Fiction
Cerpen: Pangir

13 Aug 2017


           
Sehari sebelum Ramadan, suasana pasar sungguh ramai. Semuanya berlomba-lomba membeli bahan makanan terbaik yang akan disiapkan untuk menyambut bulan suci itu. Sambil menggandeng anaknya, Suri kerepotan membawa barang belanjaan.

“Ibu, belum beres, ya? Ini, kan, udah banyak,” keluh Tisha.

“Masih ada satu lagi, Sayang. Jeruk purut untuk pangir.”

“Itu ada jeruk, Bu,” tunjuk Tisha.

“Bukan yang itu. Itu jeruk nipis. Yang kita cari, kulitnya berkerut-kerut.”

“Kayak muka Nenek kalau lagi marah,” celetuk anak enam tahun itu.

Suri tersenyum. “Nenek marah kalau kita nggak bersikap manis, Tisha. Tapi, kalau kita berubah jadi anak baik, Nenek nggak akan marah lagi, kok.”
 
“Ibu, Ibu. Itu jeruknya!”

Tisha benar. Bahan pelengkap pangir itu tersedia di salah satu gerai. Dengan senang, ia memasukkan jeruk perut ke dalam tas belanjaannya. Sekarang, ia bisa membuat pangir sesuai kemauan Mamak.

Pulang ke rumah, semerbak harum masakan menerpa hidung Suri. Penyebabnya adalah berbagai penganan yang ada di meja yang saat itu sedang disajikan oleh Ria, asisten rumah tangganya.

“Ah, sudah pulang kau? Suruhlah si Tisha itu mandi baru kita makan.”

Sebaik anak adopsi Suri itu berlalu, Mamak memeluknya erat sambil terisak. “Kenapa kau tak bilang-bilang Suri. Sedih hatiku membaca kertas yang kau kasih.”

Suri membalas pelukan ibunya. Kertas yang dimaksud Mamak adalah berkas-berkas kondisi kesehatannya. Bahwa setahun terakhir ini, ia divonis mengidap kanker rahim. Bahwa setelah operasi pengangkatan rahim, ia tidak akan bisa hamil. Dengan pertimbangan matang, itulah sebabnya Suri memutuskan untuk mengadopsi anak.

“Maafkan aku, ya, Mak. Aku cuma nggak mau Mamak sedih dan bingung mendapat gunjingan dari orang-orang.”

“Ah, peduli setan apa kata orang. Aku Mamak kau. Mau sampai kapanpun, kau tetap anakku yang harus aku lindungi.”

Bergenang air mata Suri mendengar kalimat itu. Di balik sikap tegas dan kolotnya, Mamak tetaplah ibunya. Yang sayang dan peduli terhadap anak-anaknya ketimbang merepotkan tudingan orang lain.
 
“Ah, sudah adakah pangir yang aku minta? Harus dibikin sekarang supaya nanti sore bisa mandi bersih sebelum puasa besok. Terus, tak usah kau belikan tiket pulang, ya! Masih banyak yang harus aku ajarkan supaya kau mengerti adat dan pintar mengurus anak kau itu. Eh, mana pula si Tisha? Panggillah biar makan sama-sama.”

Suri menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. Masalah yang selama ini ia anggap sungguh sulit, ternyata tidak begitu berat. Kuncinya hanyalah berterus-terang. Mamak tetaplah seorang ibu hebat yang rela mengikis egonya sendiri demi kebahagiaan anak-anaknya. Meskipun menyesal tidak bercerita tentang kecemasannya setahun yang lalu, Suri senang karena akhirnya Mamak tetap mendukung apa pun pilihan hidupnya. (f)
 


Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?