Fiction
Utuh

30 Jun 2016


 
Pantangan itu berlaku sejak aku masih kanak-kanak. Masih akan tetap berlaku hingga detik ini. Andai tiga hari lalu aku tidak melanggarnya dengan sengaja. Kesengajaan yang telah kurajut waktu demi waktu, selama dua tahun terakhir, sebelum mewujud dalam tindakan.
Persekutuan malam, angin, pepohonan, dan air waduk menghadirkan hawa dingin menusuk. Langit puncak musim kemarau bertabur gemintang. Sayup alunan gamelan dari atas gunung menyisir malam. Sepuluh menit lagi sayup alunan gamelan akan berubah kentara, seiring langkah kami kian mendaki.
Ketenangan di bawah gunung berbanding terbalik dengan  ingar-bingar di atas gunung. Kemeriahan pergelaran wayang kulit tengah menghujani malam yang bergerak menua. Dalang kondang bersuara bening, siaga menggelar lakon ‘Wahyu Topeng Waja’. Lakon tentang perjuangan Gatotkaca untuk mendapatkan wahyu Senopati. Kehadiran tiga pelawak kondang, mentasbihkan pergelaran wayang kulit kali ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah penyelenggaraan Grebeg Suro. Seperti tahun-tahun sebelumnya Grebeg Suro diselenggarakan di Gunung Kemukus; dikemas dalam acara larap slambu makam Pangeran Samudro, kirab gunungan hasil bumi, dan pergelaran wayang kulit.

“Semoga kita tidak menunggu lama.”
Harapanku sama dengan harapan Latu. Makin lama kami berada di tempat ini,  makin tidak baik. Terutama untukku. Karena pantangan untuk tidak mendatangi tempat ini tanpa didampingi orang tuaku, telah terlanggar. Pantangan yang seharusnya tiada, andai ulah pihak-pihak tak bertanggung jawab tidak mengakibatkan kesakralan Gunung Kemukus hancur.
Mendekati panggung pergelaran wayang kulit, arus pengunjung menderas. Saling tidak melepas pandang, kami menyisir lurus ke arah belakang panggung. Tepatnya menuju area terluar pemakaman, di mana Abdi menunggu kami. Abdi termasuk panitia acara Grebeg Suro, sebagai salah satu wakil dari instansi tempatnya bekerja.
Dalam balutan busana Jawa lengkap, Abdi menyodorkan berkas perjanjian kerja sama ke arah kami, “Pelajari dulu. Tanyakan jika ada yang tidak kalian pahami.”
Kami bertiga kemudian larut dalam diskusi panjang tentang sebuah asa.  
  
“MENGAPA KAU MELANGGAR pantangan kami?”
Kekhawatiran menderaku begitu mendengar pertanyaan Ibu. Seyakin mentari akan terbit kembali setelah terbenam, seyakin itu pula aku tahu ke mana pertanyaan Ibu akan bermuara.
Aku tidak tahu sejak kapan wajah bapak, ibu, bibi dan kedua pamanku berubah menjadi wajah-wajah para pengadil. Tatapan curiga mengintai dari  tiap pasang mata mereka. Aku, si terdakwa, kelu dalam bisu.
“Yani....”
“Maafkan aku.”
Bapak angkat bicara, suaranya serak akibat batuk menahun. “Ini bukan soal maaf-memaafkan. Ini tentang kejujuran.”
“Aku ke sana bersama Latu, Pak.”
“Latu bukan orang tuamu,” sergah Bapak, tegas.   

Bibi dan kedua paman, yang aku yakin diminta Bapak untuk datang ke rumah malam ini, hanya diam mengikuti arus pembicaraan kami bertiga. Ekspresi wajah mereka melukiskan penasaran atas ‘pemberontakan’ yang tiga hari lalu kulakukan, dengan melanggar pantangan kedua orang tuaku.
“Jika kau memiliki keberanian sebesar itu untuk melanggar pantangan kami, pasti ada penjelasan mengapa kau melakukannya,” suara Ibu dipenuhi nada kecewa yang tak sanggup disembunyikan.
“Kami ingin beternak sendiri, dengan keramba jaring apung. Karenanya kami butuh modal. Abdi bersedia meminjamkan modal itu.”
Suasana mendadak senyap. Bapak, ibu, bibi, dan kedua pamanku menelanjangiku, kali ini dengan tatapan tak setuju.
Bagi orang tuaku, menjadi nelayan gurem sudah menjadi pilihan hidup. Asalkan bisa bertahan hidup dengan hasil tangkapan dari waduk Kedung Ombo, perubahan tidak diperlukan. Pandangan hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bedanya, generasi kakek-nenek menjalaninya sebagai petani gurem, sebab waduk Kedung Ombo saat itu belum ada. Bagi mereka, muluk-muluk berarti mimpi. Dan mimpi hanya milik orang-orang yang tidur, bukan milik orang-orang yang terjaga.
“Jelaskan..,” Bapak memotong senyap.
Penjelasan yang diharapkan Bapak mau tak mau menyeret pikiranku pada apa yang telah dan akan kulakukan bersama Latu. Kerangka keramba, pelampung, tali pengikat, jangkar, jaring, pemberat, dan semua perlengkapan untuk membuat keramba jaring apung; telah dimulai pengerjaannya kemarin. Setelah keramba jaring apung siap, pekerjaan akan dilanjutkan dengan pembuatan rumah jaga yang sekaligus berfungsi sebagai gudang.
“Sudah dua tahun kami berdua merencanakan semuanya. Terpikir meminjam modal dari bank. Ketika Abdi mengetahui rencana kami, dia ingin meminjamkan modal. Menimbang peluang dan kendala usaha, akhirnya kami memutuskan meminjam modal darinya.”

Bapak menghela napas dalam. Seperti aku dan Latu, Bapak telah cukup lama mengenal Abdi serta keluarganya. Meskipun jurang memisahkan status sosial di antara kami, tak menghalangi ketulusan niat untuk saling merengkuh.
          “Kami memiliki perjanjian tertulis berkekuatan hukum, Pak,” lanjutku lagi. Tak ingin orang tuaku meragukan ketulusan niat Abdi.
Keheningan kembali mengambil alih waktu. Bibi dan kedua pamanku saling pandang, seperti tengah berdiskusi dalam senyap. Sejak pembicaraan malam ini dimulai, mereka belum mengeluarkan sepatah kata pun. Bapak tidak akan meminta mereka berkumpul bila tidak mengharapkan mereka turut andil dalam pembicaraan. Aku menanti apa yang akan mereka suarakan.
“Bagaimana kalau usaha itu gagal?” pertanyaan Paman Sardi menghalau penantianku. “Tidak mudah menjalankan usaha seperti itu.”
Paman Sardi benar. Memang tidak mudah. Tapi, yang tidak mudah bukan berarti tidak bisa dilakukan. Lima tahun aku dan Latu bekerja di keramba jaring apung milik Pak Roban, salah satu peternak ikan paling berhasil di daerah kami. Sekaligus orang pertama yang memulai beternak ikan menggunakan keramba jaring apung. Aku menyaksikan bagaimana jatuh-bangun lelaki berusia 57 tahun itu selama menjalankan usahanya. Memberiku pengalaman sekaligus keterampilan, sejengkal demi sejengkal. Nasihat beliaulah yang makin mengobarkan semangat kami untuk memiliki usaha keramba jaring apung sendiri.
“Kemungkinan gagal selalu ada, Paman. Satu hal yang sanggup aku janjikan adalah bekerja semaksimal mungkin agar usaha yang kami rintis berhasil.”
“Jika gagal....”

Paman Bandi melanjutkan kata-kata Paman Sardi yang menggantung, “Berarti menyisakan setumpuk utang.”
Sejarah panjang keluargaku memiliki ketakutan akut terhadap utang. Kesederhanaan menjadi kata lain kemiskinan, yang memaksa mereka menerima keadaan apa adanya tanpa perlu melibatkan diri dengan sesuatu bernama utang.
“Aku tidak akan membebani kalian bila usaha ini tidak berhasil,” ujarku kemudian. Bukan bermaksud menenangkan, melainkan sebuah tekad yang telah kupatri di lubuk hati terdalam, jauh sebelum rencana itu aku jalankan.
“Bagaimana caranya? Berutang ke orang lain lagi?” tanya Paman Bandi bernada sarkasme, “Atau meminjam dari bank?”
“Mengembalikan modal dengan cara mengangsur.”
“Abdi setuju?”
Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Bapak, “Tertera di surat perjanjian.”

Seperti saran Pak Roban, kami akan menggunakan keramba jaring apung dengan double layer. Jaring atas untuk ikan mas, jaring kedua untuk nila merah.
Perbedaan masa tanam dan pakan, memberi peluang lebih besar bila menggunakan double layer. Masa tanam ikan mas untuk ukuran konsumsi adalah 2,5 sampai 3 bulan, nila merah 6 sampai 7 bulan. Pakan pelet untuk ikan mas memberi keuntungan nila merah, karena jenis ikan ini tidak memerlukan pakan khusus. Nila merah hanya makan sisa pakan ikan mas, atau lumut yang tumbuh di jaring. Harga jual kedua jenis ikan tersebut lima tahun terakhir cukup stabil di pasaran.
“Bagaimana dengan tenaga?”
“Selain kami berdua, tenaga tambahan hanya diperlukan sewaktu-waktu, Bu.”
“Kita bisa menjadi tenaga yang dibutuhkan,” Bibi angkat bicara sambil menatap Bapak.  “Bukankah begitu, Kang?”
Bapak tidak mengiyakan, juga tidak membantah perkataan Bibi. 
 
 
HANYA KESIBUKAN IBU mencuci piring bekas makan malam yang terdengar dari arah dapur. Biasanya itu adalah tugasku. Tapi, tidak untuk malam ini. Setelah makan malam selesai, bibi dan kedua pamanku pamit. Aku hendak membereskan peralatan makan ketika Bapak mencegah. Dengan isyarat mata, Bapak meminta Ibu mengambil alih tugas itu.
“Bapak merasa masih ada yang tidak kau katakan pada kami. Alasan di balik rencana besarmu itu.”
Terkadang, dalam beberapa hal ikatan batin antara aku dan Bapak demikian kuat. Hingga yang tak terbaca mata batin Ibu, terbaca oleh mata batin Bapak. Dalam beberapa hal lain, ikatan batinku dengan Ibu justru lebih kuat. Yang tidak terbaca mata batin Bapak, terbaca oleh mata batin Ibu. Seperti yang terjadi malam ini.

“Uang.”
Jawaban singkatku menimbulkan tanda tanya besar yang terlukis jelas di kedua mata tajam Bapak. Dahinya mengerut.
“Untuk biaya operasi.”
Ini pertama kalinya aku mengatakan sesuatu yang sangat aku inginkan seumur hidup. Sesuatu yang bernama masa depan.
Kutangkap dengan ekor mata bayangan Ibu yang mendadak berhenti di depan pintu dapur. Sama seperti Bapak yang tiba-tiba bungkam mendengar jawabanku, Ibu menunjukkan reaksi keterkejutan yang kurang lebih sama.
Dua puluh empat tahun, belum pernah sekali pun aku menyinggung masalah yang paling sensitif ini. Tidak kepada kedua orang tua, apalagi kepada orang lain.
Maka, monolog malam ini milikku sepenuhnya.

“Bapak pernah mengatakan ingin menimang cucu. Ibu ingin mantu semeriah ketika  Bibi Sum mantu. Seharusnya cucu yang Bapak timang adalah anakku, pengantin yang Ibu limpahi restu adalah aku, karena akulah anak kalian semata wayang. Bisakah keinginan-keinginan mulia itu terwujud dengan keadaanku sekarang?”
Ibu mendekatiku. Helaan napasnya terputus-putus. Bisa dipastikan tangis telah merangkak ke tenggorokan. Tinggal menunggu detik sampai tangis itu menerobos dinding pertahanan menjadi tetes-tetes air mata.
“Identitas utuh. Hanya itu satu-satunya jalan mewujudkan mimpi-mimpi itu.”
Isak luruh dalam tangis. Entah kapan tangan Ibu telah menggenggam erat tanganku. 
“Tidak, Bu, ini bukan kesalahan siapa-siapa. Bukan juga kesalahan keadaan. Satu-satunya yang bisa disalahkan hanyalah bila aku tidak berusaha mengubah keadaanku.”

Suryani, nama pemberian orang tua, yang tertera di  tiap kartu identitas, lembar pengesahan, lembar kesepakatan, dan juga di  tiap panggilan untukku. Suryani adalah pemilik sebentuk tubuh setinggi 169 sentimeter, berat 47 kilogram, rambut ikal, kulit sawo matang, serta sepasang mata bak bunga teratai.
Semesta turut menyaksikan Suryani juga pemilik jakun dan sepasang gunung, kumis dan haid, dua lubang dalam satu wadah yang mengalirkan air bersamaan ketika hajat kemih ditunaikan.
“Bagaimanapun keadaanku nanti setelah operasi, akan kuterima dengan legowo. Baik sebagai Suryani  ataupun Surya.”
Tiba-tiba Bapak berdiri, memandangku mantap, “Besok kita berangkat ke waduk lebih pagi.” (f)
 
 
Catatan:
Larap slambu: Upacara penyucian kelambu penutup makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus.
Kang: Panggilan untuk kakak laki-laki.
Keramba jaring apung: sarana pemeliharaan ikan atau biota air yang mengapung di permukaan air
Double layer: jaring ganda, atas-bawah
Legowo: rela
 
 
 ***
Santi Umiyati
 
 
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?