Health & Diet
Bijak Menggunakan Obat

30 May 2016


Foto: Fotosearch

Mariana sangat parno dengan yang namanya penyakit. Tiap kali merasa nggak enak badan, dia langsung minum obat yang dijual di pasaran, deh. Baginya, segala penyakit, termasuk yang ringan seperti batuk, pilek maupun sakit kepala, hanya bisa disembuhkan dengan obat!

Nggak sedikit dari kita yang memiliki pemikiran sama seperti Mariana alias mengandalkan obat untuk menghilangkan penyakit. Padahal, nih, terlalu banyak meminumnya nggak menjamin kesehatan kita akan kembali dalam waktu singkat. Yang ada,  kondisi tubuh kita berisiko menurun sebagai efek jangka panjangnya. Waduh!

Masuk akal, nggak?
Pernah mendengar istilah RUM? Eits, bukan rum yang berfungsi sebagai penyedap kue, ya. melainkan Rational Use of Medicine atau Penggunaan Obat Secara Rasional. Nah, belakangan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sedang mengampanyekan RUM ke berbagai negara.
           
Maklum, menurut WHO di www.who.int, penggunaan obat yang nggak masuk akal telah menjadi masalah utama dunia. Soalnya, nih, dari 2/3 populasi dunia yang pernah mengonsumsi obat, setengah di antaranya tidak menggunakan dengan tepat. Misalnya, minum obat tanpa resep dokter berdasarkan inisiatif sendiri.

Fakta lainnya, lebih dari setengah obat yang tersedia di pasaran ternyata tidak diberikan atau dijual sesuai kebutuhan pasien. Hasilnya, pasien bisa meminum obat dalam jumlah banyak atau dosis tinggi perhari—padahal sebenarnya nggak perlu.
                       
Peran dokter
Dokter turun berperan terhadap timbulnya penggunaan obat yang tidak rasional. Makanya, ada istilah Iatrogenesis,  yang artinya muncul masalah baru akibat perbuatan dokter.
           
Menurut Dr. Tan Shot Yen, M.Hum dari Dr. Tan Wellbeing Clinics & Remanlay Special Needs’ Health, iatrogenesis mungkin terjadi sekalipun dokter sudah mengikuti standar prosedur operasional. Biasanya, sih, disebabkan komunikasi yang buruk antara pasien dan dokter, termasuk dalam menyiapkan riwayat penyakit pasien.
           
Penyebab lainnya, kompetensi dari sang dokter. Bisa saja, tuh, dokter hanya fokus pada gejala yang dirasakan pasien. Hasilnya, dia ‘menghajarnya’ dengan obat berdasarkan gejala-gejala yang ada, sedangkan akar permasalahannya belum dideteksi.
           
“Jika ada pasien menderita demam typhoid dengan gejala sakit kepala, nyeri perut, diare dan demam tinggi, misalnya. Dia hanya diberi obat untuk menangani gejala-gejala ini. Padahal ada obat spesifik antibiotik untuk kuman Salmonella Typhii, si biang keladi typhoid,” jelas Tan.

Menjajal sendiri
Selain dokter, kita sendiri juga turut andil dalam penggunaan obat yang tidak rasional. Yap, menurut Tan, pasien atau orangtua di negara kita suka ‘bermain dokter-dokteran’.
           
Buktinya, ada pasien yang mengatur dosis semaunya dengan alasan takut obat terlalu keras. Contoh lainnya, mereka menghentikan obat tanpa sepengetahuan dokter karena mengira sudah sembuh. Bahkan, nggak sedikit orang yang suka membeli obat tanpa resep dokter.
           
“Yang terakhir ini terjadi karena kontrol pemerintah terhadap apotik masih sangat lemah, khususnya larangan untuk menjual obat tertentu tanpa resep dokter,” jelas Tan.
           
Lalu, bagaimana dengan obat herbal, apakah lebih aman dikonsumsi semau kita jika dibandingkan obat biasa? Eits, jangan salah. Semua bahan yang berasal dari tumbuhan bisa lebih toksis (beracun) dan mematikan jika ada penyalahgunaan.
           
“Semua unsur tumbuhan mengandung istilah kimia. Bahkan, banyak jenis buah yang mengandung phenol alias alcohol. Intinya, obat harus dikonsumsi sesuai pengawasan dokter,” tambah Tan.
 
Siap konsekuensi?
Tanpa kita sadari, penggunaan obat yang tidak rasional memberi dampak negatif pada tubuh—apalagi jika kita memiliki gaya hidup buruk. Tubuh yang berteriak kelelahan pun malah dihajar dengan obat.

Pengobatan berdasarkan gejala—tanpa mencari tahu sumber penyebab—akan membuat tubuh makin lemah. Pada kasus typhoid tadi, misalnya. Pasien bisa meninggal dunia, tuh, karena perforasi usus alias kebocoran usus.

“Bisa berakibat fatal jika kita nggak peduli pada tubuh yang ‘berteriak’ kelelahan dan malah menghajarnya dengan obat, yaitu kematian,” kata Tan.

Makanya, saat menderita suatu penyakit, pastikan dulu penyebabnya. Tanyakan ke diri sendiri mengenai pola makan kita. Selama ini, apakah kita mengonsumsi makanan yang disuka, namun tidak dibutuhkan tubuh? Lingkungan juga berpengaruh. Polusi, wewangian ruangan hingga pelembut pakaian yang mengandung zat kimia juga bisa menjadi penyebab penyakit kita.

“Obat tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah baru jika kita nggak memahami mengapa tubuh ‘bertingkah’. Keluhan yang tubuh rasakan merupakan alarm agar kita berhenti sejenak, merefleksikan diri, lalu memilih tindakan efektif dan melakukan perubahan,” tambah Tan.

Aktif!
Menurut Tan, nggak semua masalah tubuh harus diatasi berdasarkan anjuran dokter. Sebagai pasien, kita punya hak, kok, untuk meminta penjelasan tentang penyebab penyakit kita, beserta pilihan untuk mengatasinya. Coba tanyakan apakah kita perlu memperbaiki pola makan, menurunkan berat tubuh dulu, atau ikut kelas yoga.
           
“Kadang dokter dengan enaknya mengatakan komplikasi sebagai sebab kematian. Padahal bila dilihat dengan cermat, pemakaian obat bisa dicegah seminimal mungkin. Caranya: memberi pemahaman jelas, lugas dan masuk akal mengenai hal yang harus diubah dari gaya hidup pasien,” jelas Tan.
           
Jangan ragu untuk mencari informasi di dunia maya. Buka, deh, website yang bertanggung jawab mengenai informasi kesehatan. Kita pun bisa mempelajari penyebab timbulnya demam, apa penyebab flu, hingga perbedaan flu antara yang butuh obat dengan yang tidak (alias cukup beristirahat saja).
           
“Salah satu situs yang sangat terkenal adalah www.mercola.com yang banyak mengulas masalah kesehatan. Dia berpihak pada masyarakat alias nggak menulis dari sisi segelintir orang yang mau mengambil keuntungan dari penyakit tertentu,” kata Tan. (f)

 


Topic

#kesehatantubuh

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?