Fiction
Pertiwi

30 Sep 2016


SECARIK KERTAS tergeletak di dalam keranjang tempat Pertiwi menaruh bayam yang baru saja dipetikinya. Seperti biasa ia baru dari Salemba. “Awas, nanti malam pemeriksaan Jono Gudel,” begitu isinya. Begitu sampai di pintu berkawat Bukit Duri, Pertiwi setengah berlari ke dapur. Tak ada siapa pun yang mengawasinya.
Malam itu rekan-rekannya menyingkirkan buku-buku, majalah, dan koran yang mereka simpan. Tak seorang pun mau terkena sabetan rotan Jono yang pedih atau tendangannya yang begitu menyakitkan. Namun desas-desus lain mereka dengar malam itu. Mereka akan dipindahkan ke suatu tempat nun jauh di Jawa, di bawah pegunungan tempat dewa-dewa bersemayam, dalam bangunan buangan para penderita lepra. Beberapa mulai menangis, merasa akan diasingkan atau bahkan dihilangkan selama-lamanya.
Beberapa minggu kemudian pada suatu malam, puluhan wanita berbaris di halaman dalam satu deretan yang rapi. Di hadapan mereka ada bus besar menunggu, siap membawa mereka ke satu daerah yang belum pernah mereka bayangkan sama sekali. Lampu-lampu dipadamkan. Suasana sedemikian mencekamnya. Tadi mereka telah diberi kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan. Seorang wanita yang sering diberitakan media massa berbicara pada anaknya, “Wis ya, Nduk1.” Di bola matanya tergenang air yang mendesak hendak turun.
Pertiwi tidak punya seorang pun untuk datang menjenguknya. Ayah, ibu, dan adik-adiknya sudah tercerai berai, berpencar, bersembunyi, dan lari dari satu kota ke kota lain mencari keselamatan diri sendiri. Pertiwi tinggal di Bandung dengan suami yang dinikahinya saat dalam pelarian. Ia tak tahu apa-apa kala peristiwa nahas di akhir September terjadi. Ketika itu ia adalah seorang mahasiswi yang sedang bersemangat menyiapkan aksi. Namun hatinya berbisik untuk lari ketika ia membaca berita-berita di surat kabar. Tak lama rumahnya dibakar. Untung ayah, ibu, dan adiknya sudah ke luar, selamat dari pembakaran yang dilakukan massa yang marah dan terprovokasi berita yang diembuskan Angkatan Darat.
Dengan menjual perhiasannya, Pertiwi bertahan hidup, menyamarkan identitasnya dan bekerja menjadi penjaga toko milik keluarga peranakan Tiongkok. Sampai malam itu tentara datang ke rumah kos dan memisahkan ia dari suaminya. Pertiwi tidak pernah menangis. Ia tak mau mengeluarkan air mata untuk orang-orang yang tidak ia kasihi. Ia masuk ke dalam bus dengan gagah, lalu duduk seraya menelungkupkan wajahnya. Di luar terdengar suara mobil voorijders2 meraung-raung dengan suara sirine yang memekakkan telinga, mengawal mereka menuju tempat pembuangan yang baru. Tak kelihatan sedikit pun petunjuk.Ia mendengar wanita di sampingnya merintih, “Oalaah, gek awake dhewe ki digawa nyisang jagad endii.3



 
LETKOL SUROTO mengawasi para tahanan bekerja pada hari pertama mereka sampai di Dusun P. Tempat itu begitu jauh dan terpencil dari kehidupan masyarakat, benar-benar cocok untuk membuang orang yang dianggap pemberontak. Catnya sudah pudar dan kusennya gompal, ditambah hewan liar masih banyak berkeliaran. Di sini ia harus bertahan bertahun-tahun lamanya, mengawasi wanita yang sedemikian banyaknya. Darah Letkol Suroto berdesir. Tahanannya bukan main-main, kebanyakan cantik, putih mulus, pintar, dan berpendidikan. Mata Letkol Suroto nyalang memandang sekeliling. Ia menandai satu demi satu tahanannya. Sekali lihat Letkol Suroto sudah bisa menandai mana yang koppeg4dan mana yang bisa diajak bekerja sama. Ia tersenyum sambil menelan ludah. 
Malam pertama tidur di pembuangan, Pertiwi mendapati seekor ular besar melingkar di atap depan kamarnya yang bocor. Tangannya yang luka akibat mencabuti rumput tanpa memakai sarung pengaman terasa perih. Malam itu ia tidur dengan kawan-kawan yang baru dikenalnya. Ada Tuti, istri seorang tokoh partai di Jawa Timur; Kusnah, aktivis Serikat Buruh; dokter Sumarsih, seorang dokter yang dijuluki ‘dokter Lubang Buaya’, serta Nining—yang entah bagaimana terlihat seperti korban salah tangkap.
Permusuhannya dengan Nining datang segera ketika Nining mengeluhkan menu makan mereka yang itu-itu saja. “Makan, kok, ikan asin terus,” Nining mengeluh di dapur. Pertiwi memandangi wanita berbadan sintal itu dengan kesal. Tuti hanya mengangkat alis sambil terus mengaduk nasi yang masih panas. Di tangannya tercetak jelas bekas sundutan rokok.
“Masih untung ikan asin. Mau kau kuberi bekicot?” Pertiwi mengancam.
Ketika baru pindah ke tempat ini, mereka kekurangan makanan untuk seluruh orang. Yang bosan dengan tahu dan tempe mulai memburu hewan-hewan di sekitar bangunan. Tikus dan bekicot menjadi favorit dan karenanya kedua hewan itu cepat habis. Setelah itu mereka kembali pada nasi yang dijatah seratus gram sehari untuk setiap orang dan lauk-pauk yang itu-itu saja.
Nining mengibaskan rambutnya. Ia mengenakan sebuah rok lebar yang teramat cantik. Entah siapa yang membelikan Nining rok itu. Tapi Nining memang istimewa. Pertiwi tahu Nining seringkali menghilang pada malam hari dan baru kembali keesokan harinya. Semua orang meributkan bagaimana Nining bisa membeli telur untuk dimakan dirinya sendiri. Nining selalu berkata itu karena mereka tidak cerdas membaca peluang. Nining menyinyiri Kusnah dan Tuti yang merajut dan menyulam sapu tangan. Ia berkata pekerjaan itu sedemikian melelahkan dan uangnya tak seberapa besar. Bukan main kesalnya Kusnah. Hampir saja ia menampar mulut Nining kalau tidak ada penjaga yang mengawasi mereka.
Namun tiba-tiba saja Nining menghilang. Pertiwi mengingatnya dengan jelas karena dua minggu setelahnya ia ditugaskan di rumah komandan, begitu mereka biasa menyebut Letkol Suroto. Pertiwi menerima tugas itu dengan ragu. Ia tahu tak ada alasan untuk menolak.
“Kau jangan lengah,” ujar dokter Sumarsih.
“Terima kasih, aku bisa menjaga diri,” sahut Pertiwi.
“Tapi kau harus ingat sama si Min. Dia bahkan sampai hamil anak komandan,” tukas Kusnah.
Pertiwi kenal dengan Min dan ia juga tahu anak Min yang bernama Melati, yang akhirnya diasuh oleh istri Letkol Suroto. Min dulu diminta bantu bersih-bersih rumah komandan. Tapi bukan hanya bersih-bersih, Min ternyata juga diminta jadi teman tidur.
“Aku rasa Nining kabur untuk menggugurkan kandungan,” kata Tuti, “soalnya dokter Sumarsih tak mau membantunya.”
Mata para wanita itu saling memandang, mencari pembenaran kepada dokter Sumarsih. Begitu mendapatkan anggukan, mereka terdiam, lesu, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Sudah, tak usah khawatir. Tak mungkin komandan mengincar aku. Selera dia yang cantik-cantik macam Nining dan Min,” Pertiwi mencoba menenangkan hati teman-temannya.
Ia kemudian mengambil tempat yang paling nyaman untuknya, menggelar tikar lusuhnya, lalu mencoba tidur meski matanya menolak keras setiap usahanya untuk terlelap.
 
MESKIPUN PERTIWI sudah berusaha waspada, ia tak sadar ketika komandan masuk ke kamarnya saat ia tengah mengepel lantai. Itu hari ketiga ia bekerja di rumah komandan. Pertiwi menoleh demi mendengar bunyi kunci diselot. Entah bagaimana Pertiwi tak mendengar sama-sekali bunyi langkah kaki komandan. Sudah terlambat ketika Pertiwi berdiri. Sang komandan sudah berdiri di depannya, tampak angkuh dan bertekad tak mau ditolak.
Komandan menarik rambut Pertiwi. Tak dihiraukannya suara Pertiwi yang berkata jangan sambil memohon. Sekuat tenaga Pertiwi menolak, melawan, dan menendang, ia cuma wanita kecil dengan kekuatan tak seberapa. Satu persatu pakaiannya mulai lepas, sementara di kepalanya terbayang kembali simfoni malam kala disiksa bertahun-tahun lampau. Komandan mengangkatnya, lalu melemparkan Pertiwi ke atas tempat tidur. Belum sempat Pertiwi bangkit, komandan sudah mencopoti bajunya sendiri lalu menaiki badannya. Selangkangan Pertiwi terasa perih diguncang-guncangkan, hatinya hancur porak-poranda. Ia mual sekaligus malu. Setelah menit-menit yang bagaikan jam dalam ketidakberdayaan, Pertiwi mendapati ia sudah tak berharga. Tanpa berkata sepatah kata pun, Pertiwi mengenakan bajunya kembali. Ia keluar dari kamar komandan dengan rambut terurai dan rasa marah yang membakar seluruh tubuhnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum matahari bersinar terang, Pertiwi berusaha kabur dengan cara melompati pagar yang dipasangi kawat berduri. Namun seorang penjaga memergokinya, lantas menghardiknya masuk kembali. Seharian Pertiwi dihukum dengan cara dijemur di lapangan. Setiap orang dilarang memberinya minum dan makan. Di akhir hari, Pertiwi hampir saja jatuh pingsan. Ia sudah dehidrasi berat. Dokter Sumarsih memberinya minum dan memangku kepalanya.
“Kenapa tho, Nduk5,” katanya sambil mengusap-usap kening Pertiwi.
Pertiwi hanya menggeleng.
Esok dan esoknya lagi, Pertiwi selalu berulah, mencari cara agar ia tak dikembalikan ke tempat komandan. Pertiwi dituduh menghasut teman-temannya memprotes jatah makan yang semakin sedikit. Ia lantas dimasukkan ke dalam ‘kandang babi’, sebuah kamar kecil yang bau, kotor, dan pengap jauh di belakang, terpisah dari kerumuman gedung-gedung, tempat hukuman bagi tahanan yang membangkang.
Sampai akhirnya tanpa diduga-diduga, hari itu ia dikeluarkan dari ‘kandang babi’. Seorang petugas mengatakan ia dipanggil menghadap komandan.
“Lebih baik mati jadi belatung di sini daripada berjumpa komandan,” jawab Pertiwi tegas.
“Kau tahu komandan memanggilmu,” tentara itu membentak.
“Aku tak peduli.”
Pintu ditutup kembali dan langkah-langkah tentara yang berjalan menjauh terdengar. Seharian itu tak ada makanan yang diberikan untuk Pertiwi. Tapi keesokan harinya, dengan penuh keajaiban, Pertiwi dikembalikan ke dapur. Ia dibiarkan bekerja dengan tenang. Namun, Pertiwi membatin, barangkali itu karena Nining sudah pulang. Ya, Nining yang kini berperut rata sudah kembali. Tapi ia tak sekamar lagi dengan Pertiwi. Entah di blok mana Nining dipindahkan.
Nining tersenyum mengejek pada Pertiwi yang membayangkan barangkali kisahnya sudah tersebar luas ke seantero tempat pembuangan itu. Pertiwi yang hanya terdiam mendengarkan Nining berceloteh. Ia sedang berusaha menekan-nekan iblis dalam kepalanya yang berbisik untuk menikam wanita itu dengan pisau dapur yang dipegangnya, lalu menuju kamar komandan untuk memotong kemaluannya sambil menari harum bunga—seperti yang mereka tuduhkan padanya bertahun-tahun lalu.
Sambil membunuh semua ingatan di kepalanya yang mendesak keluar tentang malam saat mereka memintanya telanjang dan menggerayanginya sambil mencari cap organisasi yang tidak pernah ada, meminta ia duduk berpangkuan dengan seorang laki-laki tanpa sehelai benang pun berhari-hari, bahkan memaksa kepalanya menunduk menjilati kemaluan para pemeriksa. Pertiwi berusaha melesapkan dorongan itu dengan meraba perutnya lemah lembut. Ia menyadari ada sesuatu yang telah tumbuh dalam rahimnya. Ia akan memeliharanya sebagaimana ia memelihara harapannya untuk bebas suatu hari nanti. Dan jika saat itu tiba, ujar Pertiwi dalam hatinya, aku akan punya keluarga. (f)
 
 Kisah dalam cerpen ini terinspirasi dari penderitaan para tahanan politik wanita dari seluruh Indonesia, sebagian adalah para Gerwani, di tempat pembuangan mereka, Kamp Plantungan, Kendal.
 
Keterangan:
  1. Sudah ya, Nak.
  2. Mobil pengawal.
  3. Oh, kita ini mau dibawa ke dunia mana.
  4. Keras kepala.
Nduk, sebutan untuk anak wanita.

***

Fadjriah Nurdiarsih


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?