Fiction
Simfoni Kesedihan [1]

5 May 2016


Bagian 1

Safadia Krani
Kupikir semuanya kembali terkuak dari hari ini.
Hari paling kelam yang tak akan penah kubayangkan terjadi padaku. Walau semula hanya diawali dari sebuah telepon pendek, ia bagai menjelma menjadi topan dahsyat yang langsung menerpa tubuhku yang rapuh. Berkali-kali aku mencoba menolak dengan apa yang telah kudengar. Tapi, suara dari televisi di ruang tengah, seperti menyeruak begitu saja di telingaku, seakan ikut mengabarkan....
... sebuah kecelakaan terjadi pagi ini. Sebuah truk bermuatan berat telah kehilangan kendali hingga menabrak sebuah mobil yang sedang melaju berlawanan arah. Pengendara mobil ditengarai menderita luka berat, dan kini masih dalam perawatan intensif di rumah sakit kota....
Saat itu juga, tubuhku terasa bergetar. Kakiku gamang. Apalagi saat sekilas kulihat di layar televisi sebuah mobil yang hancur tak berbentuk. Mobil yang jelas kukenali sebagai mobil milik Barra.

Kali ini aku tak lagi bisa mengelak. Seperti setengah sadar, aku sudah bangkit dan mengambil kunci mobil. Tubuhku kemudian seperti melayang di atas roda-roda mobil menuju rumah sakit yang tadi sempat kudengar samar-samar.
Sepanjang perjalanan aku terus berharap semua ini hanya sebuah mimpi buruk. Tapi, harapan itu segera saja sirna, saat aku benar-benar melihat Barra terbaring di ruangan itu. Matanya terpejam dan sebagian tubuhnya telah dibalut oleh perban putih yang sudah dipenuhi warna merah darah.

Tangisku pecah. Air mata yang sejak tadi menggenang dan selalu kuhapus cepat dengan punggung tanganku, kini tak lagi bisa tertahan. Seorang dokter yang tengah bertugas hanya membiarkan saja, saat aku mulai mendekati Barra yang masih terbaring. Kugenggam tangannya erat-erat, dan berharap ia dapat merasakan kehadiranku di dekatnya. Dan mungkin, karena tetes air mataku yang menelisip di pori-porinya itulah, ia kemudian seperti benar-benar tersadar. Tanpa menggerakkan tubuhnya sama sekali, dapat kulihat kedua matanya terbuka perlahan, lalu mengerjap-ngerjap mengarah padaku.

“Sayang,” suaraku tercekat. Ia tak menyahut. Dan aku memang tak berharap ia membalas ucapanku. Melihat kondisinya saat ini, aku tahu ini memanglah keadaan yang sangat parah. Jadi, melihat dua bola matanya yang bergerak-gerak ke arahku, itu sudah cukup bagiku.

Aku kembali mencium punggung tangannya. Ingin aku berucap, semuanya akan baik-baik saja. Tapi, bibirku terlalu kelu untuk mengucapkan kata-kata itu. Yang bisa kulakukan hanyalah diam dan menangis.

Lalu kulihat bibir Barra bergerak-gerak. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu.
“Sayang...,” aku mendekatkan wajahku padanya. Tapi, tak ada apa-apa yang terucap. Bibirnya tetap terlihat bergerak-gerak. Jelas sekali, kata-kata seperti sudah berada di ujung lidahnya. Aku  makin mendekatinya. “Ya, Sayang?”
“Ma... af... kan... a... ku...,” kudengar suara Barra terbata, seperti tertahan di tenggorokannya. Tapi, tetap saja aku bisa menangkap apa yang diucapkannya. Lalu bibirnya kembali bergerak, “Qurrie... Qurindra... ia... ia....”
Aku masih terdiam menunggu. Tapi ucapan itu seperti terhenti begitu saja. Sebelum Barra benar-benar menyelesaikannya, kepalanya sudah terkulai lemah di samping bantalnya.

***
Ma... af... kan... a... ku....
Qurrie... Qurindra... ia... ia....
Bagai mengikuti, suara itu seperti terus terngiang di kepalaku. Bahkan sampai berhari-hari setelah Barra dimakamkan pun, ngiang itu sama sekali tak mau lenyap. Suaranya masih benar-benar sama seperti saat itu, nada-nadanya ataupun jeda-jedanya.
Dalam beberapa hari ini, aku sebenarnya telah mencoba membiasakan diri. Awalnya suara-suara itu memang selalu muncul di saat-saat hening. Namun terkadang, dalam keadaan ramai pun, ia tetap terdengar. Seperti malam ini.

Suara televisi yang kubiarkan menyala sejak tadi, sepertinya tak cukup mampu meredam kemunculannya. Walau stasiun televisi ini adalah stasiun khusus tentang musik klasik yang biasa kunikmati. Namun, berita-berita yang sedang disiarkan seperti hanya menjadi penggalan-penggalan kalimat saja, padahal berita-berita itu seharusnya dapat kunikmati.
Bagaimanapun mereka menginformasikan tentang konser Lalo Schifrin, komposer dari Argentina yang akhir-akhir ini sedang naik daun, atau tentang dilelangnya piano tua yang pernah dipakai Chopin dalam satu konsernya di Paris, atau tentang munculnya seorang pianis cilik dengan talenta yang luar biasa. Tapi, semua itu hanya bisa kudengar satu dua jeda saja. Di jeda lainnya, kembali hanya ngiang itu yang kudengar.

Aku memilih mematikan televisi. Kutekan tombol on di tape yang secara otomatis langsung memutar CD terakhir yang ada di situ dengan volume pelan. Tapi lagi-lagi aku merasa gagal. Komposisi Debussy yang indah benar-benar tak cukup bisa menenangkanku. Kali ini alunan simfoni itu seakan kalah oleh ngiang suara itu. Ia seperti menepi dengan sendirinya.

Aku tahu, aku seharusnya memang lebih baik pergi dari rumah ini. Bukannya malah mengurung diri di sini. Bagaimana pun, seluruh sudut rumah sudah begitu menyatu dengan Barra.

Tak terasa itu sudah hampir delapan tahun yang lalu. Delapan tahun. Semuanya seperti baru terjadi kemarin. Waktu berlalu tanpa terasa dalam heningnya. Sama seperti pernikahan yang kami lakukan saat itu. Sama juga seperti saat kami menjalaninya sampai sekarang. Maka itulah aku tetap saja tak mengerti kenapa ia mengucapkan kata-kata di ujung napasnya: Ma... af... kan... a...ku...

Ah, untuk apa ia meminta maaf padaku? Aku tak pernah sedikit pun melihat kesalahannya padaku. Aku bahkan merasa,   selama ini  akulah mungkin yang seharusnya meminta maaf padanya? Lalu, yang membuatku  makin tak mengerti, kenapa pula ia menyebut nama itu? Qurrie... Qurindra... ia... ia...
Kali ini, sebelum aku menjawab pertanyaan itu dalam hatiku, tanpa sengaja aku menjatuhkan sebuah buku yang menumpuk di atas meja. Organizer milik Barra. Beberapa isinya langsung tercecer berhamburan. Beberapa potongan kertas dan foto-foto. Sebuah foto tampak terlihat mencolok dari lainnya. Dengan gerakan perlahan  aku mengambil foto itu. Jelas terlihat di situ, tiga orang yang tengah berdiri dengan latar sebuah piano berwarna putih.
Aku mengenali sekali,   itu foto lama, beberapa tahun lalu.
Foto kami bertiga.

***
Qurie Qurindra
Sejak dulu aku menyukai namaku. Kupikir sangat berbeda dari nama teman-teman lainnya. Terlebih bila diinisialkan dengan QQ, sepertinya jadi begitu keren. Tak heran bila sejak dulu, aku kerap menulisi barang-barang milikku dengan inisial seperti itu. Buku-buku, tempat makan, bahkan boneka-bonekaku.
Kata Ibu, dulu ialah yang memberi nama itu, bukan Ayah. Aku memang terlahir tanpa mengetahui siapa ayahku. Sejak umur 4 tahun, Ibu meninggalkan Ayah, dan memutuskan untuk merawatku seorang diri.

Walau Ibu tak pernah berkomentar apa-apa tentang Ayah, aku yakin Ayah pastilah bukan laki-laki yang baik. Namun entah mengapa,  tiap aku menanyakan itu secara langsung, Ibu tak pernah memberi jawaban yang jelas. Kelak aku mengetahuinya dari para tetangga bahwa ayahku memang pemabuk yang selalu membuat onar. Itulah yang membuatku tak lagi perlu mengingat tentangnya.

Bersama Ibu, aku tinggal di sebuah rumah kecil berdinding kayu, dengan halaman yang nyaris tak ada. Tiap malam sebelum aku tidur, Ibu selalu menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur. Aku suka dongeng-dongengnya. Namun, satu yang paling kusuka dari semua kegiatanku bersama Ibu adalah saat akhir pekan.

Saat itu Ibu akan membawaku ke pinggir hutan untuk mendatangi sebuah gereja tua yang tak lagi terpakai. Di situ, kami akan berjalan dengan hati-hati di atas lantai kayu yang mulai lapuk untuk mendekati sebuah piano usang yang masih mengeluarkan nada-nada merdu. Ibu ternyata bisa memainkan piano. Ia akan membawakan beberapa lagu untukku.

Awalnya tentu kami akan bernyanyi bersama-sama dengan riang. Aku biasanya yang menyanyi dengan lantang dan Ibu akan menirukan suara-suara binatang dengan gembira. Lama-lama Ibu mulai mengajariku cara bermain piano. Aku akan duduk di depannya. Jari-jariku akan berada di bawah jari-jarinya dan tak henti mengikuti jari-jarinya bergerak, untuk menekan satu demi satu tuts-tuts piano itu.
Kupikir, itu adalah momen terindahku bersama Ibu.

***
Aku menduga Ibu memiliki firasat yang dalam. Sebelum ia pergi untuk selamanya, ia membawaku ke kota. Waktu itu usiaku masih 12 tahun, dan aku belum pernah pergi ke kota sebelumnya. Awalnya kupikir Ibu akan membawaku berjalan-jalan. Selama ini ia memang sudah sering bercerita tentang kota, bagaimana mobil-mobil berseliweran di sepanjang jalan, dan gedung-gedung tinggi menjulang hingga menyentuh langit. Tapi ternyata. Ibu tak mengajakku untuk melihat itu semua. Kami hanya seperti melewati saja keramaian kota, untuk kembali menuju ke pinggir kota.

Ibu ternyata mengantarkanku ke sekolah musik Kristalia Krani. Aku tak pernah mengerti mengapa Ibu mengantarkanku ke sini. Tapi, saat aku menanyakannya, Ibu hanya tersenyum menjawabnya. “Kelak kau akan menjadi pianis yang hebat.”
“Hebat seperti Ibu?” tanyaku.

Ibu menggeleng, “Kau akan jauh lebih hebat lagi, Sayang....”
Saat itu, aku tak tahu,  pendaftaran penerimaan murid baru di sekolah ini hampir ditutup. Ketiga penguji hampir saja menolak kehadiran kami. Namun, Ibu berkeras hati memohon. “Beri waktu 5 menit saja,” pintanya. “Ia akan memainkan sebuah lagu yang indah.”
Ketiga penguji itu hanya saling berpandangan dengan tak yakin.
“Kumohon, ia... sangat suka bermain piano,” Ibu menambahkan lagi. “Itulah alasanku jauh-jauh membawanya kemari.”

Ketiga penguji itu akhirnya memberiku waktu. Aku tentu tak mau mengecewakan Ibu. Sambil menyingkirkan rasa tak yakin yang tebersit, aku mulai memainkan sebuah lagu yang biasa kumainkan di piano gereja tua itu.
Keyakinan Ibu ternyata terbukti. Hanya butuh 5 menit saja, ketiga penguji itu bersepakat meloloskanku.

***
Sefadia Krani
Debussy masih mengalun pelan dari ujung ruangan. Setelah Claire De Lune from Classics for the Heart, Valse Romantique menyambungnya. Bagaimanapun aku tetap yakin, bila didengar dengan sepenuh perasaan, komposisi-komposisi ini memang mampu menenteramkan hati. Namun entah mengapa,  makin lama, ia tak sekadar menenteramkan, namun mampu membawaku pada keheningan malam yang tak berbatas. Lalu bersama kesendirianku, ia akan mengantarku pada ruang-ruang kosong yang tak pernah terjamah atau pada lorong-lorong panjang yang senyap.

Keadaan ini masih tak jauh berbeda dari hari-hari kemarin. Setidaknya sejak kematian Barra, aku seperti enggan untuk melakukan apa-apa. Aku bahkan tak mengubah apa-apa di rumah. Semuanya masih sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku bahkan masih duduk dalam posisi yang sama seperti kemarin pula. Hanya satu yang sedikit berubah: di atas meja kerja Barra, kuletakkan foto lama yang beberapa hari lalu kutemukan. Foto diriku, Barra, dan Qurie dengan latar sebuah piano berwarna putih. Foto yang seketika saja mampu membalik lembaran-lembaran kisah lalu.

Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Kali ini helaan itu  bercampur dengan rasa lelah yang ada pada tubuhku. Ya, sedari pagi aku memang mulai membongkar barang-barang Barra di lemari besar yang ada di ujung ruangan. Ia   menyimpan segalanya di situ, terutama semua yang berkaitan dengan musik.

Entahlah, aku seperti merasa harus mencari sesuatu. Aku tak tahu apa itu. Mungkin semacam petunjuk, atau apa pun itu. Aku yakin. Setidaknya yang pasti, pencarian ini dapat memberiku alasan untuk menata lemari ini menjadi lebih rapi. Toh, tak ada apa pun yang kubuang. Bahkan selembar kertas kosong sekalipun.

Memang, dalam pencarian setengah hati ini, aku menemukan barang-barang yang selama ini belum pernah kulihat sebelumnya. Atau mungkin aku sebenarnya pernah melihatnya, namun tak cukup kuat teringat. Seperti sebuah kotak penyimpanan yang ada di bawah lemari. Kotak ini hanya seukuran kotak bekal makan, namun ternyata terkunci dengan kunci digital yang tak bisa kubuka, walau sudah mencoba memasukkan beberapa kemungkinan kata.

Aku kemudian meninggalkannya, saat menemukan hal lain yang lebih menarik. Foto-foto lama Barra kala ia remaja dan kala ia tengah perform dengan band-nya. Di tumpukan kertas-kertas lamanya, aku juga menemukan beberapa partitur dalam lembar-lembar yang sudah tampak usang dan tertekuk di ujung-ujungnya.

Satu partitur begitu menarik perhatianku. Karena dipenuhi coretan-coretan. Terlebih saat aku mencoba membacanya, aku merasa seperti mengenalinya. Apakah ini partitur yang diciptakan Barra? Karena hampir di seluruh bagian, aku mengenali sekali coretan-coretannya. Tapi setahuku, walau ia kerap mencipta lagu,  tak pernah   ia menciptakan lagu-lagu klasik. Apalagi sampai sepanjang ini.

Aku benar-benar merasa gagal menebaknya. Perasaan lama yang sebenarnya selalu mengendap dalam diriku yang paling dalam, seperti muncul begitu saja. Aku memang tak mengenalnya dengan baik. Delapan tahun hidup bersama sepertinya bukan membentuk ikatan yang mampu menguatkan kami.

Perlahan aku bangkit dan mendekat ke arah piano. Kubuka kap piano sambil meletakkan partitur yang kutemukan tadi. Lalu, setelah menarik napas panjang, mulai kumainkan nada-nada di partitur itu. Sedikit telah kubayangkan alunan nadanya di kepalaku. Namun, saat   denting-dentingnya terdengar, semuanya terasa berbeda. Sesaat aku merasakan nada-nada yang terlalu rendah. Ketukannya pun terasa begitu lambat. Namun, itu hanya beberapa saat saja. Masuk ke bait-bait nada selanjutnya, baru kurasakan suasana yang lebih dalam.

Seketika, jantungku seakan terhenti. Juga gerakan tanganku. Jari-jariku terasa begitu kaku, tak lagi bisa bergerak. Membuat nada terakhir yang kutekan seperti bergema lebih panjang. Tapi di saat seperti itulah aku kembali teringat dengan nada-nada itu. Benar-benar teringat.

***
Sejak dulu semua orang berkata, aku adalah gadis yang beruntung. Aku sudah mendengar  ucapan seperti itu langsung maupun tak langsung, atau terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Dan aku tak terlalu peduli semuanya. Toh, aku memang tak bisa mengelak dari itu semua.  Mama memanglah Kristalia Krani, pianis paling terkenal di negeri ini. Sangat berbakat dan juga sangat jelita. Beberapa tahun lalu, saat umurnya 30 tahun sekalipun, ia masih laris menjadi bintang iklan beberapa produk kecantikan. Wajahnya juga kerap muncul di cover-cover majalah. Tak sekadar majalah musik, tapi juga majalah-majalah perempuan lainnya. Dan yang paling menakjubkan, konser-konser tunggalnya masih saja selalu dipenuhi ribuan penonton.

Maka wajar saja bila orang kemudian berpikir, sebagai anak satu-satunya dari Kristalia Krani, aku pastilah sangat beruntung. Terlebih aku sepertinya mewarisi semua yang ada padanya: wajah jelita Mama, keanggunannya, juga... bakatnya bermain piano.
Tapi entah mengapa, aku tak pernah merasa demikian. Mungkin mereka semua tak tahu apa yang ada di balik semua itu. Sejak dulu, aku tak pernah benar-benar mengenal Mama. Sekian lama ia hanya kukenal sebagai sosok perempuan yang nyaris tak pernah berada di rumah. Yang sedikit berbeda, bila ia tengah berada di rumah, aku seperti merasa ia tak pernah ada.

Keberadaannya mulai terasa saat ia mulai menuntutku untuk berlatih piano secara terus-terusan. Teriakan panjangnya akan membuatku berlari secepat mungkin ke ruang piano. Aku tahu, Mama bukan orang yang sabar saat melatih piano. Ia juga terus-terusan berteriak di  tiap kesalahanku. Ia bahkan tak segan memukul tanganku dengan penggaris kayu, bila aku menekan tuts yang salah.

Tapi percayalah, kesakitan itu masih tak seberapa. Saat Papa masih ada, dan berusaha membelaku, Mama akan menyambutnya dengan teriakan yang begitu menyakitkan, “Kenapa ia harus menuruni apa yang ada padamu? Bukannya menurunkan apa yang ada padaku?”

Teriakan itu seperti terus terngiang. Bergema berulang-ulang, tanpa pernah memelan ataupun lenyap. Bahkan di kala aku tidur pun, teriakan itu kadang masih saja muncul dalam mimpiku. Hingga di malam-malam tertentu, aku kerap terbangun tiba-tiba di tengah malam, dalam ketakutan yang tak pernah mampu kusingkirkan.

Dulu, tak ada seorang pun yang mengetahui keadaan ini. Sampai umurku 8 tahun, hanya orang-orang di rumah saja yang tahu. Aku selalu menyembunyikan rapat-rapat dari teman-temanku. Namun, sejak Mama membangun sekolah musik di sebelah rumah kami, keadaan ini sedikit demi sedikit terkuak.

Sekolah musik yang dinamai Sekolah Musik Kristalia Krani itu  secara mengejutkan begitu cepat berkembang. Nama besar Mama tampaknya benar-benar berpengaruh. Di  tahun pertama saja, ratusan murid datang mendaftar, tak sekadar dari kota ini, namun juga dari kota-kota lainnya.

Sejak itu Mama tak lagi mengajariku secara langsung. Ia menyerahkanku pada beberapa guru terbaik yang mengajar di sekolah. Dari sinilah beban itu mulai kurasakan. Tiap guru yang melihat permainanku, akan selalu memandang tak percaya. Untunglah salah satu guru lainnya, Madame Inge, yang ditunjuk pula sebagai kepala sekolah di sini, cepat mengerti keadaan ini. Ia memelukku erat sambil berujar lembut, “Ibumu pastilah terlalu sibuk hingga tak sempat mengajarimu. Jadi kau harus berjanji untuk berlatih lebih keras di sini. Madame akan mengajarimu semuanya.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tahu, Madame Inge bermaksud baik dengan mencoba tetap menguatkan hatiku. Tapi,   perasaanku sudah telanjur hancur. Aku memang masih terlalu kecil untuk menerima keadaan ini. Sehingga yang bisa kulakukan hanyalah menangis diam-diam.

Semua orang berpikir, aku beruntung terlahir sebagai Sefadia Krani, anak semata wayang Kristalia Krani. Tapi sungguh, aku sama sekali tak pernah merasakan itu. Pada kenyataannya, aku   makin yakin kalau aku membenci terlahir sebagai anaknya.
Tapi aku memang tak bisa mengelak. Semua hal tentang Mama terus saja hadir pada diriku. Dalam rumah ini saja, hampir seluruh dindingnya berisi foto-foto Mama, entah itu foto-fotonya saat pertunjukan, foto-foto bersama orang-orang ternama, bahkan foto-fotonya di beberapa majalah terkemuka. Sebuah lemari besar di sudut rumah bahkan berisi seluruh  trofi  yang pernah dimenangkannya. Di lemari yang lain, tumpukan koran dan majalah yang membahas dirinya, memenuhi isinya.

Aku benar-benar seperti terperangkap di rumah ini.  Aku mungkin seharusnya bangga pada Mama. Pernah kubaca di sebuah majalah,  sejak dulu Mama sudah dijuluki sebagai Kristalia Krani yang Ajaib. Konon, ia sudah bisa memainkan partitur klasik yang rumit sejak umur 5 tahun. Hingga ketika remaja, ia sudah melesat sebagai pianis muda paling cemerlang.

Mama memang pandai mengatur dirinya agar dapat terus diterima. Hingga pada akhirnya, puncak dari semua itu, Mama mampu menjadi satu-satunya pianis yang memiliki acara sendiri di salah satu televisi terkemuka. Acara itu, A Melody with Kristalia Krani, bahkan mampu bertahan hingga lebih dari 5 tahun.

Di usia 24 tahun, ia menikah dengan Papa, yang dulunya juga seorang musikus, namun kemudian lebih memilih menekuni bisnis keluarga. Dulu aku sempat berpikir,  mereka adalah pasangan yang bahagia, seperti yang ada dalam beberapa foto keluarga di ruang depan. Namun, setelah aku beranjak lebih besar, aku sadar Papa sebenarnya sangat menderita karena pernikahan ini. Mama adalah perempuan yang sangat ambisius. Pernikahan bukanlah hal utama yang harus dijalankan, dan rumah  hanya menjadi sebuah tempat singgah saja.

Tak seperti pada Mama, aku menyayangi Papa. Kupikir Papa berbeda. Ia selalu ada untukku. Satu yang membuatku sangat menyayanginya adalah: ia selalu membelaku, bila Mama terlalu keras padaku.

Tapi kemudian aku tahu, sejak dulu Papa sudah berniat bercerai dari Mama. Aku masih ingat teriakan Mama kala itu, di malam saat mereka bertengkar. “Kalau kau ingin pergi dari rumah ini, kau tak akan pernah mendapat kesempatan bersama Sefa!”
Kupikir kalimat itulah yang berkali-kali membuat Papa bertahan. Tapi sampai berapa lama? Saat aku menginjak usia 9 tahun, Papa akhirnya menyerah. Malam itu, masih kuingat dengan jelas ia mengajakku pergi ke sebuah toko mainan dan membiarkanku memilih semua mainan yang aku inginkan. Membuat kami pulang dengan jok belakang mobil dipenuhi boneka-boneka lucu dan tumpukan buku-buku. Tak hanya sampai di situ, Papa juga mengajakku ke luar kota untuk menyaksikan pertunjukan sirkus yang kebetulan digelar di sana.

Kami pulang sampai larut malam. Aku bahkan tertidur hingga Papa harus menggendongku ke pembaringan. Aku tak tahu, semalaman itu Papa menata semua boneka  dan buku-buku yang tadi dibelikannya. Aku juga tak tahu bila ia memilih tidur di sebelahku hingga menjelang pagi. Aku hanya merasakan semuanya samar-samar saja. Sesamar tangisan lirih yang menelisip di mimpi indahku malam itu.
Tapi, kelelahan tak membuatku terbangun. Baru keesokan harinya, ketika aku  bangun, baru kusadari   Papa tak lagi ada di rumah. Para pembantu rumah hanya mengatakan Papa telah pergi, dan tak akan kembali lagi.

Duniaku seperti runtuh tanpa Papa. Terlebih saat aku tahu di pengadilan, hak asuh atas diriku jatuh pada Mama. Keputusan ini sempat membuatku kabur dari rumah. Tapi Mama berhasil menggagalkannya dengan mudah.
Sejak itulah, Mama mengurangi konser-konsernya di luar kota  agar dapat mengawasiku lebih ketat. Ia juga membayar  seorang pengasuh anak yang dapat terus mengawasiku. Aku tahu, bagaimanapun juga, ia tak ingin media sampai mengendus aku kabur darinya lagi. Itu tentu akan membuat namanya tercoreng.
Sebenarnya sejak itu kekerasan Mama berkurang sedikit. Ia tak lagi tampak marah di depanku. Di waktu-waktu tertentu ia bahkan mencoba bicara baik-baik denganku. “Dengar aku, Sefa,” ujarnya dengan nada selembut mungkin. “Papamu telah pergi. Ia meninggalkan kita begitu saja di sini, tanpa berpamitan sama sekali. Kau tahu, betapa tak bertanggung jawabnya laki-laki itu? Kini,   tinggal Mama yang engkau punya. Hanya Mama yang bisa mengurusmu dengan baik dan mencukupi semua kebutuhanmu. Percayalah, bila kau berniat lagi melarikan diri, kau tak akan bisa ke mana-mana.”
Aku hanya bisa diam.

***
Qurie Qurinda
Aku bersyukur dapat berada di sekolah ini. Sejak pertama kali melangkahkan kaki memasuki gerbang besarnya, aku sudah merasakan akan betah berada di sini. Sudah sejak lama aku mendengar nama sekolah ini. Mungkin pertama kali, saat aku melihatnya di televisi. Saat itu Ibu langsung menunjuknya dengan gembira.
Tak pernah kuduga, beberapa tahun setelah malam itu, aku benar-benar bisa berada di sini, di Sekolah Musik Kristalia Krani.

Sekolah ini tak terlalu besar. Hanya terdiri dari satu gedung utama saja. Namun halaman yang mengelilingi gedung itu sangatlah luas. Pohon-pohon teduh tumbuh memenuhinya. Sebuah telaga buatan terlihat di belakang gedung. Sementara di samping gedung ada teater terbuka berbentuk setengah lingkaran. Di situlah biasanya murid-murid yang ingin mengadakan pertunjukan terbuka.

Tak hanya diterima di sekolah ini, aku juga mendapatkan kamar kecil di belakang sekolah. Ini benar-benar di luar perkiraan. Kata Ibu, aku sangat beruntung. Walau kecil dan sedikit berbau lembap,   ini sudah cukup sekali bagiku. Setelah dibersihkan, keadaannya pastilah akan nyaman. Tak heran, bila di hari pertama saja, aku sudah bisa tidur dengan lelap.

Sebelum  pulang, Ibu menyerahkan sebuah pigura dengan selembar foto yang berisi kami berdua. Kemudian kuletakkan di samping meja. Aku sebenarnya membawa beberapa foto lainnya dan ingin meletakkan juga di situ. Tapi karena tak ada pigura lainnya, kuputuskan untuk tetap menyimpannya.

Ibu tampak enggan untuk pergi. Aku tahu, berat baginya untuk meninggalkanku sendiri. Bagaimanapun, aku masih 12 tahun. Walau pihak sekolah memberi jaminan pada Ibu akan mengawasiku dengan baik, tetap saja ini hal berat untuk dilakukan. Aku sampai harus mengingatkannya tentang keretanya yang akan segera berangkat.
Yang membuat sedih adalah saat Ibu benar-benar pulang, keadaan seperti tiba-tiba menjadi sedemikian senyap. Memamg ada beberapa petugas masak dan petugas kebersihan yang tinggal tak jauh dari kamarku, tapi saat mereka sudah berada di kamar masing-masing, aku seperti hanya seorang diri saja di sini. Tapi untunglah, secara tak kuduga aku bertemu dengan gadis seumurku. Ia tampaknya mengamatiku diam-diam sejak pertama kali aku datang. Namun, ia tampaknya tak berani mendekat padaku.
Jadi aku yang memutuskan untuk mendekatinya. “Hai,” aku mengulurkan tangan, “Aku Qurie Qurindra. Maukah kau berteman denganku?”
Namanya Sefa. Ia rupanya murid di sekolah ini juga. Hanya saja ia ada satu tingkat di bawahku.

Hanya berteman beberapa jam saja dengannya, aku sudah menyimpulkan kalau ia teman yang baik. Di hari pertama itu saja, ia sudah membantuku membersihkan kamar, walau aku berkali-kali melarangnya.

Satu yang membuatku heran, ia sepertinya sangat tertarik melihat pigura yang ada di meja. “Buat apa memasangnya di situ?” tanyanya dengan nada aneh.
Aku memandangnya tak percaya. “Ini fotoku bersama ibuku. Tentu saja harus di pasang di situ, agar aku dapat terus mengingatnya.”

Ia hanya terdiam, tak mengucapkan apa-apa lagi. Tapi aku melihat wajahnya yang tampak tak suka. Barulah beberapa hari kemudian aku tahu, ia adalah anak satu-satunya pemilik sekolah ini. Cerita selanjutnya >>>>


***
Yudhi Herwibowo












 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?