Fiction
Belia Nyawa Damar (2)

1 Jul 2016


Bagian 2
Kisah sebelumnya <<<<

Kesan familiar menghampiri Dokter Damar. Ia menatap pada sosok tubuh yang cenderung kurus dan tulang pipi tinggi. Dokter Damar memanjakan matanya dengan menatap wajah elok itu. Dengan mata cerdas yang dinaungi oleh sepasang alis lebat, wanita di hadapannya tampak mengesankan. Dokter Damar dapat melihat dengan lebih jelas  tiap elemen wajah yang tampak semakin menonjol karena kerudung berwarna hijau tua. Makin lama dipandang, Dokter Damar merasa  makin hanyut dalam  tiap detail kesan yang ditimbulkan oleh wajah wanita itu.
Ulun tinggal dululah. Pak Dokter ditemani oleh Ibu Azmi saja, ya. Permisi,” wanita paruh baya yang mengantarkannya itu telah berpaling.
Nur Azmi mengaitkan kedua tangannya dalam diam. Matanya mengawasi  tiap gerak-gerik lelaki dengan jas putih yang sedang berkata-kata dengan senyum lebar kepada anak-anak muridnya. Tungkai-tungkai panjang dan kurusnya itu bergerak dengan mantap di antara bangku anak-anak muridnya. Memukau memang. Nur Azmi sendiri tak mampu melepaskan pandangannya dari lengan kokoh dan punggung tegap itu. Seperti ada magnet pesona pada diri Dokter Damar.

Suara Dokter Damar terdengar tegas, sekaligus lembut. Kedalaman suaranya mengingatkan Nur Azmi pada sungai jernih dengan batu-batuan besar berwarna abu-abu yang tampak jelas di dasarnya. Nur Azmi menilai pemilihan kata-kata Dokter Damar ketika berkomunikasi dengan anak-anak didiknya. Terdengar kaku, bahkan ketika ia berusaha untuk menambahkan logat Banjar. Kentara betul Dokter Damar bukan orang lokal.
Raut wajah Nur Azmi melembut ketika ia melihat Dokter Damar tertawa karena pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak. Juga ketika Dokter Damar dengan luwes menggiring anak-anak itu untuk pergi ke tepi lapangan. Di sanalah Dokter Damar membuka keran air. Membiarkan air yang agak keruh itu mengalir. Jari-jari dan telapak tangannya bermain lincah di bawah kucuran air itu.
Sementara anak-anak kecil dengan pakaian merah putih sibuk mengerubutinya. Mata-mata cilik itu memperhatikan dengan penuh rasa penasaran. Walaupun tak sedikit juga yang malah sibuk memainkan air mengalir itu hingga membuat kemeja seragamnya basah kuyup.
Nur Azmi membantu Dokter Damar menertibkan anak-anak itu. Sementara memperhatikan satu per satu anak kecil belajar mencuci tangan, Dokter Damar melirik sosok ramping Nur Azmi. Ia lekat dengan kesan keibuan. Caranya menyentuh anak-anak itu, merangkul, dan membimbing mereka membuat Dokter Damar tersentuh. Seumur hidupnya ia bakalan merindukan sentuhan wanita keibuan penuh kasih sayang yang serupa dengan milik sang ibu guru.
Merasa diperhatikan, Nur Azmi mendongakkan kepalanya. Serasa tersihir, Nur Azmi tak bisa menggeser pandangannya pada sepasang mata cokelat tua yang begitu teduh. Sama-sama tak ingin melewatkan kesempatan menelaah lebih jauh seberapa dalam mata berwarna hitam pekat itu. Menggenapi apa yang telah digariskan oleh takdir. Bahwa sepasang mata itu harus bertukar pandang, saling menyelami satu dengan yang lainnya.
“Ibu guru mau belajar mencuci tangan juga?”

Nur Azmi mengikuti gerakan tangan Dokter Damar di bawah air mengalir. Ia merasakan kehangatan yang melingkupi punggung tangannya lama-kelamaan mulai dingin. Air keran yang hangat lantaran pipa terpanggang sinar matahari Kotabaru itu tak bertahan lama. Namun Nur Azmi membiarkan ujung-ujung saraf kulitnya merasakan perubahan suhu drastis itu. Setidaknya ia masih menikmati panca indranya yang mendadak jadi lebih sensitif.
Ketika Nur Azmi menggerakkan telapak tangannya satu di atas yang lainnya, ia tak mampu melewatkan perubahan lain yang dialaminya. Betapa kurus jari-jemarinya. Bahkan Nur Azmi dapat merasakan runcingnya buku-buku jari yang berbenturan. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Tetapi, itu tak membuatnya menghindar dari kenyataan pahit. Bahwa penyakit yang dideritanya lambat laun menggerogoti fisiknya.
Dokter Damar menuntaskan acara hari itu lebih cepat dari perkiraan. Ia berpamitan pada anak-anak kecil yang tengah kegirangan main air dengan semangat lebih sering mencuci tangan. Setelah mengukirkan sebuah senyum pada hati Nur Azmi, Dokter Damar melangkahkan kakinya keluar dari ruang kelas itu. Di tengah keriuhan anak-anak yang sibuk mempraktikkan cuci tangan dengan langkah-langkah yang mudah itu, Nur Azmi terpaku sesaat. Ia merasakan betapa seulas senyum yang ditujukan padanya itu telah membangkitkan sesuatu dari sudut hatinya. Sebongkah rasa yang tak pernah dikecap Nur Azmi sebelumnya.
“Waktunya istirahat, anak-anak,” Nur Azmi membuka pintu ruang kelas kembali. Membiarkan anak-anak itu menghambur ke tengah lapangan. Beberapa langsung bergerombol. Tak sedikit juga yang langsung mengeluarkan lembaran uang lima ribu buat membeli makanan ringan. Suara canda ceria anak-anak memenuhi setiap rongga kepala Nur Azmi. Ia menikmatinya dengan menebar senyum.

Melihat tiap kelincahan anak-anak yang berbaur di tengah lapangan itu dengan penuh rasa syukur. Dalam tiap tarikan napasnya Nur Azmi berharap ia dapat menarik semua gairah hidup dari anak-anak itu. Mengembalikan dirinya pada masa-masa di mana ia dapat bergairah pada tiap langkahnya. Tetapi bahkan kini ketika ia melangkahkan kakinya, Nur Azmi hanya merasa makin dekat pada jurang kematian.
“Ini Azmi waktu SD itu kah? Duh, lawasnya kada tetemu. Uda berapa belas tahunlah. Gimana kabarnya sekarang?” sebuah suara kecil bernada tinggi terdengar dari seberang lapangan. Sudah pasti kalau suara itu ditujukan untuknya lantaran ada namanya dalam sapaan itu.
Nur Azmi menolehkan kepalanya. Ia melihat sosok laki-laki kurus dengan cengiran lebar. Lelaki itu tampak kenal baik dengannya. Nur Azmi berusaha untuk membuka album kenangan dalam pikirannya. Namun, tidak menemukan seseorang pun yang cocok dengan sosok lelaki kurus kering di hadapannya sekarang ini.
Lupa kah lawan ulun? Azriel nah!” ujar lelaki itu ketika langkah-langkahnya mendekatkan jarak mereka. “Kawan SD ikam dulu.” Penjelasan Azriel menerangkan segalanya bagi Nur Azmi. Ingatannya tentang masa kecilnya memang berkabut karena ia lebih banyak bergaul dengan tumpukan buku.
Senyum sopan Nur Azmi membuat Azriel paham bahwa ia tidak diingat dengan baik. Tetapi, ingatan Azriel masih menyimpan Nur Azmi dengan sangat jelas. Gadis lincah dengan kulit hitam mengilap yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik buku. Keberadaan Nur Azmi bagaikan jawaban atas semua doa-doanya selama ini. Pada hatinya yang begitu mendamba memiliki seorang istri, Azriel ingin mendapatkan Nur Azmi sebagai istrinya. Wanita pertama yang dirasanya pantas untuk menikah dengannya saat ini.
Berbasa-basi sebentar dengan Azriel cuma salah satu cara untuk menunjukkan sopan santun. Setelah tahu bahwa Azriel juga mengajar di sekolah itu sebagai guru olahraga, Nur Azmi menunjukkan ruang guru. Ia memisahkan diri secepat yang ia bisa dari Azriel.
Dokter Damar sedang menjulurkan kakinya di bawah meja pendek yang berdiri goyah di hadapannya. Hati-hati, ia menyeruput teh hangat manis yang disajikan untuknya. Sepiring gorengan dengan cocolan kental berwarna kehitaman tampak menggoda di sebelahnya. Ia menanti berkas-berkas yang dibawanya sebagai bagian dari pelaporan ke Dinas Kesehatan. Menghormati  para guru ramah yang sudah menawarinya gorengan untuk mengganjal perut, Dokter Damar pun mengambil sebuah pisang goreng. Ia tidak mencolek cocolan kental kehitaman dengan biji-biji cabai itu. Bukan berarti tak enak. Hanya saja Dokter Damar selalu makan gorengan dengan cabai rawit segar. Persis seperti yang biasa dinikmati Dokter Damar di kota tempatnya berasal.
“Dokter Damar ini yang semalam merawat Ibu Azmi itukah?” sebuah suara membuyarkan keheningan Dokter Damar, “ibu guru yang tadi di kelas Pak Dokter itu.”
Dokter Damar menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak ingat pernah bertemu Nur Azmi sebelum ini. Dokter Damar hanya samar-samar mengingat pasiennya. Sekonyong-konyong ia teringat pada gadis berwajah tua dengan kulit kehitaman bersisik. Karena ketika menegakkan diagnosis gadis itu, Dokter Damar tahu persis ia akan rutin bertemu dengannya. Namun tak menyangka akan bertemu Nur Azmi dalam situasi yang berbeda. Apalagi dalam semangat yang bertolak belakang.
Tetapi, di sinilah ia sekarang, menoleh, dan melihat kehangatan berbalut semangat kehidupan dalam diri Nur Azmi.
Sesaat lamanya Dokter Damar tertegun ketika Nur Azmi masuk ke ruang guru. Tak percaya bahwa talasemia tengah menggerogoti diri Nur Azmi. Tetapi ia tak mampu mencegah dirinya mengubah raut wajah itu menjadi mimik prihatin. Nur Azmi menyadari perubahan tatapan mata Dokter Damar padanya. Tatapan yang sama ketika sang dokter menatapnya dari atas kepala, menanyakan keluhan, dan berusaha untuk melakukan tindak pertolongan padanya.
Tidak, jangan lagi. Nur Azmi hendak membuang wajahnya. Kabur dari tatapan iba Dokter Damar padanya. Ia tidak mau Dokter Damar mengintip dari jendela hatinya. Ia tak mau ada orang yang tahu seberapa besar bongkah penyesalan terhadap dirinya sendiri mencekat kerongkongan Nur Azmi. Sebab tak akan pernah ada yang mampu memahami seberapa besar ia ingin mengiba pada Tuhan agar mengangkat bibit penyakit itu dari dirinya.
“Sehat terus ya, Ibu Azmi,” terakhir Dokter Damar menjabat tangan ringkih Nur Azmi dengan hangat sebelum ia pamit setelah mengantongi semua berkas yang dibutuhkannya.
“Sampai ketemu lagi, Dok,” sahut Nur Azmi mantap. Ketika ia menatap punggung tegap Dokter Damar menjauh, ia merasa ada kupu-kupu yang sedang menari di dasar sanubarinya. Menetap di sana terus walaupun sosok Dokter Damar sudah menghilang dari jarak pandangnya.
 
***
Musim demi musim berganti dengan cepat di Kotabaru. Buah ramania memang membawa kepuasan tersendiri bagi Dokter Damar. Jatuh cinta setengah mati pada rasa asam menggigit dan daging buah yang mengolaborasikan kelembutan dan serat itu membuat Dokter Damar tak mampu berhenti mencari si ramania.
Kalau biasa ia makan nasi tanpa sambal seperti bernapas tanpa oksigen, kini Dokter Damar merasa hidupnya hampa tanpa sambal dengan ramania. Kalau ada kalimat yang menyatakan kepuasan tak berbanding lurus dengan ukuran, itu benar. Si bulat, kecil, dengan warna merah-kuning-keemasan ini membuktikannya. Sekalipun ia begitu mungil, tetapi kepuasan dari menggigit ramania sungguh tak tertandingi. Selain itu, Dokter Damar juga sudah puas menghadapi pasien dengan radang tenggorokan lantaran kebanyakan makan ramania.
Berlalunya musim ramania tak membuat kenikmatan di Kotabaru berkurang. Ada yang lain yang membuat Dokter Damar ketagihan. Indra penghidunya tergelitik dengan aroma manis bercampur minyak panas. Dokter Damar sedang duduk di dekat kipas angin untuk mengimbangi hawa pengap UGD. Sekonyong-konyong sepiring gorengan dengan gambaran awan pun tersaji di hadapannya.
Sanggar tiwadak, Dok,” salah seorang petugas dapur tersenyum pada Dokter Damar sambil berlalu.
Dokter Damar mengerutkan keningnya. Salah seorang perawat yang berjaga bersamanya segera saja mengambil sepotong sanggar tiwadak itu. Mendinginkannya dengan beberapa kali tiupan dan mengganyangnya sampai habis. Kelihatan begitu nikmat hingga Dokter Damar tergoda. Apa yang kemudian dirasakan oleh indra pengecapnya membuat Dokter Damar menaikkan sebelah alisnya.
 Cempedak yang digoreng bersama biji-bijinya, dibalut tepung. Rasa manis dan lembut bercampur menjadi satu dalam mulutnya. Tentu saja, Dokter Damar membuang biji cempedak yang begitu besar walaupun seisi UGD mengatakan bahwa biji itu bisa dimakan.
Rasa manis dan lembut di mulut Dokter Damar masih kentara betul. Namun mata awasnya menatap pintu UGD dengan tajam. Keributan yang ada di luar pintu UGD tak begitu kentara. Derap kaki yang cepat dan banyak membuat Dokter Damar mengambil stetoskop dari kantong jas putihnya. Yang terjadi selanjutnya hanyalah rutinitas harian Dokter Damar.

UGD yang awalnya kosong-melompong itu mendadak penuh dengan banyak orang. Sebagian di antaranya menunjukkan raut penasaran yang luar biasa mengancam. Sementara sisanya menggeleng-gelengkan kepala dengan gumaman penuh keprihatinan. Hanya ada beberapa orang yang benar-benar berusaha untuk tetap tegar di tengah-tengah kepanikan. Sementara satu orang harus menjerit histeris dan detik berikutnya mengisi salah satu brangkar di UGD.
Langkah kakinya terhalang menuju ruang resusitasi. Sampai Dokter Damar harus mendorong beberapa orang dengan pelan namun tegas. Sementara seorang perawat sudah mengambil selang dan tabung oksigen, Dokter Damar meraba sisi leher pasiennya. Dingin dan tak berdenyut. Gerakan dada pun nihil. Dokter Damar membuka kelopak mata anak yang sudah membiru itu. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Ketika perawat yang sudah selesai menyambungkan selang oksigen ke tabungnya itu hendak memasangkan, Dokter Damar menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ini?” tanya Dokter Damar. Pertanyaan terbuka pada siapa pun yang bisa menjawabnya di seputaran brangkar itu. Tetapi semuanya saling melemparkan pandang  tanpa ada yang memberikan jawaban.
“Tenggelam saat sedang pelajaran berenang, Dok,” sebuah suara yang familiar di telinga Dokter Damar. Orang-orang yang sejak tadi sibuk mengerubuti brangkar berisi anak tanpa nyawa itu pun mulai melonggar. Sehingga Dokter Damar bisa melihat persis siapa yang menjawab pertanyaannya.
“Ada keluarganya?” tanya Dokter Damar. Ia harus menyampaikan berita duka. Kabar buruk yang sudah sering kali disampaikannya.
Gerakan Dokter Damar sigap. Menangani anak yang sudah membiru sejak tadi itu dengan tak berlebihan. Nur Azmi juga tak berharap Dokter Damar bakal melakukan tindakan heroik. Toh, ia bukan Sang Pemilik Kehidupan. Namun ada getaran aneh yang membuat hatinya ngilu ketika Dokter Damar menyampaikan kabar kematian itu kepada keluarga anak muridnya. Begitu datar dan tenang. Seakan-akan ia sedang memberitakan banjir yang melanda Jakarta   tiap tahunnya.

Dokter Damar menekankan stempel namanya di atas Surat Kematian yang baru saja ditandatanganinya itu. Ia menyerahkan sebuah amplop putih panjang itu pada Nur Azmi yang sedang duduk bersisian dengan guru olahraga yang tampak begitu kuyu dan pias.
Nur Azmi menerima amplop berisi selembar Surat Kematian anak muridnya. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Nur Azmi bertanya-tanya dalam hati. Apakah Dokter Damar bakalan menyerahkan surat kematiannya suatu hari nanti? Akan sedatar inikah Dokter Damar ketika menghadapi kematiannya? Ada rasa pedih yang hinggap di hati Nur Azmi tanpa sanggup dicegah. Bukan karena ia tak menemukan jawaban dari pertanyaannya. Tetapi karena Nur Azmi tahu betul, suatu hari nanti ia akan melihat sendiri jawabannya. Sayang, ketika itu jiwa dan rohnya sudah akan berpisah dari darah-dagingnya.
“Ini saja, Dok?” tanya Nur Azmi, berusaha sadar dari pikirannya sendiri.
Dokter Damar tak paham dengan pertanyaan Nur Azmi. Namun, ia menganggukkan kepalanya, “Kalau ada yang dibutuhkan lagi nanti, bisa menghubungi ke sini,” sahut Dokter Damar dengan gamang. “Mau dibawa dengan ambulans atau langsung oleh keluarga?”
“Dekat aja rumahnya,” suara rekan kerja di sebelahnya membuat Nur Azmi menolehkan kepala. Apa yang dilihat Nur Azmi membuatnya mendadak jengah. Sudah sejak bertemu di lapangan sekolah tempatnya mengajar itu Nur Azmi menduga cengiran lebar Azriel padanya. Begitu juga sekarang. Dan ia tak suka dipandang dengan begitu mendamba oleh lelaki yang mengharapkan cinta darinya.

Sudah, sabar. Ikhlaskan saja, pasti surga balasannya buat anak murid kita itu. Kita doakan ja supaya tenang di sana. Kita bulikan sudah,” suara tinggi yang belakangan ini sering kali memperhatikan Nur Azmi itu menggetarkan gendang telinganya. Jari-jemari kokoh akibat tempaan latihan fisik itu menyentuh ujung siku Nur Azmi, membuat tubuhnya menegang. Tanda ia tak suka.
Dokter Damar menganggukkan kepalanya. Ia masih tak bisa melepaskan pandangannya dari Nur Azmi. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya. Namun pada  tiap kesempatan ia membuka mulut, lidahnya mendadak kelu. Dokter Damar seperti ditampar oleh kenyataan mengenaskan. Mengapa seorang gadis muda belia dengan penyakit yang menggerogoti dirinya itu masih bisa mengibarkan cahaya semangat hidupnya?
“Permisi dulu, Dok, terima kasih banyak,” Nur Azmi merasakan tekstur tangan Dokter Damar di dalam telapak tangannya. Sesaat lamanya Nur Azmi merasakan inti dirinya pindah ke dalam telapak tangannya. Namun, seperti arti kata selamanya bagi Nur Azmi saat ini, ia melepaskan genggaman tangannya sendiri. Nur Azmi dapat merasakan dirinya goyah dan makin lama makin kehilangan hendaya ketika ia melangkah menjauh. Meninggalkan inti dirinya yang pernah sangat hidup dalam genggaman tangan Dokter Damar.
“Azmi,” Dokter Damar bahkan tak mengenali suaranya sendiri, “kamu sehat? Jangan lupa kontrol dan jaga kesehatan,” Dokter Damar menaikkan kedua alisnya, menipiskan bibir, dan menguatkan tungkainya agar tak  makin salah tingkah.
Nur Azmi menganggukkan kepalanya, berusaha untuk tersenyum, “Terima kasih ya, Dok.” Gadis itu pun berlalu secepat  embusan angin.
 
***
Kilau rembulan di sore hari yang cerah bukan hal asing bagi langit Kotabaru. Nur Azmi memandang bentuk bulan yang sempurna itu di tengah warna biru muda. Dari tempatnya merebahkan kepala saat ini, Nur Azmi dapat melihat keseluruhan langit Kotabaru yang bakal dirindukannya seumur hidup.
Rambut hitam legam milik Nur Azmi yang lebat itu terurai di pangkuan ibundanya. Nur Azmi merasakan gerakan lembut dan lamban milik sang ibu. Belakangan ini Nur Azmi tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya.
Umur ikamkan uda sampai. Kadada lakian yang ikamhandaki kah?” suara ibu yang mulai parau itu menggetarkan dasar hati Nur Azmi, “umi lawas banar nah handak menimang cucu.
Tersentak. Nur Azmi mengejang sesaat dalam pangkuan ibunya. Tetapi Nur Azmi tersenyum dengan santai. Ia menatap ibunya dengan lembut tanpa menjawab sepatah kata pun. Nur Azmi tahu pasti arah pertanyaan ibunya. Ia juga tahu pasti harapan ibunya akan kandas di belakang hari. Ia tidak akan pernah memberikan kesempatan bagi ibunya untuk mengundang sanak saudara dan kerabat menghadiri pernikahannya. Tidak juga akan memberikan keramaian tangis dan jerit anak kecil. Riuh rendah canda tawa anak-anak hanya akan didapatkan ibunya di luar rumah. Bukan dari putri kesayangannya.
Unda sayang lawan nyawa, Umi,” sahut Nur Azmi lembut. Ia merangkul ibu yang telah ditinggalkannya selama lebih dari tujuh tahun itu seerat yang bisa dilakukannya. Nur Azmi meresapi setiap aroma kebersamaannya dengan sang ibu. Karena ia tak tahu apakah akan bisa melakukannya lagi esok hari.
Rasa penyesalan di hati Nur Azmi ada, sekalipun tak kentara. Bukan Nur Azmi namanya kalau ia tenggelam dalam rasa sesalnya. Ia tidak pulang hanya untuk menyesali kepergiannya. Apa yang telah didapatnya selama tujuh tahun di negeri orang membuat Nur Azmi tahu ada banyak hal yang bisa dilakukannya untuktiap petak Kotabaru. Ada lebih banyak semangat hidup yang bisa ditanamnya saat ini di sini. Ketimbang hanya menjadi salah satu mesin produksi anak yang menambah jumlah penduduk kota kelahirannya.

“Mi, Azmi,” suara ayahnya membuat Nur Azmi terpaksa meninggalkan pelukan nyaman ibunya, “tu nah anak-anak murid ikam datang sudah handak les,”
Nur Azmi menarik pintu kayu rumahnya. Ia menggiring senyum nakal penuh semangat anak-anak berkulit kecokelatan itu ke ruang tengah rumahnya. Di sana lah ia dikelilingi enam orang anak yang berusaha belajar bahasa internasional dengan logat lokal. Dalam setiap patah kata yang diucapkan anak-anak itu, Nur Azmi menanamkan semangat menjelajah. Menawarkan percikan-percikan keindahan rasa di luar Kotabaru. Memuaskan setiap pertanyaan lugu yang keluar dengan akhiran ‘kah’ dan ‘pang’.
Setiap detik yang dilalui oleh Nur Azmi menambah beban jantungnya. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Nur Azmi untuk menguatkan fisiknya. Di balik semua itu, Nur Azmi juga tak ingin melakukannya. Perawatan dan pengobatan dirinya tak akan banyak mengubah takdirnya sendiri. Cuma akan membuang waktu yang dimilikinya untuk menabur benih.
Nur Azmi yakin setiap detik yang dilaluinya bersama anak-anak yang punya kelebihan energi seperti saat ini lah yang memang harus dilakukannya. Dengan menabur benih semangat di tanah energi gembur milik anak-anak ini, Nur Azmi mengobati dirinya sendiri. Membuat dirinya berguna di saat-saat terakhir hidupnya.

Mengajar Bahasa Inggris di luar jam sekolah menyita nyaris seluruh waktu Nur Azmi. Caranya mengajar membuat banyak orangtua terpikat, membuahkan perubahan positif pada diri setiap anak. Kebanyakan anak murid Nur Azmi tak lagi menghitam lantaran terlalu sering terpanggang di bawah sinar matahari. Juga nyaris semuanya memperoleh prestasi di sekolah lantaran jadi lebih suka membuka buku. Rupiah demi rupiah berubah menjadi tumpukan buku.
Lima minggu satu hari setelah terakhir kali Nur Azmi menginjakkan kakinya di rumah sakit untuk transfusi darah. Ia tahu betul ada yang salah dengan tubuhnya. Yakin cacat hepar yang dideritanya akan membuat dirinya tak mampu menjalani hari ini dengan maksimal. Tetapi ada penampilan story telling dari setiap anak muridnya hari ini. Sesuatu yang sudah ditunggunya sejak satu minggu lalu. Karena ia ingin tahu  tiap mimpi yang diungkapkan dari bibir-bibir mungil itu. Pikirannya telah menari-nari di seluruh kepalanya, begitu penasaran pada apa yang dibayangkan oleh setiap bibit unggul Kotabaru tentang masa depan.
Nur Azmi yakin dirinya masih tetap ramping seperti sebelumnya. Namun ia merasa dirinya lebih berat daripada seekor gajah obesitas. Membengkak sangat. Memang begitu yang dilihatnya pada kaki kemerahan yang terjepit di antara sisi-sisi sepatu datarnya. Namun Nur Azmi tak mau kalah pada kaki gajahnya. Ia tetap melangkahkan kakinya walaupun  makin jauh ia berjalan, bertambah sesak pula dadanya.
Pintu ruang kelasnya terlihat   makin jauh. Padahal Nur Azmi sudah bersusah payah untuk mendekatinya. Ia terpaksa berhenti sejenak, bersandar pada salah satu pilar dengan cat yang sudah mengelotok. Dinding dadanya bergetar luar biasa akibat pukulan degup jantung yang tak beraturan. Namun istirahat membuat nyeri menjalar dengan sangat cepat. Berasal dari dada kirinya ke seluruh tubuhnya.

“Azmi!” Napas Azriel terengah-engah. Padahal ia bisa lari keliling lapangan bola 20 kali dan bernapas normal. Memang menjadi guru olahraga sudah pekerjaannya. Olah fisik memang sudah jadi makanan sehari-harinya. Tetapi kali ini napas Azriel memburu. Bukan karena ia tak mampu mengangkat bobot tubuh Nur Azmi. Ia ketakutan setengah mati lantaran gadis paling penuh semangat yang pernah dilihatnya itu roboh tak berdaya.
Hatinya sempat mencelos begitu melihat pintu UGD nyaris tak kelihatan. Ada begitu banyak orang berkerumun di depannya. Azriel berusaha menerobos kerumunan keluarga pasien itu. Seketika saja Nur Azmi sudah dipasangi selang oksigen. Sementara di saat yang bersamaan tangannya sudah diikat untuk mencari pembuluh darahnya. Dua perawat dengan raut wajah serius bekerja otomatis, menerapkan segala keterampilan mereka selama ini.
“Transfusi set, ya,” sebuah suara berat yang tak asing lagi di telinga Azriel berteriak dari jauh. Azriel menoleh, melihat wajah dokter yang sama dengan yang terakhir kali ditemuinya. Juga sama-sama di UGD ini juga. Melihat orang-orang yang sama di tempat yang sama pula, ketakutannya makin menjadi-jadi. Khawatir kalau Nur Azmi akan berakhir sama seperti anak murid yang dibawanya ketika itu.
“Telepon laboratorium. Cek darah lengkap,” instruksi selanjutnya dituturkan oleh Dokter Damar dengan lancar sementara sepasang tangannya yang dilindungi sarung tangan berlumur darah itu tetap bekerja.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya dan luka yang ditanganinya sudah menutup dengan sempurna akibat jahitan-jahitan panjang, Dokter Damar segera melepas sarung tangan. Ia mencuci tangan sambil memantau monitor yang terpasang di antara kaki Nur Azmi.
“Ganti masker,” Dokter Damar membilas busa sabun yang menutupi tangannya. Ia menunjuk selang di hidung Nur Azmi.
“Tolong EKG,” Dokter Damar mengeringkan tangannya. Ia menatap Nur Azmi sekilas. Segera merogoh kantong jas dokternya buat mengambil stetoskop. Jempol kanannya bergerak dengan cekatan, membuka kelopak mata Nur Azmi yang tertutup. Begitu pucat.
“Tolong ambil kartu rawat inapnya ya di pendaftaran,” Dokter Damar meminta tanpa melihat siapa yang membawa Nur Azmi. Ia tahu betul, lelaki dengan kaos olahraga dan celana training itu tak bakalan tahu apa yang tengah terjadi pada diri Nur Azmi. Pertama, karena bukan ia yang membawa Nur Azmi pertama kali. Kedua, tak ada cincin yang sama yang melingkar di jarinya dan Nur Azmi. Meyakinkan Dokter Damar bahwa lelaki itu hanyalah rekan kerja Nur Azmi. Sesama guru, sepertinya.
Dokter Damar tak suka dengan apa yang sedang dibacanya. Rekam medis Nur Azmi terdahulu tengah ia bandingkan dengan hasil laboratoriumnya sekarang. Tak ada tanda-tanda perbaikan sama sekali. Bahkan tak sama buruk. Lebih buruk daripada yang bisa diperkirakan oleh Dokter Damar. Walaupun ia tak mau mengakuinya, tetapi Nur Azmi membutuhkan lebih dari sekadar transfusi darah sekarang ini. Terapi lanjutan yang tak bisa dilakukan oleh RSUD Kotabaru. 

Cerita Selanjutnya >>>>
 

***
Rosa Amanda Salim
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?