Fiction
Suara Hiu di Tanjung Luar

2 Jun 2016

 
 
MATAHARI LOMBOK tak segarang siang tadi, memantulkan warna karang merah jambu pada pasir di Pantai Tangsi. Membuat pantai ini tenar di antara para pemburu keindahan pantai. Ombak mengalun tenang membawa pasir yang hangat, menyusup lewat sela-sela jemari kaki Desriana Mendröfa. Pelupuk matanya lalu berembun, mengaburkan bayangan Toma yang tersenyum.
“Besok katanya kita mau diajak ke tempat pembantaian hiu.”
Des terkejut. Seorang perempuan muda bersama seorang lelaki, sepertinya pengantin baru, tiba-tiba bersuara di sebelahnya.
“Pembantaian?” Des mencoba tersenyum. Membayangkan Toma juga berdiri di sisinya.
Laki-laki di sebelahnya tertawa kecil. “Sebenarnya bukan pembantaian. Ada tempat pelelangan hiu di sekitar sini.”
 “Kau tahu, Des? Dorsal Effect (1) itu. Seharusnya orang-orang kita yang punya pikiran untuk menyelamatkan hiu-hiu di laut kita. Bukan orang dari negara lain. Tapi, ya, begitulah kenyataannya….”
Des memendam senyum Toma dalam benaknya. Harusnya sekarang ia di sini.
 
DES DUDUK di undakan teras Omo Niha (2). Ia gelisah. Ujung kakinya memainkan pasir yang mendominasi pekarangan rumah ini.
Toma berdiri di hadapannya, bersandar pada salah satu tiang penyangga rumah. Seperti biasanya, ia tersenyum. Namun, kali ini senyumnya yang merekah tak mampu melunakkan kegelisahan Des.
Kaki Des berhenti bergerak, wajahnya tenggelam dalam lipatan tangannya.
“Des?" Toma melempar sebutir kerikil, melenting ke ujung kaki Des.
Des mengangkat kepalanya, keningnya berkerut khawatir. “Kenapa kau jawab tantangannya? Enerson itu sudah ahli. Dibandingkan kamu….”
“Kamu meragukan kemampuanku?” tepis Toma cepat, bola matanya membelalak lebar.
“Dia berlatih hombo batu (3) sejak umurnya tujuh tahun, Toma!” Des menahan pekiknya. “Kamu melihat piramida batu begitu baru sekarang!”
Toma mengangkat bahunya. “Batu bersusun begitu sudah kulihat sejak zaman masih SD,” seringainya melebar. "Ada di uang seribuan zaman kita kecil dulu, kamu ingat?” Toma terkekeh.
Ujung bibir Des mengerucut, kakinya mengentak kesal. Toma selalu menganggap segala sesuatunya remeh.
Toma beranjak mendekat, lalu merangkul bahu Des. Matanya lembut menatap Des. "Kamu tenang saja."
Masih ada waktu dua hari. Matias sepupu Des tadi sudah berjanji mengajari Toma berlatih fahombo batu besok di tepi laut sana.
Des melempar pandangannya ke kejauhan. Hatinya masih ragu. Enerson bukan lawan sembarangan.
 
OMBAK LAGUNDRI  di pagi hari tidak sedahsyat yang Des perkirakan. Angin masih lemah dan pantai masih sepi. Matias menancapkan dua tombak di antara tumpukan batu yang disusun setinggi pinggang.
“Mengapa tidak setinggi batu di Bawö Mataluö?”
Matias melirik tajam. “Hulö ni femanga mao, ihene zinga,” desisnya pelan, tak peduli pada tatapan bingung Toma.
Des tertawa pelan. “Kucing kalau makan selalu mulai dari pinggiran.”
“Maksudnya?”
“Mulailah dari yang mudah dulu,” tukas Matias cepat. “Ayo, lari!”
 
DESRIANA TAK BISA menyalahkan Enerson Gulö sepenuhnya. Des-lah penyulut kebencian di mata Enerson pada Toma. Kalau saja tiga tahun lalu ia tak menolak pinangan Enerson, mungkin takkan begini jadinya. Salahnya juga membawa Toma ke Bawö Mataluö.
Seharusnya Des bisa menolak permintaan Ina (4) untuk mengenalkan Toma pada keluarga. Ia bisa saja mengarang berbagai alasan dan tidak membuat Enerson terpancing cemburu karena kehadiran Toma.
Di hari kepulangannya kemarin, Enerson mencegatnya di kolong omo niha.
“Apa dia mencintaimu, Des?”
“Tentu saja,” Des membalas tatapan Enerson yang tajam. “Aku pun mencintainya.”
Mata Enerson melunak. “Aku lebih dulu.”
“Cinta tidak dinilai dari waktu, Enerson,” Des mengangkat dagunya.
“Tidak pula karena ama (5) dan inaku menjodohkan kita, lalu kau bisa dengan leluasa mengatur hidupku.”
Des mendorong bahu Enerson yang menghalangi jalannya.
Hezo möi’ö --Mau ke mana?”
Des mengangkat bahunya, “Suka-suka hatiku.”
Kaki Enerson merintang. “Katakan pada lelaki itu, tiga hari dari sekarang, aku menunggunya fahombo batu di depan omo sebua (6).”
Des mendelik gusar. “Untuk apa?”
Ganti Enerson yang mengangkat bahu. “Aku perlu memastikan dia memang pantas untukmu, Des.”
Mulut Des terbuka. Sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Enerson melesat menghilang.
 
DES MELETAKKAN palu las di meja kerjanya, lalu memandang puas pada hasil kerjanya. Sekali lagi ia memastikan tak ada sisa terak pada sambungan pipa baja, sebelum mengembalikan alat-alat praktik di raknya.
Hawa libur akhir semester sudah merasuki mahasiswa teknik perkapalan. Semua terlihat bergegas. Tak terkecuali Desriana.
“Liburan pulang ke Nias, Des?”
Bahu Des berhenti bergerak. Pertanyaan Pandu yang tiba-tiba serasa mengoyak luka lama yang belum kering.
Des menggeleng pelan. “Aku mau ke Lombok.”
Pandu mengangkat alisnya. “Ngapain? Kok, enggak pulang?”
Des tersenyum getir. “Mau kelonan sama hiu. Ikut?”
Pandu tertawa. “Hati-hati, Des. Jangan terlalu akrab. Nanti kamu pulang tinggal nama.”
Des melebar-lebarkan senyumnya. “Tenang, Ndu. Kalau tinggal nama, berarti kau tak perlu mengirim jenazahku ke kampung, ‘kan?”
Des membiarkan Pandu tergelak seraya menyerongkan telunjuk di keningnya. Des memburu langkahnya, ia hanya ingin cepat-cepat merebahkan punggungnya yang letih.
Air matanya sudah menggenang sejak tadi. Des menekan rasa bersalahnya dalam-dalam. Tidak hanya Pandu yang bertanya, Ina adalah orang pertama yang mengejarnya dengan pertanyaan yang sama.
“Masih sakit hatimu?”
Des menghela napas, meredakan perih yang tiba-tiba muncul.
“Banyak yang harus dikerjakan, Ina. Bukan apa-apa.”
Des berbohong, meski ia tahu perasaan Ina tak bisa dikelabui.
Perjalanan akan dimulai esok pagi. Des memaksa tubuhnya bergerak, membasuh wajahnya dengan air dingin dan mulai berkemas.
 
DES BERJALAN PELAN menyusuri dermaga tempat pelelangan ikan di Tanjung Luar. Hiu-hiu hasil tangkapan para nelayan disejajarkan menurut ukurannya.
Des bergidik. Di beberapa tempat, potongan ikan pari, hiu dan lumba-lumba dibiarkan tergeletak menunggu pembeli.
Pada satu tiang di sudut, seorang nelayan mengayunkan parangnya demi membelah punggung hiu yang besarnya dua kali tubuhnya. Perut Des bergejolak. Buru-buru ia memalingkan pandangannya.
Dari arah dermaga dua orang nelayan berjalan cepat dengan sebatang bambu panjang dipikul di bahu. Seekor hiu yang lumayan besarnya diturunkan dan langsung dikerumuni. Des memejamkan matanya, berjalan pelan mengikuti suara Win yang memimpin rombongan dengan berjalan sambil berbisik.
“Hiu-hiu ini diambil siripnya untuk diekspor, terutama ke Jepang dan Korea.”
“Dimakan?” seseorang ikut berbisik.
“Katanya sup sirip bayi hiu enak,” bisik suara lain menjawab.
“Parah.”
Des mendengar seseorang berdecak di sisinya. Mata Des terbuka dan hampir saja bola matanya terlompat ke luar.
“Enerson?”
Lelaki itu tersenyum. “Ya’ahöwu (7), Des.”
Des merasa mual, dunianya tiba-tiba berputar.
“Mau apa kau di sini?” desisnya tajam.
Enerson mengangkat alisnya. “Tidak boleh?”
Des mendengus, lalu berjalan cepat di belakang Win. Dadanya seperti mau pecah, luka lama itu terkoyak lagi. Kali ini lebih lebar.
 
“AKU HANYA INGIN memastikan kau baik-baik saja, Des.”
Des pura-pura tak mendengar. Matanya sengaja diarahkan pada Agus, mantan nelayan yang antusias mengampanyekan konservasi hiu pada anak-anak sekolah dasar, meski pikirannya melayang-layang.
“Des….”
Des gelisah. Ia bangkit dan berjalan cepat ke luar ruangan. Seperti yang sudah ia duga, Enerson mengikutinya. “Des!”
Des membalik badannya, matanya berkaca-kaca. Bayangan Toma yang tersungkur memenuhi ingatannya. Dada Toma yang terbentur cukup keras saat melompati susunan batu dan darah yang mengucur dari lubang hidungnya. Seketika itu Toma tak bergerak. Dokter puskesmas yang segera dijemput pun menyerah. Dan Des hanya bisa menjerit.
“Aku mau minta maaf,” Enerson mencekal lengannya.
“Semudah itu?” Des menahan tangisnya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan Enerson.
“Apa kamu pernah bayangkan, bagaimana aku harus menghadapi orang tua Toma?” kata-kata Des penuh api. “Apa kamu pernah disalahkan atas perbuatan yang tidak pernah kamu lakukan?”
Air mata Des meluncur pelan, tenaganya mengendur. “Atau pernahkah kamu merasakan kehilangan?” Tangis Des pun pecah.
“Aku hanya ingin minta maaf,” Enerson mengulang kata-katanya. Des menggeleng lemah.
“Tak bisakah kita perbaiki semuanya, Des?” Enerson mengguncang bahunya pelan. “Bagaimana dengan hubungan kita?”
“Kita?” mata Des mendelik geram. “Jangan mengkhayal, Enerson. Tidak akan terjadi apa-apa di antara kita. Tidak dengan Toma, begitupun kau. Pergilah kau bersama hiu di Tanjung Luar.”
Des melepaskan diri dari cengkeraman Enerson, berlari sekencangnya ke arah penginapan.
 
SUARA RIUH DI LOBI menarik perhatian Des yang baru saja keluar dari kamar. Di luar penginapan, senja mulai jatuh. Des menyesali tidur siangnya yang terlalu lama dan melewatkan suasana tenggelamnya matahari dari tepi pantai.
Beberapa orang berkerumun mengelilingi Agus. Des ingin menyelinap keluar, namun mata Agus menangkapnya.
“Mbak Des!” Agus mengejarnya cepat, menggandengnya duduk di sofa.
“Maaf, ada berita tak menyenangkan. Saya lihat kemarin Mbak akrab dengan Bang Enerson.”
Kening Des berkerut. “Ada apa?”
Agus memilih kata-kata dengan hati-hati.
Tubuh Des mengejang. Telinganya terasa penuh.
“Saya turut berbelasungkawa.” Agus menundukkan kepalanya.
Tubuh Enerson sudah tak bernyawa ketika beberapa nelayan membawanya ke pantai. Seseorang mengatakan Enerson diserang hiu saat ia bersama beberapa nelayan berburu hiu.
Des tak bisa menangis. Hatinya telanjur beku.(f)
 
***

Neida Camelia

 
Catatan:
[1]   Dorsal Effect: Program penyelamatan hiu dari penangkapan secara besar-besaran di Laut Lombok dengan mengalihkan sumber pendapatan nelayan pada proyek ekoturisme. Diprakarsai oleh Kathy Xu, seorang mantan guru dari Singapura.
[2] Omo niha:  Rumah adat khas Nias Selata
[3]   Fahombo/hombo batu:  Tradisi melompat batu di Nias Selatan.
[4]  Ina:  Ibu.
[5]   Ama: Ayah.
[6]    Omo sebua: Rumah ketua adat Nias Selatan.
[7]   Ya’ahowu: Salam perjumpaan ala suku Nias.


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?