sekolah membuat saya bertanya, misalnya di sekolah kami belajar baca, saya senang membaca, tapi banyak juga teman saya yang tidak suka membaca. Ada juga teman di sekolah yang disebut guru enggak pintar, tapi sebenarnya kalau bermain dan ngobrol, mereka ini anak-anak yang kreatif dan cukup kritis. Jadi, saya penasaran dengan sekolah. Keinginan untuk menjawab rasa penasaran inilah yang mendorong saya ingin menjadi guru. Guru yang seru!
 
Saya lalu kuliah di jurusan Psikologi, karena menurut saya jika ingin terjun ke dunia pendidikan kita harus paham ilmu tentang manusia. Lalu, saya menikah muda dan kemudian memiliki anak di usia 21 tahun. Ini membuat saya semakin ingin tahu segala hal tentang pendidikan anak. Semua itu menjadi alasan mengapa saya kemudian ingin terjun dan menggeluti dunia pendidikan dan mendiirkan Sekolah Cikal di usia 22 tahun, saya mendirikan Sekolah Cikal.
 
Awal mendirikan Cikal, apa tantangannya?
Mengubah mindset. Saya merasa guru, SD atau TK, itu kebanyakan tidak seperti mengajar kepada anak-anak, tapi lebih text book. Yang lebih penting itu materinya, bukan anaknya. Padahal, dalam pendidikan, anak harus yang utama. Kebayangnya sekolah ini bukan sekolah untuk anak saja, orang tua juga perlu ikut belajar bagaimana menyiapkan anak untuk bisa siap di masa depan.
 
Sejak awal kita menyebut Cikal ini sebagai community of live long learner. Bukan hanya sekolah untuk murid, tapi komunitas di mana semua pihak yang terlibat ikut belajar. Muridnya sudah pasti belajar, lalu ada orang tuanya yang juga belajar lagi, serta pendidiknya juga harus terus belajar. Semuanya harus adaptif dan reflektif terus.

Anda membuat berbagai inisiatif di dunia pendidikan?
Saya ingin ekosistem pendidikan yang ideal ini agar bisa meluas. Jadi, Cikal ini semacam pilot project-nya. Saya selalu bilang kepada tim di Cikal, bahwa apa
yang kita lakukan di Cikal bukan hanya untuk lingkungan sekolah, tapi untuk banyak orang di luar Cikal.
 
Saat ini kami sedang menjalankan sembilan pengembangan organisasi. Ada komunitas Guru Belajar, Keluarga Kita, Ini Budi, dan lainnya. Tidak hanya menyasar orang tua dan guru, kami juga menyasar anak-anak muda yang lagi galau memilih kuliah lewat Youth Manual. Ketika kuliah di negara kita masih menjadi barang mewah, memilih jurusan tidak bisa asal, sehingga remaja harus bisa mengenal dirinya. Youth Manual membantu anak muda yang mau kuliah untuk memilih jurusan yang tepat.
 
Bagaimana dengan Ruang Guru?
Ini berangkat dari pengalaman di lapangan. Tidak sedikit guru yang mengikuti training untuk meningkatkan kompetensi, tapi tidak benarbenar merasa itu penting. Komunitas ini mengajak guru untuk saling berkolaborasi. Saling berbagi tentang pengalaman praktik di kelas seperti apa. Guru belajar menyebarkan praktik-praktik pendidikan yang baik. Kami ingin mengubah anggapan bahwa sekolah yang bagus itu harus punya ruangan mewah, prasarana lengkap, dan lainnya. Padahal, banyak banget yang bisa dikembangkan guru, seperti teknik bertanya yang baik, bagaimana sharing dengan orang tua. Lebih sering mendengarkan anak saja sudah bisa mengubah banyak hal dalam interaksi di kelas.
 
Anda puas dengan kemajuan pendidikan saat ini?
Setelah mengerjakan ini selama 20 tahun, saya sadar kita tidak bisa mengubah pendidikan hanya satu-satu. Misal, hanya gurunya atau muridnya saja, ini tidak mungkin akan sampai ke perubahan pendidikan yang kita mau. Semua stakeholders harus bersinergi, bersama melakukan perubahan mindset. Semua harus ikut dan mengambil tanggung jawab. Guru, orang tua, pemerintah, lingkungan, dan murid. Dulu, karena sistemnya masih parah, saya sempat merasa hopeless. Tapi sekarang, saya melihat ada beberapa contoh sukses. Di komunitas Guru Belajar misalnya, saya bertemu banyak guru yang keren. Sebuah cahaya terang, karena ada sekian puluh ribu guru yang masih bisa ditingkatkan kapasitasnya. Tapi, sejak awal saya sadar bahwa pekerjaan di pendidikan adalah pekerjaan yang tak pernah usai.
 
Mimpi Anda untuk pendidikan di Indonesia?
Bicara soal perubahan, kita mesti melihat negara lain yang pendidikannya keren itu bukan hasil kerja beberapa tahun, tapi buah dari kerja keras puluhan tahun, minimal 50 tahun. Pendidikan Indonesia 30 tahun lagi mau seperti apa, ya, harus dimulai dari sekarang. Saya senang menjadi guru. Pekerjaan ini membuat saya belajar terus, karena drive saya dalam kehidupan adalah continues learning, belajar terus. (f)
 
Baca Juga: 
8 Perempuan Supreme: Susi Pudjiastuti
8 Perempuan Supreme: Alberthiene Endah
8 Perempuan Supreme: Yura Yunita




 
 
 
 
 
 

Faunda Liswijayanti


Topic

#kitasupreme, #najelaashihab

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?