Health & Diet
Wanita Ternyata Lebih Gampang Stres, Ini Faktanya

31 May 2017


Foto: 123RF
 
Sempat viral di Facebook akhir Maret lalu, aksi seorang pria gantung diri yang menampilkan tindakannya itu di akun media sosialnya, menyentak nurani kita. Di satu sisi, hal tersebut sungguh tidak pantas dijadikan tontonan publik dan di sisi lain disayangkan keputusan nekat yang dilakukan ayah dari empat anak tersebut. Kemudian diketahui dari curhat-nya di Facebook sebelum melepas ajal, pria tersebut ternyata sedang menghadapi persoalan rumah tangga.

Stres, tidak bisa dipungkiri, memang lekat dengan kehidupan kita. “Masyarakat di kota besar stres karena menghadapi beban dan tuntutan kerja, sedangkan di kota kecil justru karena kesulitan mencari pekerjaan,” jelas Dr. Linda Darmajanti, M.T., sosiolog perkotaan dari FISIP UI. Dinamika perkotaan yang serba cepat juga membuat masyarakat perkotaan lebih stres ketimbang mereka yang tinggal di desa.

Pada dasarnya, tiap orang bisa mengalami stres. “Stres itu tanda beban masalah atau tekanan yang dihadapi melebihi kapasitas kemampuan kita  dalam menghadapinya,” ujar dr. Theresia Citraningtyas, MWH, PhD, Sp.KJ, psikiater dari Ciputra Medical Center.

Lalu, kapan kita tahu ketika diri kita mulai stres? “Munculnya stres bisa ditandai dengan gangguan tidur, mudah terkejut, cemas berlebihan, sulit berkonsentrasi, jantung berdebar, hingga gangguan fisik seperti sakit perut melilit,” terang dr. Citra.

Menurutnya, stres merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa yang paling banyak menimpa orang. Sebagai informasi, yang dimaksud dengan kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) adalah kondisi di mana seseorang menyadari akan kemampuannya untuk menahan tekanan hidup dalam kesehariannya, tetap produktif dalam berkarya, dan mampu berkontribusi terhadap lingkungannya. “Terlalu banyak stres dapat  berkaitan dengan gangguan penyesuaian dalam hidup seseorang,” katanya. Misalnya, ganti pekerjaan, pindah sekolah, baru punya anak, baru bercerai, dan sebagainya.

Menariknya, dari hasil survei penyedia workspace global, Regus, terhadap 16.000 profesional di dunia pada tahun 2012, termasuk Indonesia, 6 dari 10 pekerja di dunia mengalami stres. Namun, hanya sedikit sekali yang datang berkonsultasi ke ahli kejiwaan. Sementara, khusus di Indonesia, 64% pekerja mengalami stres di tempat kerja mereka.

“Yang terbanyak berkonsultasi justru mereka yang mengalami masalah dalam rumah tangga, atau hubungan orang tua-anak,” ujar dr. Citra. Mungkin ini terjadi karena soal pekerjaan tidaklah sepermanen seperti halnya hubungan darah atau institusi pernikahan. “Kebanyakan, kalau seseorang sudah merasa tak sanggup lagi menahan beban dan tekanan pekerjaan, mereka akan resign dan mencari pekerjaan di tempat lain,” imbuh dr. Citra. Mereka juga umumnya tak memiliki waktu untuk berkonsultasi terkait beban kerja yang tak seimbang.

Sementara masalah rumah tangga atau perceraian misalnya, membuat seseorang kehilangan kebutuhan dasarnya untuk dicintai. Ini yang terberat, yang paling banyak membuat orang depresi berat, dibandingkan stresor dari pekerjaan. 

Lebih jauh, survei Health and Safety Executive, sebuah lembaga publik pembuat aturan tentang kesehatan kerja di Inggris tahun 2015-2016, menyebutkan bahwa pekerja wanita 1,4 kali lebih stres ketimbang pekerja pria, karena harus menghadapi isu seksis di kantor dan juga family burden.

“Wanita perkotaan memang punya multiperan, sehingga stres yang diterima pun dobel. Tanggung jawabnya sebagai pekerja dan sebagai ibu atau istri yang harus mengurus keluarga juga. Itu sebabnya, wanita lebih rentan terkena stres,” papar Linda. Apalagi, menurut dr. Citra, wanita juga dipengaruhi perubahan hormon (seperti estrogen, progesteron, dan oksitosin) saat menstruasi dan masa kehamilan yang bisa memengaruhi emosi dan perasaannya. (f) 
 


Topic

#Stres

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?