Fiction
Cupcake Untuk Kaka

31 May 2016


 
JUNG HANS di dinding dapur menunjuk ke angka tiga. Dentangannya mengejarku untuk lekas memulai. Masih cukup waktu untuk memasak kue kejutan. Otakku mulai mengalkulasi. Tiga puluh menit untuk menyiapkan bahan, dua puluh menit untuk membuat adonan, lima belas menit untuk memanggang, sepuluh menit untuk menghias.

Aku mengenakan apron dan mulai menata perkakas di atas meja marmer. Selalu lebih mudah seperti ini. Ketika kau dapat meraih segala perkakas itu dalam satu jangkauan tangan saat memasak. Mangkuk stainless, spatula, mixer, gelas ukur, timbangan digital, loyang, dan papercup. Lengkap. Aku mengeluarkan bahan-bahan yang barusan kubeli dari supermarket: telur, mentega, gula, terigu. Bahan dasar membuat kue. Sengaja kubeli mentega hewani (bukan margarin) agar wangi susunya keluar. Dan kupilih telur-telur yang bulat agar kuning telur yang didapat lebih besar, sehingga menghasilkan tekstur kue yang lembut dan halus.

Aku menakar bahan-bahan di atas timbangan digital. Ah, kue ini akan menjadi kue yang sangat istimewa. Seistimewa hari ini, hari ulang tahun anak lelaki semata wayangku. Anakku berusia tujuh tahun hari ini. Tujuh adalah angka istimewa, angka keberuntungan. Tujuh adalah warna pelangi. Tujuh adalah tangga nada dalam satu birama. Tujuh adalah jumlah hari dalam seminggu. Seperti angka tujuh, ia pun adalah anak yang istimewa.

Betapa tidak, ia sudah bisa berjalan sebelum genap setahun usianya. Kemampuan motoriknya memang berkembang di atas rata-rata. Belakangan ini ia suka sekali bermain bola. Hampir  tiap sore selepas jam tidur siang, ia  bermain bola di tanah kosong samping perumahan. Setelah itu, ia akan pulang dengan kaus yang kuyup keringat dan perut yang keroncongan. Kecintaannya pada bola ditularkan oleh suamiku. Kaka, namanya pun diambil dari salah satu pemain bola dunia. Bayangkan, dua pencinta bola dalam satu rumah. Riuhnya bukan main, jika tim kesayangan mereka sedang bertanding. Tim Merah Putih, meski tidak selalu menang, tetap menjadi tim favorit mereka. Mau tak mau aku familiar dengan sosok-sosok seperti Bambang Pamungkas, Irfan Bachdim, Andik Vermansyah. Karena anakku selalu berceloteh tentang mereka. Bahkan kaus bola kesayangannya --kaus tim Merah Putih seperti milik Bachdim-- sudah memudar merahnya akibat terlalu sering kena detergen.

Merah. Merah itu Indonesia. Merah itu berani, katanya. Seperti kue kejutan yang akan kubuatkan untuknya. Red velvet. Sejak kue berwarna merah ini booming beberapa tahun lalu, aku selalu mencari resep red velvet untuk memanjakan mereka, dua lelaki pencinta bola dan merah. Sekaligus untuk menghemat pengeluaran juga, karena mereka selalu mencari red velvet di mal-mal, yang harganya terkadang tidak masuk akal untuk makanan sekali suap. Setelah berkali-kali mencoba resep yang kudapat, baik dari buku maupun internet, berhentilah aku pada resep ini, resep yang sekarang terpampang di dinding krem dapurku. Resep ini baru kutemukan kembali setelah entah berapa lama menghilang, yang membuatku berhenti memasak red velvet selama kurun waktu itu. Anakku menamainya resep red velvet over-Kitchenette karena kelezatan rasanya menandingi kue yang dijual di kafe tersebut, tempat ia sering menghabiskan Minggu bersama sepotong kue dan seorang ayah.

Demi kepraktisan, aku membuatnya dalam bentuk cupcake dengan frosting keju krim dan stroberi sebagai hiasan di atasnya. Aku membayangkannya. Harum vanilla susu menggoda  penciuman. Lembut krim keju yang menyapu bibir, sedikit asam mungkin akan menarik pada kesadaran untuk segera menggigit kue di baliknya. Kue yang bertekstur padat mengenyangkan sekaligus gurih meringankan.  

Seketika Jung Hans tua berdentang sekali, mengingatkan aku untuk waktu setengah jam yang sudah habis. Aku sengaja menempatkan jam dinding kuno ini di dapur. Jam yang diwariskan oleh nenekku. Meski kontras dengan interior dapur yang minimalis, dentangannya mampu menarik kesadaran dari sihir memasak yang sering kualami.  

Aku mulai membuat adonan. Telur yang bercampur dengan mentega membuat warna kuning keemasan dengan butiran gula pasir yang kerlap-kerlip tertimpa cahaya neon. Kupercepat mixer, agar gula di dalam adonan cepat merata. Mungkinkah gula ini terlalu banyak sehingga susah larut? Berapa gram tadi yang kumasukkan dalam adonan? 100 gram? Aku jadi teringat artikel majalah kesehatan beberapa minggu lalu. Gula berlebih dapat menyebabkan diabetes pada anak. Seharusnya, untuk seusia anakku, asupan gula tidak boleh melebihi 38 gram sehari.

Bagaimana jika karena gula ini anakku menjadi kelebihan berat badan dan terkena diabetes? Aku mulai memperlambat mixer dalam genggaman. Ah, kurasa anakku tidak akan menjadi gemuk, karena, toh, artikel itu juga menyebutkan bahwa jika diimbangi dengan aktivitas olahraga maka   gula yang masuk akan terbuang menjadi energi. Justru itu yang dibutuhkannya, bukan? Energi.
 
AKU MELANJUTKAN dengan mencampur bahan-bahan kering: terigu dan cokelat bubuk. Dutch processed chocolate. Tentu saja jenis cokelat ini yang kupakai, yang sudah melalui proses alkali untuk menghilangkan lemak. Anakku suka sekali cokelat, dan kurasa umumnya semua anak juga menyukai cokelat. Tapi, jika lemak hanya akan membuat obesitas, maka aku harus mengakalinya. Jangan sampai ia menjadi seperti si Endut, teman sekelasnya. Nama aslinya Dio, bukan Endut. Tapi, ia dipanggil Endut karena tubuhnya yang gemuk dan menyebabkan gerakannya lamban. Ibunya selalu menuruti keinginan Endut untuk memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Bukankah anak-anak selalu seperti itu? Mereka menginginkan makanan yang manis dan gurih. Tugas kita sebagai ibu yang harus menjaga makanan yang masuk ke tubuh mereka.

Aku bangga menjadi ibu yang memperhatikan kesehatan anakku, menjaga makanannya, seperti susu ini misalnya. Susu rendah lemak, yang kucampur dengan cuka apel sebagai pengganti buttermilk dalam resep. Wangi asamnya menyapu indra penciumanku. Asam yang segar. Kudiamkan beberapa menit sampai kudapat kekentalan yoghurt sebelum kutambahkan warna merah pada adonan. Merah saga. Merah ini kesukaannya. Oh, seharusnya aku tidak memakai pewarna buatan ini. Apa kata artikel Huffington Post kemarin? Pewarna buatan mengandung zat yang menyebabkan anak hiperaktif? Seharusnya kubuat sendiri pewarna ini dari buah bit. Meski merah yang dihasilkan mungkin tak sama, setidaknya lebih aman untuk dikonsumsi.
Aku menoleh ke arah Jung Hans tua yang menggantung di dinding. Jarum kecilnya hampir sampai di angka empat dan aku memutuskan tidak akan cukup waktu untuk perkara buah bit ini. Anak dan suamiku akan segera pulang dan kue ini harus siap menyambut mereka. Kucampurkan semua adonan dan mengaduknya dengan spatula perlahan. Warna merah menguasai dengan cepat. Kutambahkan sedikit vanilla cair, wanginya merata ke seluruh adonan. Terbayang adonan ini adalah isi hatiku. Dituang dengan hati-hati pada papercup warna-warni. Hatiku telah terisi pada cetakan-cetakan kecil yang disiapkan untuk ulang tahun anak yang kukasihi. Kubayangkan wajahnya nanti saat melihat red velvet sebagai kue ulang tahunnya. Kue dengan harum keju krim susu dan rasa cokelat samar yang yang absen dimakannya selama beberapa waktu karena kecerobohanku menghilangkan resep. Ia tidak mau membeli red velvet di tempat  lain karena red velvet Kitchenette sekalipun tidak dapat menandingi red velvet buatanku, katanya.
Aku menyalakan kompor dan memanaskan oven tangkring. Seperti Jung Hans tua itu, oven bercap Bima ini juga warisan dari nenekku. Aku enggan menggantinya dengan oven gas yang lebih modern. Bagiku, barang-barang tua ini sudah seperti hidup mengabdi pada fungsinya. Oven 40x40 cm ini tidak pernah mengecewakanku. Ia tetap berfungsi dengan baik, meski kerak karat sudah mengikis di sudut-sudut badannya. Suara desis api menjilat bagian bawah Bima ketika kumasukkan loyang persegi panjang dengan papercup-papercup berbaris di atasnya. Panasnya menyerang seluruh ruang dapur, menyebabkan aku harus membuka jendela lebar-lebar. Angin sore mengembus malu-malu dan kulihat senja mulai merangkak di tepian langit.
Harus bergerak cepat, pikirku. Aku tergesa membuat frosting, mencampur krim keju dan gula halus. Oh, lemak dan gula lagi. Kecemasan mulai tebersit. Setelah kue yang sedang menunggu di oven itu, mengapa frosting ini juga harus penuh dengan lemak dan gula? Ah, gara-gara artikel sialan itu. Dulu aku tak pernah terlalu rewel begini dalam memasak. Tapi, sejak kubaca artikel itu, pikiranku selalu dipenuhi akan kejahatan-kejahatan yang diselundupkan oleh makanan-makanan anakku. Kecemasan segera kutepis. Anakku sangat menyukai frosting ini sampai kadang-kadang dia minta izin untuk menjilati mangkuk bekas adonan frosting. Supaya Mama lebih gampang mencuci mangkuk ini, begitu alasannya. Aku tersenyum dalam hati. Keju krim ini memang lezat: manis dan gurih. Sedikit rasa asam yang disebabkan fermentasi susu malah membuat rasa segar pada lidah. Tidak akan ada rasa enek yang biasa dibawa oleh krim mentega.

Aroma kue terpanggang menyita perhatianku. Wangi adonan yang mulai matang bercampur dengan panas galvanis. Tujuh puluh lima persen matang, kata seorang teman yang menjadi acuanku dalam menilai tingkat kematangan kue berdasarkan aromanya. Aku mengintip ke balik oven. Panas dari api bawah menyebabkan kue-kue dalam papercup menggelembung tak teratur. Besar dan kecil. Naik dan turun. Seperti napas yang berlomba-lomba untuk mencapai garis akhir. Cepatlah matang dan buatlah pangeran kecilku bahagia, kataku pada kue-kue itu. Kerlap-kerlip gula pasir yang terkaca di permukaan kue-kue itu seakan menjawab permintaanku. Perlahan-lahan mereka surut dan menstabilkan diri. Aku menusuk sebatang tusuk gigi ke dalam salah satu kue. Ketika kutarik kembali, tusuk gigi itu bersih, tidak lengket, pertanda kue ini sudah matang.

Tanpa menunggu lama, kusemprot kue-kue mungil itu dengan plastik segitiga yang berisi krim keju. Merah yang tertutup putih. Merah putih. Bukankah itu warna tim favorit anakku? Wangi krim keju yang segar memanjakan penciumanku. Di atasnya kutaruh potongan stroberi. Stroberi ini akan menambah rasa asam segar krim kejunya. Tidak semua kue kutaruh potongan stroberi. Kupilih satu kue untuk kutancapkan tujuh batang lilin warna-warni. Lilin yang menjadi penanda usianya. Tidak sabar aku menunggu anakku pulang ke rumah.
 
AKU SELESAI BERPAKAIAN ketika suara pintu depan terbuka. Sore ini aku memilih terusan merah selutut dengan polkadot putih kecil-kecil. Hari bahagia harus dirayakan dengan warna gembira. Kusisir ulang rambutku yang bergelombang sebelum bergegas melangkah ke pintu rumah.

Kulihat suamiku terkejut melihat apa yang terhidang di meja ruang tamu. Tier akrilik bertingkat tiga dengan cupcake-cupcake mungil yang berjejer melingkar. Di puncaknya ada satu cupcake yang menyangga tujuh batang lilin kecil warna-warni yang belum dinyalakan. Di sudut meja, ada sebuah kado yang terbungkus kertas merah mengilap dengan pita putih besar. Aku membungkusnya dengan buru-buru. Isinya mainan lego kesukaan anakku. Sudah lama ia idam-idamkan dulu.
“Ma… apa-apaan ini?” tanya suamiku pelan.

“Papa lupa? Hari ini ulang tahun Kaka. Masa ulang tahun anak sendiri bisa lupa?” Aku tersenyum.
“Ma…,” ia tidak melanjutkan kalimatnya. Rautnya berubah dari heran menjadi sedih. Aku menangkap sesuatu yang janggal.

“Pa, ada apa? Apakah ada masalah di kantor? Sudah, mandi dulu sana. Sebentar lagi Kaka pulang dari main bola. Setelah tiup lilin, kita makan di luar, ya.”
Suamiku diam saja. Mulut dan kakinya seakan terkunci berbarengan. Aku melihat sesuatu yang salah. Samar-samar kudengar jam Jung Hans di dapur berdentang enam kali. Perasaanku mulai tak enak.
“Pa, kemana Kaka, ya? Kok, jam segini belum pulang? Biasanya paling lama juga setengah enam dia pulang. Tadi Papa lewat lapangan bola depan perumahan, gak?  Apa masih banyak anak-anak yang main di sana jam segini?” suaraku mulai panik. Kebiasaanku jika panik selalu mencerocos dengan suara tinggi.
“Ma, sudah. Sadarlah.”

“Sadar apa, Pa?” Sudah apa?” Aku benar-benar bingung dibuatnya. Kepanikan dan kebingungan melanda pikiranku. Jemariku mulai basah oleh keringat, menandakan tubuhku mulai menyadari sesuatu yang salah. Perlahan-lahan potongan-potongan peristiwa merembesi otak besarku.
“… tertabrak… Kaka… tahun lalu… sore ini… psikoterapi….” Aku tak dapat menangkap kalimat-kalimat yang dilontarkan suamiku. Suaranya  makin menjauh, sementara dentaman-dentaman di kepalaku  makin menghebat. Lalu semuanya gelap. Merah, lalu hitam. (f)
 
 
***
Angelina Enny
 
 
 
 
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?