Fiction
Tarian Cinta Lumba-Lumba [3]

5 Dec 2016


Bagian 3
Kisah sebelumnya:
Becca, gadis Batak sarjana perikanan, lebih memilih bekerja dalam pertunjukan lumba-lumba di Lovina, Bali. Ia sangat peduli pada nasib Lado, lumba-lumba yang dekat dengannya. Apalagi, Bagus, bosnya, bersikap keras terhadap lumba-lumba.  Becca yang berpacaran dengan rekan kerjanya, Bens, dipaksa pulang untuk dinikahkan dengan paribannya. 
 
            Aku masuk ke rumah. Aku siap ‘diadili’, tapi aku juga bisa  ‘mengadili’....
            “Bagaimana, Beca, kau mau kan menerima lamaran Holong?” Bapak menatapku penuh harap.
            “Saya tak begitu paham soat adat Batak, Bapak, Mamak, Inanguda, Namboru, Tulang, pariban-ku  Holong, dan semua keluargaku yang hadir di sini. Perkawinan antar pariban dalam adat kita, sangat saya hargai. Itu salah satu kekayaan budaya kita. Saya paham, cara perjodohan seperti itu  dulu dilakukan  nenek moyang kita untuk menjaga keakraban antara saudara laki-laki dengan saudara perempuan. Tapi, izinkanlah saya mengomentarinya dari segi kesehatan.”
            Kulihat Holong menatapku, masih dengan sinar cinta.
            “Silakan, Butet,” kata Bapak riang.
            “Saya mulai dengan cerita keluarga Charles Darwin!”
            “Kenapa dengan Darwin?” potong  Holong, menatapku lucu. “Ada cerita baru tentang panjang pendeknya leher jerapah?”
            “Aku enggak membahas leher jerapah. Charles Darwin adalah ahli biologi, geologi, ekologi,  evolusi, dan dia sangat terkenal di dunia ilmuwan. Ia menikah dengan sepupu pertamanya, Emma Wedgewood. Kalau di adat Batak, kedudukan Darwin dengan Emma sama dengan pariban. Kau tahu enggak apa yang terjadi pada anak-anaknya, Holong?”
            “Mana aku tahu, pariban-ku,” kata Holong, tertawa. “Enggak saya pikirkan itu. Saya hanya memikirkanmu.”
            “Tiga anaknya meninggal dunia sebelum berumur sepuluh tahun. Dan anak-anaknya yang hidup, sangat menderita karena sepanjang hidupnya  dikejar hantu terus!”
            “Hantu? Hantu benaran?”
            “Hantu benaran, dan sangat menyeramkan.  Tiap kali hantu itu datang, Darwin dan istrinya sangat stres. Waktu mereka habis hanya untuk mengurusi penyakit yang menyerang anak-anak mereka.”
            “Jadi hantu yang kau maksud penyakit?”
            “Benar, Holong. Menurut penelitian Ohio University dan Universidad de Santiago de Compestelai, Spanyol, penyebab utama penyakit anak-anak Darwin karena masalah reproduksi, akibat Darwin dan Emma adalah saudara sepupu! Dalam banyak tulisannya, Darwin juga menulis kekhawatirannya bahwa anak-anak mereka sakit-sakitan karena garis keturunannya yang sangat dekat dengan Emma.”
            Kulihat Bapak tersentak. Raut mukanya berubah menjadi tegang.
            “Gen pembawa sifat buruk lebih banyak muncul pada anak dari hasil perkawinan sedarah dibanding perkawinan bukan sedarah. “
            “Kok, bisa begitu?” Namboru  Uli menantangku.
            “Karena, dua orang yang memiliki hubungan persaudaraan yang dekat memiliki hubungan sifat genetis yang hampir sama. Dua genetis yang hampir sama memiliki kelebihan dan kekurangan yang hampir sama pula. Nah, kekurangan yang hampir sama itu memperbesar kemungkinan terjadinya kelainan genetis pada keturunannya.”
            Bapak berdiri, menatapku seperti melihat hantu.
            “Coba jelaskan lebih sederhana, Beca.”
            “Begini Bapakku, jika saya menikah dengan Holong, jelas sifat genetis kami hampir sama. Jika salah satu dari kami punya kekurangan genetis, misalnya  Holong punya penyakit bawaan, maka sifat genetis yang kurang itu  akan menurun pada anak kami. Seandainya Holong punya penyakit ayan, maka anak kami nanti sebagian atau bahkan seluruhnya akan menderita ayan.”
            “Enak saja, saya enggak punya penyakit ayan!” Holong melotot.
            “Jangan marah, dong, ini kan contoh, Sepupuku.”
            “Apa saja, sih, risiko kawin dengan pariban?” Suara Namboru  Uli mulai lemas.
            “Kawin dengan pariban adalah perkawinan sedarah, Namboru-ku. Anak dari hasil perkawinan sedarah menghasilkan anak yang rentan meninggal ketika lahir, cacat bawaan seperti buta warna, bibir sumbing, hemofibia,  alergi, albino, asma, diabetes melitus, ayan, jumlah jari yang kurang atau lebih, kelainan jantung, keterbelakangan mental, kecerdasan yang rendah, dan banyak penyakit lain.”
            “Fatal sekali!” seru Bapak. ”Tapi, kenapa banyak yang kawin dengan pariban,  anak-anak mereka hebat dan cerdas.”
            “Karena kebetulan keduanya pembawa gen yang baik. Tapi, jika salah satu pembawa gen yang kurang baik, maka akan menurun pada anak mereka.  Apalagi kalau keduanya pembawa gen yang tidak baik, maka terjadilah neraka yang tak pernah berujung.”
            “Ah, teori dari mana itu?”  Namboru Uli mengibaskan tangannya.
            “Kebetulan Inanguda Mei ada di sini. Boleh enggak Inanguda, saya menunjukkan contoh nyatanya adalah Inanguda?”
            Inanguda Mei menangis.
            “Baiklah, kalau Inanguda keberatan, saya tunjukkan contoh lain saja.”
            “Boleh, Beca, boleh. Enggak apa-apa, kok.” Inanguda Mei mengangguk, dan buru-buru memandang ke arah lain.
            “Terima kasih, Inanguda-ku, atas kebesaran hatinya. Saya tunjukkan semua ini agar pola pikir kita yang tertutup, terbuka sedikit.”
            “Aku jadi tegang ini.” Holong berdiri. “Teruskanlah, Beca!”
            “Dua anak Inanguda Mei, santabi da, meninggal dunia ketika lahir ke dunia. Satu anak yang lain, juga meninggal sebelum berumur dua tahun. Anak satu-satunya, malah terkena ayan. Mengapa ini terjadi? Saya tak berani mengomentari dari sisi agama. Dari segi kesehatan,  jelas salah. Inanguda menikah  dengan Amangudapariban kandung Inanguda. Belakangan kita tahu ternyata Amanguda mempunyai riwayat penyakit ayan.  Betapa berat penderitaan Inanguda, terlebih Amanguda juga sudah meninggal.”  
            Kulihat Bapak makin tegang.  Segelas susu kesukaannya hampir saja tumpah disenggolnya.
            “Kesimpulannya, menikah dengan saudara sepupu, atau pariban atau perkawinan sedarah, lebih banyak ruginya daripada untungnya. Kawin dengan pariban ibarat berjudi. Kalau lagi beruntung, dapat anak yang sehat, tapi jika ada kelainan genetis, bersiaplah menghadapi jalan buntu. Jalan tak ada ujung, seperti kata Muchtar Lubis.”
            Kulihat wajah Bapak makin pucat.
            “Coba kalau anak saya nanti ayan, apa saya enggak tersiksa seumur hidup?” tantangku.  “Inanguda Mei contohnya. Sekali lagi, santabi da, Inanguda.”
            Bapak berdiri, menatapku dengan pandangan yang sulit kutafsirkan.
            “Kalau begitu, perjodohan ini tidak jadi!  Hari ini juga, saya batalkan,” kata Bapak, menggemparkan.
            Semua tercekat, terlebih aku.
            “Saya tak ingin hidupmu nanti susah. Saya tak ingin berjudi. Bapak ingin yang terbaik untukmu, Beca.”
            “Bapak,  apa yang terjadi?” giliranku yang bingung.
            “Tidak!” Namboru Uli berdiri marah. “Saya enggak mau perjodohan dibatalkan. Sudah capek saya datang dari Medan. Perkawinan tetap dilanjutkan. Di keluarga kita kan,  bibit,  bebet,  dan bobot jelas. Semua sehat.  Jadi enggak masalah sekalipun Beca kawin dengan Holong.”
            “Kalian tidak tahu, sebenarnya saya punya rahasia besar,” kata Bapak tiba-tiba, terbata-bata.
            Bapak meninggalkan acara perjodohan. Rahasia besar? Aku mengejarnya, tapi Bapak sudah mengunci dirinya di kamar. Seakan menegaskan, tak seorang pun boleh mengetahui rahasianya.
            Namboru Uli diam. Holong menatapku, dan sinar cinta itu seperti pudar dari matanya. Rumah mendadak diliputi kemurungan. Juga pohon mangga kami, terdiam, seakan ikut memahami kesedihan Bapak. Namboru Uli dan rombongan keluarga dari Medan tetap menginap di rumah, tetapi wajah mereka sungguh tidak enak dipandang.
            Aku menghindar ke belakang rumah, ’bersembunyi’ di antara pohon-pohon mangga.  Puk, sebuah mangga matang hampir saja menimpuk kepalaku. Rahasia apa yang disembunyikan Bapak, mangga? Kekecewaan dan kekalutan pikiranku, kusalurkan pada buah mangga ini. Mangga kugigit dan kucampakkan ke tanah! Sebuah mangga jatuh lagi, hampir mengenai kakiku.
            “Beca….” Holong menyusul, duduk di sampingku.
            “Ya, Holong....”
            “Penjelasanmu tadi, selain membuka pola pikir kami, aku tahu itu adalah penolakan yang sangat tegas. Baiklah, baiklah Sayang, aku terima penolakanmu.”
            “Kau serius?”
            “Tapi, tolong ajari aku terus untuk belajar mencintaimu.”
            “Mencintaiku?”
            “Mencintaimu sebagai sepupu, jangan gede rasa, dong.”
            Kami tertawa. Berdua, kami makan mangga sepuasnya, seperti yang kami lakukan di masa kanak-kanak kami.
 
                                                   ****                                                                                                  
            Begitu dalamkah kesedihan Bapak? Sudah tiga hari beliau mengasingkan diri di kamarnya yang luas. Puluhan buah mangga yang siap dipetik, dibiarkannya saja terbengkalai di pohonnya, dibiarkan digigit kelelawar dan angin malam. Mangga-mangga yang sudah ranum hampir membusuk. Aku memasukkannya ke keranjang, siap menjualnya ke Pangururan bersama Mamak.
            “Sebenarnya, rahasia apa yang disembunyikan Bapak, Mak?” tanyaku penasaran, dalam perjalanan menuju Pangururan.
            “Mamak takut kau akan sedih.”
            “Aku sudah dewasa, Mak.  Katakanlah, apa rahasia Bapak?”
            “Sebenarnya, bapakmu menderita ayan sejak anak-anak.”
             Bergetar tanganku. Mimpi burukkah lagi ini? Mobil kuhentikan karena tanganku mendadak lemas. Tak kuat aku memegang setirnya.
            Tak jauh di depan kami, terhampar Danau Toba.  Pagi menjelang siang yang sangat indah. Aku turun dari mobil, berlari membawa kesedihanku ke sana.  Pasir putih Danau Toba beterbangan menyambutku.
            Mamak, malaikat pelindungku, datang menyusul. Ia menarikku ke pelukannya.
            “Bapakmu tak ingin kau tahu, supaya kau tidak malu. Ompung doli-mu menderita ayan, dan penyakit itu diturunkan pada bapakmu.  Baru sekarang bapakmu mengerti, semua itu karena perkawinan sedarah. Ompung doli-mu menikah dengan pariban. Beruntung, Mamak bukan pariban bapakmu sehingga Bapak tidak menurunkan ayan padamu.”
            Aku lega, sekaligus sangat sedih. Bagaimana Bapak bisa berjuang selama ini menutupi penyakit ayannya?
            “Mak pasti sangat kerepotan mengurus Bapak.”
            “Mak melakukannya dengan hati, karena Mak sangat mencintai bapakmu. Ayan yang diderita Bapak masuk kategori ringan, kalau kambuh enggak sampai hilang kesadaran. Makanya, sejak SMP kami memilih kau tinggal di asrama, supaya kau tidak tahu penyakit bapakmu.”  
            Tangisku pecah di pelukan Mamak.
 
****
            Aku kembali ke Bali hari ini. Pak Bagus menelepon terus, mengabarkan kesehatan Lado yang  makin memburuk.  Tak tega aku meninggalkan Bapak dalam kesedihan. Tapi, Lado juga harus diselamatkan.
            “Aku pulang dulu, ya, Mak....”  Suaraku bergetar pagi ini.
            “Hati-hati, ya, Sayang….”  Mamak memelukku.
            Mobil Inanguda Mei sudah siap di halaman. Aku akan menumpang di mobilnya sampai ke Medan. Di Medan nanti kami berpisah. Inanguda akan terbang ke Singapura, membawa anaknya berobat ke sana. 
            Pagi yang bercuaca cerah ini, haruskah aku pergi tanpa restu Bapak? Tanpa mencium tangannya? Belum tentu dalam waktu dekat kami akan bertemu lagi.
            “Bapak, Beca pergi, ya...,” kataku sedih, di depan pintu kamar Bapak. Aku yakin, beliau pasti mendengar.
            Tak ada jawaban.
            “Beca sangat salut pada perjuangan Bapak. Bapak bisa menutupinya, berjuang hanya bersama Mak. Betapa tangguhnya Bapak dan Mak. Beca sayang pada Bapak, sampai kapan pun, Bapak....”
            Tiba-tiba pintu terbuka.
            Kulihat mata Bapak memerah karena menangis.
            “Bapak menangis?”
            “Ya, Butet!”                                                                                                           
            Aku langsung memeluk sosok yang sangat kucintai itu.                           
            “Teruskanlah hubunganmu dengan Lado, Boru.”
            “Lado?” tak bisa kutahan tawaku.
            “Pacarmu yang tiba-tiba pulang itu, namanya bukan Lado?”
            “Bukan Lado, Pak. Lado itu lumba-lumba kesayanganku di Bali.”
            “Oh, Bapak salah. Maksud Bapak, teruskanlah hubunganmu dengan Bens. Tak usah kau ingat Holong. Pikiran Bapak sudah terbuka. Bapak ingin yang terbaik untukmu, Butet.”
            Aku bersimpuh, memeluk kakinya. Kesedihan yang berlipat-lipat datang lagi. Bapak menyetujui Bens jadi menantunya, saat pria tak setia itu sudah kublokir dari hatiku.
            “Terima kasih, Pak. Tapi, Bens bukan siapa-siapa sekarang. Dengan kepergiannya yang mendadak, Bapak bisa mengerti apa yang terjadi pada kami.”
            “Yang kuat ya, boru-ku. Yang terbaik akan datang untukmu. Jika kau sudah enggak betah di sana, pulanglah ke sini. Buat usaha perikanan seperti cita-cita kita dulu.
            Aku tak ingin menangis, tapi pertahananku bobol juga. 
           
****
Pak Bagus menjemputku ke Bandara Ngurah Rai. Ia membantuku mengangkat kardus berisi mangga Samosir oleh-oleh Bapak dan Mak.
            “Apa ini, Beca?”                                                                                                  
            “Mangga Samosir kiriman orang tuaku, Pak.”
            “Pasti segar. Kau tidak bersama Bens?”
            “Dia tak akan kembali lagi.”
            “Kenapa?”
            “Saya juga enggak mengerti, Pak. Tapi sudahlah, saya tak mau membicarakan itu. Bagaimana Lado, Pak?”
            Pak Bagus tidak menjawab. Ia mempercepat laju mobil. Wangi parfumnya yang lembut, membuatku meliriknya. Mengapa ia jadi kurusan?
            “Bapak agak kurusan, lho.
            Ia menoleh cepat ke arahku. Kami bertatapan dalam hitungan detik.
            “Saya memikirkanmu.”
            “Bapak kalau bercanda nanti saja,” kataku tegas.
            Kami sudah tiba. Aku kembali ke duniaku, ke dunia Lado. Lautan buatan di depanku sangat tenang, tak ada tarian Lado dan teman-temannya. Tak ada ciuman menyambutku.
            “Lado….” Kuangkat tangan kananku tinggi-tinggi  ke udara.
            Tak ada respons. Kuputuskan meloncat ke air.
            “Lado, ini aku, Sayang. Kamu marah kutinggalkan?” Aku memeluk Lado.
            Tetap tak ada respons.  Wajahnya murung. Lado  sangat pucat dan kurus, tidak ada semangat.
            “Jika kita mempertahankan dia di sini, Pak, saya jamin, besok dia akan mati!” seruku, panik.
            “Usaha apa yang bisa kita lakukan?” Pak Bagus ikut panik, dan meloncat ke dalam air.
            “Lepaskan Lado, Pak! Lepaskan  dia ke laut bebas. Dia akan selamat! Dia akan bahagia bersama keluarganya. Demi Tuhan, tolonglah, Pak!”
            Ia bergeming.
            “Sekalian, saya mau pamit berhenti bekerja dari sini. Saya enggak tahan Pak,  tiap kali lumba-lumba itu disiksa.”
            “Rebecca, tempat wisata ini akan hancur jika kau pergi. Sirkus lumba-lumba tak ada artinya, jika kau tak di sini.”
            “Tapi, Pak, saya juga tersiksa di sini. Saya tersiksa  tiap kali mereka dilatih tanpa kasih sayang.  Dibentak, dipukul ekornya, tidak diberi makan. Mereka juga punya hati, Pak.”
            “Geo!” teriak Pak Bagus.
            “Ya, Pak….”
            “Siapkan mobil pengangkut!”
            “Untuk apa, Pak?”
            “Lado kita lepaskan, bawa ke Pantai Lovina.”
            “Baik, Pak. Tapi....”
            “Biarkan dia bebas di dunianya. Biarkan dia bertemu pacarnya di sana.”
            Tanganku gemetar. Refleks, aku memeluknya dari belakang, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
            “Siapkan mobil pengangkut yang lebih besar, Geo!” teriak Pak Bagus.
            “Tapi  jeep ini sudah  cukup mengangkut Lado, Pak.”
             “Siapkan mobil yang paling besar, Geo! Hari ini juga kita lepaskan semua lumba-lumba ke Pantai Lovina!”
            “Semuanya, Pak?”
            “Ya!”
            “Bapak sungguh-sungguh atau sedang bercanda?”
            “Saya sungguh-sungguh, Geo!  Saya sungguh-sungguh, mengerti tidak?”
            Kupandangi pria angkuh itu. Benar-benar aneh, tapi nyata. Kupandangi matanya yang basah.  Benarkah itu air mata, atau air dari kolam? Tidak, tak ada lagi keangkuhan di sana. Perasaanku bergetar. Tak bisa kupungkiri, betapa aku sangat kagum atas keputusannya yang sangat luar biasa hari ini.      
            “Terima kasih pelukannya,” katanya, mirip bisikan.
            “Itu gerakan refleks, Pak, ungkapan terima kasih saya,” kataku tegas, tapi bergetar.
 
            Rayuan ombak Pantai Lovina kembali menarikku pagi ini. Mungkin ini rayuan terakhirnya untukku. Aku tak tahu, kapan akan kembali ke sini. Kuputuskan akan pulang ke kampung, menjadi pengusaha   ikan mas seperti keinginan Bapak. Di tengah pantai, Lado dan kekasih hatinya, mungkin namanya Lidi, mungkin juga Lili, saling meloncat, membuat parade tarian yang sangat indah.
            Beberapa jukung sudah berada di tengah pantai, disewa para wisatawan.  Menikmati tarian lumba-lumba memang harus di pagi hari. Menjelang sore, lumba-lumba tidak kelihatan lagi.  Mungkin mereka sibuk mencari jodoh.
            Hidup memang sungguh sulit diterka.  Puluhan lumba-lumba yang diambil dari Pantai Lovina, akhirnya dikembalikan ke habitat aslinya. Pria yang telah melepaskannya, menjadi sangat istimewa bagiku
            “Beca….”
            Aku mengenal suara itu. Pria istimewa yang telah menyelamatkan Lado-ku.  Setelah pertunjukan sirkus lumba-lumba ditutup, kariernya justru makin cemerlang di hotel berbintang lima itu, karena dia adalah anak pemilik kekuasaan tak terbatas di sana.
            “Kau kelihatan sangat sedih.”
            “Berat meninggalkan pantai ini, Pak. Saya tak akan bertemu Lado  lagi.”
             “Kau mau ke mana? Toh, kau masih bisa menikmatinya di pantai ini.” 
            “Saya mau pulang ke Samosir, membuat usaha perikanan di sana, sesuai ilmu yang saya dapat di bangku kuliah.”
            “Kau tetap bisa berkarier di Hotel Dipo, kalau kau mau.”
            “Terima kasih, Pak. Tapi, saya harus tetap pulang.”
            Ia terbatuk, disengaja atau tidak, aku tidak tahu.
            “Saya ingin meneruskan usaha perikanan ikan mas kami. Saya pikir, sudah saatnya saya membahagiakan Bapak dan Mak.  Toh, tak ada lagi yang bisa saya kerjakan di sini.”
            Pasir hitam Pantai Lovina beterbangan ditiup angin. Selendang berenda merah meronta-ronta dari leherku. Angin sangat kencang, dan selendang yang kubeli dari Rawit itu terlepas, terbang menutupi wajah Pak Bagus. Ia tidak mengembalikannya, malah melilitkan  ke lehernya.
            “Kau tega meninggalkan saya?” suara Pak Bagus bergetar, sambil mengibaskan tanganku yang hendak meraih selendangku.
            “Bapak bisa melakukan apa saja di Dipo. Lagian ini adalah kampung halaman Bapak. Saya pikir tidak ada yang perlu disedihkan.”                                                                               
            “Kau  sungguh tak punya perasaan.”
            Aku sangat kaget.
            “Tak pernahkah kau mengerti arti getar dan rindu yang kupendam sampai bertumpuk?”
            Kupandangi matanya, mencari ketidakjujuran di sana.
            “Aku mengharapkanmu, Beca. Mengharapkanmu jadi kekasih hatiku, jauh sebelum Bens datang. Aku jatuh cinta pada kecerdasan dan ketulusan hatimu.”
            Rambutku beterbangan ditiup angin. Cinta lama yang  kupendam itu, akhirnya muncul lagi ke permukaan, menari-nari, dan menghadirkan sebuah rasa bernama bahagia.
            “Kau ingin tahu, mengapa Lado dan Jack meloncat dua kali ketika Bens bertanya berapa pacarmu?”
            “Bapak tahu penyebabnya?”
            “Akulah penyebabnya.”
            “Bagaimana mungkin?”
            “Aku sering berenang bersama Lado dan Jack. Aku ungkapkan isi hatiku bahwa aku sangat mengharapkanmu. Aku sering titip salam melalui ciuman mereka yang mendadak padamu saat pertunjukan, dan jika itu lupa dilakukan, aku memerintahkan anak buahku mengurangi makannya.”
            Aku sangat kaget. Angin bertiup kencang lagi, dan kacamata hitamku terjatuh.  Kami bertatapan, dan aku segera membuang pandang.. 
            “Maukah kau mengajariku bagaimana mencintai dengan tulus?”
            Ia menggenggam tanganku yang dingin dan gemetar,
            “Maksudku, ajarilah aku, supaya aku bisa menjadi pribadi yang rendah hati. Maksudku, maksudku, maukah kau mencintaiku?”
            “Bapak sungguh-sungguh, atau hanya ingin mempermainkanku seperti yang lain?”
            “Panggil namaku, Beca.  Aku belum jadi bapak anak-anakmu.”
            Aku tersipu juga,  seperti gadis belasan tahun yang baru jatuh cinta.
            “Bukan selendangmu ini yang menjerat hatiku, tapi ketulusan dan kebaikanmu membuatku benar-benar jatuh cinta.”
            Aku membalikkan badan, bersiap meninggalkan Pantai Lovina.
            “Kau mau kan, Beca?” Ia menarik pinggangku cepat,  lembut tapi tegas.
            “Apa?”
            “Menerima aku sebagai matahari terakhirmu?”
            “Saya harus tetap pulang ke rumah orang tua saya,  Pak. Ini sudah keputusan saya.”
            “Saya juga akan tetap pulang.”
            “Ke mana?”
            “Ikut menemanimu, merebut hati orang tuamu.”                                          
            Kutepiskan tangannya, dan aku masuk dalam pelukannya. Matahari  datang dan pergi seperti angin, meninggalkan  kesedihan, juga kegembiraan.  Tapi, matahari yang menggenggam tanganku ini, semoga matahari  terakhirku. (Tamat)
 
***

Wita Alamanda Simbolon


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?