Fiction
Cerpen: Pangir

13 Aug 2017


Pagi itu, seperti biasa Suri melongok ke dalam kamar tidur ibunya. Tidak ia temukan sosok ibunya di sana. Ketika ia beranjak ke dapur, rupanya Mamak telah duduk di sana. Berpakaian rapi lengkap dengan kerudung. Pertanda wanita itu telah siap untuk berangkat.
 
“Mak, baru siang nanti aku ambil tiket Mamak. Besok sajalah baliknya.”
 
“Ah, buat apa aku di sini? Anakku sendiri tak mendengarkan omonganku. Lebih baik aku di rumahku sendiri. Apalagi, besok sudah puasa, Suri. Kalau pagi ini aku berangkat, sore aku sudah sampai. Masih sempatlah aku pesan daging –
 
“Aku sudah beli pangir,” potong Suri sambil menyodorkan sebuah besek. “Aku ingat Mamak dulu menyiapkan ini buat kami sebelum puasa.” Ia berharap kemarahan Mamak sedikit mereda jika mengingat nostalgia masa kecil Suri.

Boro-boro melunak, Mamak justru melempar besek itu dengan kasar. “Apa pula ini? Itu bukan pangir. Merah-merah tak ada gunanya. Eh, Suri. Tak ada pula jeruk purut. Yang namanya pangir itu bukan bunga segala bunga. Yang kau bawa ini apa? Tak ada daun serai, daun laos, daun nilam, daun pandan, akar wangi? Bunga-bunga boleh kau pakai, tapi tambahan saja itu. Jeruk purut yang utama.”

Terburu-buru, Suri memeriksa isi besek. Salahnya sendiri. Kemarin malam ketika membeli, ia tidak mengecek terlebih dahulu. Ketika penjual bingung saat ia menyebutkan istilah pangir, Suri hanya menjelaskannya sebagai air wangi yang digunakan untuk mandi bersih. Pantas saja ia membawakan barang yang salah.
 
“Ah, macam mana anakku ini. Sudahlah melanggar norma, tak mengerti pula adat dan tradisi. Kalau orang-orang tahu, mau ditaruh di mana mukaku?”
 
Suri menggigit bibir. Lagi-lagi, ia mengecewakan Mamak. Bukannya ia sengaja membuat ibunya itu marah. Tapi, ia benar-benar tidak mengerti alasan Mamak menumpahkan kekesalan kepadanya. Ya, ia mengadopsi anak. Apakah itu salah? Ya, dirinya belum menikah? Apakah itu memalukan? Apakah prestasinya sebagai pemilik bisnis perjalanan wisata tidak cukup bikin ibunya bangga? Apakah perangainya yang sopan dan hormat kepada orang lain bukanlah tanda keberhasilan bahwa ia dididik dengan baik oleh Mamak?

Gumpalan kekesalan di perut Suri meluncur ke atas. Menunggu untuk ditumpahkan. Ia sudah membuka mulut. Tiba-tiba, seorang anak kecil yang masih mengenakan piyama mendatanginya. “Ibu,” sapa anak itu memeluk diri Suri. “Tisha mau sarapan.”

“Sebentar, ya. Ibu masakin nasi goreng.”
 
“Ah, lagi-lagi nasi goreng. Anak kecil itu perlu makan yang sehat. Bukan yang instan-instan seperti yang kau bikin tiap hari itu, Suri. Itulah kau. Merasa hebat mampu mengurus anak. Padahal tak tahu apa-apa. Sendiri pula, tak ada suami. Mau di mana ditaruh mukaku kalau orang bilang kau wanita nakal!”
 
Prang! Suara penggorengan yang dijatuhkan menghentikan omelan Mamak. Suri tidak tahan lagi. Ia harus segera pergi dari sini. Menjauh agar tidak mendengar kata-kata ibunya yang membuat sakit hati. Ia mengambil kunci mobil dan tasnya. Kemudian, menggandeng Tisha agar mengikutinya.

“Mak, aku pergi dulu. Seperti biasa, nanti Ria juga datang,” ujarnya menyebut nama asisten yang ia pekerjakan untuk membersihkan rumahnya. “Kalau ada apa-apa, Mamak bilang saja sama dia.” Suri mengaduk-aduk tas. Ia mencari-cari uang untuk pegangan ibunya. Tapi, tangannya menyentuh sesuatu. Dokumen berlogo rumah sakit.
Sembari mengembuskan napas panjang, ia sodorkan berkas itu. “Kalau Mamak sempat, tolong baca, ya,” pintanya.

Selanjutnya, klik laman berikutnya.
 


Topic

#fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?