Profile
6 Fakta Suzanne Lenglen, Inspirasi Google Doodle Hari Ini

24 May 2016

Suzanne Lenglen saat bertemu Ratu Mary dari Inggris dan Raja George V di kejuaraan Wimbledon tahun 1926.
Foto: AFP
 

Sosok Suzanne Lenglen yang menjadi inspirasi Google Doodle hari ini menyimpan cerita besar. Permainannya mengubah total pandangan dunia tentang tenis wanita di era 20-an. Sekilas lalu, kekuatan karakter Suzanne langsung tampak dari penampilannya di lapangan.
 
Lihatlah gaun selutut yang dikenakannya saat bertanding tak menghalanginya bergerak gesit dan agresif menghantam bola-bola lawan. Patrick Clastres, sejarawan olah raga dari Universitas Sorbonne menyebut Suzanne seperti singa di lapangan, pukulannya yang keras membuat lawan-lawannya takut, seperti yang dikutip oleh CNN.
 
Ciri khas lainnya, potongan rambut bob berhias bandana, rok mini, dan jaket bulu. Ya, jaket bulu. Jangan salah, meski garang di lapangan, Suzanne selalu tampil modis dan menawan layaknya gadis-gadis yang berseliweran di The Great Gatsby.  Tidak heran, ia juga menjadi salah satu ikon generasi flapper yang dengan berani menabrak norma-norma di masyarakat. Jiwanya sangat bebas. “Suzanne mewakili generasi muda Prancis yang tahan banting, cemerlang, dan berprestasi gemilang. Di mata media Prancis, ia dijuluki Joan of Arc, sang dewi,” papar Larry Engelmann, penulis The Goddess & The American Girl: The Story of Suzanne Lenglen dan Helen Willis.  



Foto: Google Doodle Suzanne Lenglen
 

Inilah beberapa kisah yang menunjukkan kiprah pentingnya dalam sejarah olah raga:
1/ Semangat Suzanne yang menggebu-gebu untuk menang di lapangan didorong oleh sang ayah. Charles Lenglen sengaja pensiun dan menjual lisensi bisnis bisnya dan fokus pada karier putrinya. Suzanne kecil yang suka menyanyi dan juga seorang balerina diajak berlatih bersama petenis pria. Sang ayah mendoktrin, para petenis wanita tidak cukup sepadan menjadi lawannya.
 
2/ Tahun 1919, Suzanne menjadi satu-satunya atlet wanita pemenang yang bukan berasal dari negara berbahasa Inggris di Wimbledon. Di usia 20 tahun, ia mengejutkan penonton dengan pukulan di atas kepala seperti yang lazim dilakukan oleh petenis pria, dan mengalahkan Dorothea Douglass Chambers, pemenang Wimbledon 7 kali.
 
3/ Kariernya melesat cepat. Ia hanya kalah satu kali sejak tahun 1919 hingga akhir kariernya sebagai petenis amatir pada tahun 1926. Seolah kata ‘kalah’ tidak ada dalam kamusnya. Kalah membuatnya depresi dan kadang ia minum cognac saat bertanding untuk menenangkan dirinya.
 
4/ Ia memilih waktu bermainnya. Tidak suka bermain di pagi hari, karena ia suka tidur hingga siang. Baginya, kebebasan menjadi pemain profesional ibarat pelarian dari perbudakan. “Tak ada lagi yang bisa memerintah saya untuk bermain hanya demi keuntungan pemilik klub,” curhatnya dalam wawancara dengan Associated Press. “Saya sudah bersenang-senang dengan tenis dan membangun kejayaan tenis untuk Prancis. Sudah saatnya, tenis yang melakukan sesuatu untuk saya.”
 
5/ Tepat hari ini (24/5), dunia mengingat ulang tahunnya yang ke-117. Pemenang Wimbledon enam kali ini wafat di usia muda, 39 tahun. Ia kalah oleh leukimia. Ia hanya melewatkan Wimbledon karena sakit di tahun 1924.
 
6/ Tahun 1933, ia membantu mendirikan sekolah tenis di dekat stadium Roland Garros, rumah turnamen French Open. Kini kiprahnya di dunia tenis diabadikan di salah satu lapangan stadium tersebut. Patung dirinya juga hadir di depan museum stadium ini. Jika Anda berkesempatan menjelajah Paris dengan kereta, namanya juga melekat di salah satu stasiun, Suzanne Lenglen Metro.

Baca juga:
Jejak Wanita di Olimpiade


Topic

#wanitahebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?