Fiction
Wanita Beraroma Kenanga

10 Dec 2016


Aku kembali melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Kepalaku masih terasa sedikit pusing ketika turun dari bus yang membawaku dari Jakarta. Perjalanan Jakarta ke kampung halaman yang memakan waktu hampir delapan jam bukanlah perjalanan yang ringan.
Kampung halamanku, Karang Pinggir, sebuah desa  yang masih terbilang tertinggal dibandingkan desa-desa di sekitarnya. Begitu juga dengan penerangan di kampung ini, masih sangat minim. Aku menyesal karena tidak mengabarkan keluarga mengenai kepulanganku dari Jakarta.
Tidak ada gunanya mengeluh. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan embusan angin dini hari membasuh rasa pening di kepala. Udara yang sejuk perlahan-lahan memenuhi rongga paru-paruku. Tidak ada pilihan lain, aku harus berjalan kaki menuju rumah.
Aku teringat pada kenangan tiga tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib ke Jakarta. Saat itu sore hari, senja yang bersolek mega memenuhi langit, awan-awan keemasan membentuk lukisan-luksan abstrak yang sejuk dipandang mata. Aku diantar Ibu dan sahabatku menggunakan sepeda. Air mata tak berhenti mengaliri wajah senja ibuku. Begitu juga dengan sahabatku, Sipon, dia juga tak henti-hentinya menyeka air matanya.
”Ati-ati nang dalan, Rum.” Sipon menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kabari aku kalau sudah sampai.”
Dadaku terasa sesak menatap Sipon. Sejak kecil kami selalu bermain bersama, tiada hari tanpa kami lalui bersama, sekolah bersama, panen genjer di sawah, dan berbagai hal lainnya. Aku menyayangi Sipon seperti menyayangi kakakku sendiri.
Aku mengangguk dan memeluk Sipon. Aroma kembang kenanga langsung menusuk hidung begitu memeluk Sipon. Tapi, aku tidak peduli, rasanya aku akan merindukan aroma kenanga dari tubuh Sipon.
“Aja kelalen sembayang, pesan ibuku, ketika bus yang aku tunggu datang. “Jangan pernah lupa sama Gusti Allah.”
Aku mengangguk, berusaha menahan rasa sesak di dada menghadapi perpisahan ini.
 
WALAU SUDAH tiga tahun berlalu sejak aku berpisah dengan Ibu dan Sipon, aku masih ingat dengan semua itu. Bagaimana ekspresi sedih Ibu ketika aku melambaikan tangan ke arahnya, bagaimana ekspresi Sipon yang sangat berat untuk melepasku ketika bus yang membawaku  makin menjauh meninggalkan perempatan itu.
Di kota, aku bekerja di sebuah restoran. Aku bekerja dengan giat di restoran ini, sehingga dalam kurun waktu satu tahun gajiku sudah cukup memadai untuk kebutuhan pribadiku. Hampir  tiap bulan aku selalu mengirimkan sebagian uang hasil kerjaku untuk membantu menafkahi Ibu.
Selama tiga tahun ini aku selalu memendam rasa rindu pada keluargaku. Aku rindu suasana kampung halaman yang asri. Sawah yang menghijau dengan burung bangau yang sesekali terlihat di galangan sawah. Burung-burung bangau itu terkadang berlomba dengan para penduduk dalam mencari belut. Gunung Slamet terlihat sangat gagah bila dilihat dari depan rumahku.
Sipon, wanita beraroma kenanga itu, juga menjadi alasan kenapa aku ingin pulang setelah tiga tahun merantau. Aku rindu dengan guyonannya, aku rindu dengan cerita-ceritanya, dan yang lebih utama, entah kenapa aku sangat rindu dengan aroma kenanga yang selalu melekat di tubuhnya. Aku tidak tahu kenapa Sipon sangat menyukai parfum aroma kenanga, padahal di kampungku, aroma kenanga adalah pertanda datangnya makhluk halus, dedemit, atau sejenisnya.
“Aku meramu sendiri wewangian aroma kenanga ini, Ningrum,” terang Sipon, ketika aku bertanya kenapa dia sangat suka aroma kenanga. “Aku menemukan ramuan ini juga secara tidak sengaja.”
“Lalu kenapa kau suka bunga kenanga?”
“Aroma kenanga menenangkan,” jawab Sipon kala itu. “Ini kedengarannya memang aneh, tapi aku sangat menyukai aroma kenanga. Belum lagi ada mitos bahwa aroma bunga kenanga yang tercium pada malam hari menandakan kedatangan makhluk halus.”
Aku hanya tersenyum, selalu bergidik jika membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan makhluk halus.
“O ya, besok kita panen genjer, ya,” ajak Sipon semangat. “Sayang kalau tidak ada yang mengambilnya.”
Aku hanya mengangguk. Aku tahu Sipon sangat menyukai genjer. Sangat jauh terbalik denganku. Tiap kali aku makan genjer, pasti selama dua hari aku langsung diare.
 
EMBUSAN ANGIN dini hari kembali mengelus leherku. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara jangkrik yang mengerik dan kodok yang sedang menunjukkan kuasa malamnya. Suara hewan-hewan itu seolah beradu membentuk sebuah simfoni yang menarik sekaligus mistis. Tanaman padi yang baru saja ditanam sedikit bergoyang-goyang tertiup angin.
Aku menarik kancing jaket hingga menutupi leher, berusaha menghalau rasa dingin yang menusuk tulang. Kugesek-gesekkan kedua tangan untuk menciptakan panas, kemudian kuletakkan di kedua pipiku yang terasa dingin.
Suasana pagi ini begitu sepi. Sejauh mata memandang yang ada hanyalah hamparan sawah, siluet Gunung Slamet tampak mengerikan jika dilihat pada pagi buta seperti ini. Sebuah pohon sengon yang tumbuh di pinggiran jalan juga memberikan efek misterius, seolah-olah pohon itu adalah raksasa berbulu hitam.
Aku mencoba membayangkan apa yang akan aku lakukan besok, jika bertemu dengan Sipon. Terakhir kali aku berkomunikasi dengan Sipon satu tahun lalu, ketika dia sakit demam. Membayangkan wajah damai Sipon dengan aroma kenanga entah kenapa membuatku  makin mempercepat langkah untuk segera sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya dan berbagi banyak kisah, aku juga dengan senang hati jika Sipon mengajakku panen genjer di sawah.
Aroma kenanga yang sudah kukenal menghantam hidung ketika aku berjalan melewati jembatan yang membelah aliran sungai kecil. Aku kenal dengan aroma ini. Ini adalah aroma seseorang yang sudah lama kurindukan. Aku berkeliling mencari dari mana aroma kenanga itu berasal. Dan di sana, di antara lambaian pohon sengon, aku bisa melihat sesosok wanita yang sudah kukenal.
Perasaan lega langsung memenuhi dadaku begitu tahu bahwa sosok itu adalah Sipon, wanita beraroma kenanga yang sudah lama kurindukan. Sipon melambai pelan ke arahku, dan aku menghampirinya dengan senyum terkembang di bibir.
“Sipon, apa itu kau?”
Sipon mengangguk dengan senyum kecil. Aroma kenanga  makin menusuk hidungku. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dia lakukan di pagi buta seperti ini. Apakah dia sengaja menjemputku di sini? Ataukah karena ikatan batin antara kami berdua yang membuat Sipon mempunyai intuisi bahwa aku akan mudik pagi ini?
 “Aku tahu kau akan pulang hari ini, Ningrum,” kata Sipon, seolah bisa membaca pikiranku. “Ayo, aku antar pulang.”
Aku mengangguk setuju. Kami berjalan beriringan, rasanya ini cukup menyenangkan berjalan bersama seorang sahabat yang sudah lama kita rindukan. Postur tubuh Sipon tidak banyak berubah seperti terakhir kali aku bertemu tiga tahun yang lalu. Dia masih tinggi kurus dengan dagu lancip. Satu hal yang berubah adalah, walau dalam kegelapan, aku bisa melihat wajah Sipon sedikit pucat.
“Apa kau sakit, Pon?” tanyaku melirik Sipon. “Wajahmu pucat.”
“Aku tidak apa-apa,” jawab Sipon pelan. “Bagaimana kerjaanmu di kota, Rum?”
Lalu aku pun menceritakan semuanya kepada Sipon. Tentang pekerjaanku yang bergaji cukup lumayan, hingga candaanku bahwa aku mungkin bisa mengajak Sipon untuk ikut merantau ke Jakarta.
“Aku tidak bisa,” jawab Sipon pelan. Aroma kenanga  makin menusuk hidungku. “Aku lebih suka tinggal di kampung ini.”
Aku hanya terdiam mendengarnya. Aku tahu,  Sipon sepertinya sudah bertekad hidup dan mati di kampung halaman ini.
“Kita hampir sampai,” kata Sipon berhenti sesaat, jarinya menunjuk ke arah rumahku berada. “Aku hanya bisa mengantarmu sampai ke sini, Rum.”
“Apa kau tidak mau mampir dulu?” tanyaku, merasa udara seolah berubah beku.
Sipon menggeleng. “Sudah malam, sebaiknya kau istirahat, aku mau pulang ke rumah.”
Setelah berkata seperti itu Sipon berjalan ke arah sebuah tikungan. “Senang melihatmu kembali, Ningrum.”
Aku tersenyum seraya melambaikan tangan ke arah Sipon.
Rumahku tidak banyak mengalami perubahan sejak tiga tahun yang lalu, hanya cat tembok yang dulu berwarna putih kini telah berubah menjadi kuning gading. Aku berjalan menuju pintu, merasakan kerinduan pada Ibu. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak berapa lama kemudian terdengar sebuah langkah dari dalam rumah. Suara wanita itu menjawab salamku. Dan begitu pintu terbuka, ibuku langsung memelukku dengan sangat erat. “Ya, Allah, Ningrum, kenapa tidak ngasih kabar kalau mau pulang?” tanya ibuku. “Kamu pulang sama siapa pagi-pagi buta seperti ini?”
“Tadi aku ketemu Sipon di jalan,” jawabku, begitu Ibu mempersilakanku duduk. “Dia yang tadi mengantarku sampai depan.”
“Sipon?” wajah Ibu langsung terlihat aneh. “Sipon sudah meninggal kemarin, Ningrum.” (f)
 
***
Ragiel JP

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?