Family
Fenomena Perokok Usia Anak, Saatnya Kita Bertindak!

31 May 2016


Foto: Stocksnap.io

Masih segar dalam ingatan kisah Aldi Rizal, bocah usia 2 tahun asal Sumatra yang merokok hingga 2 bungkus sehari. Aksinya itu terekam lewat video yang dipunggah ke Youtube. Dengan total views hingga 13 juta kali dari sejak dipunggah tahun 2010, video ini sempat mengguncang dunia. Sejak itu, Aldi terkenal sebagai The Smoking Baby. 

Kisah sedih ini rupanya masih berlanjut. Baru-baru ini, seorang wanita fotografer asal Kanada, Michelle Siu, kembali menjadikan Indonesia sebagai headline lewat sejumlah foto-fotonya yang bertajuk Marlboro Boys. Potret tersebut seharusnya menjadi tamparan bagi kita, ada bahaya nyata yang mengancam 80 juta anak-anak Indonesia (tak menutup kemungkinan termasuk anak-anak kita), dari potensi menjadi perokok, bahkan sejak usia dini.    

Dari website pribadi Michelle (www.michellesiu.com), kita bisa menemukan seri project foto Marlboro Boys yang menjadi perbincangan di media asing itu. Hasil jepretannya adalah tentang anak-anak kecil dari berbagai daerah di Indonesia tengah mengisap asap rokok, selihai orang dewasa. 
Ada beberapa bocah berseragam SD, merokok di rumahnya. Dua anak berseragam SMP merokok di angkot dalam perjalanan ke sekolah. Yang paling memprihatinkan adalah foto Dihan Muhammad, bocah kecil asal Garut yang tengah berselonjor di sofa ruang tamunya sambil merokok, sementara di sebelahnya ada sang ibu yang sedang menyusui adik bayinya.  

“Mereka mengisap dan mengembuskan rokok seperti halnya orang dewasa yang sudah merokok bertahun-tahun. Tak sedikit dari mereka yang menghabiskan dua bungkus sehari sejak usia dini,” tutur Michelle, seperti yang dilansir oleh majalah TIME.  

Tapi, apakah jepretan Michelle menggambarkan representasi kehidupan anak dan rokok di Indonesia? Menurut hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, tahun 2013, terungkap fakta bahwa tingkat konsumsi rokok pada anak-anak usia 10-14 tahun  masuk kategori sangat tinggi. Konsumsi rokok kelompok usia ini mencapai 8 batang per hari atau 240 batang sebulan. 

Dalam 10 tahun terakhir, jumlah perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat, dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 17,5% pada tahun 2010. Pada periode yang sama, jumlah perokok usia 15-19 tahun juga meningkat, dari 58,9% menjadi 63,7%. Data ini menunjukkan kenaikan yang signifikan pada menguatnya jumlah perokok di kalangan muda, dan khususnya yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah perokok pemula pada anak-anak. 

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013, perokok aktif mulai dari usia 10 tahun ke atas berjumlah lebih dari 58 juta. Adapun, perokok dari usia 10-14 tahun, jumlahnya mencapai 4 juta jiwa, dan setiap tahunnya angka ini terus meningkat. Di saat angka perokok turun drastis di negara Barat, di sini justru sebaliknya. Rasanya tak berlebihan jika Michelle menyebut masyarakat kita adalah masyarakat rentan. Merokok telah berurat akar dalam budaya Indonesia. Menurut WHO tahun 2013, sebanyak 67% pria Indonesia adalah perokok. Masalah rokok memang tak sesederhana yang kita bayangkan. 

“Akar tingginya konsumsi tembakau di Indonesia sangat kompleks, terkait dengan budaya, politik, dan ekonomi. Hanya dalam 10 langkah, kita bisa melihat iklan rokok atau orang yang merokok di mana-mana,” tutur Michelle. 
         
Ketika kasus Aldi Riza terangkat, jurnalis asal Australia, Christof Putzel, sebelumnya juga pernah melakukan investigasi tentang perokok anak di Indonesia lewat video dokumenternya berjudul Sex, Lies, and Cigarette.  


Christof menyebut, Amerika yang menjadi negeri yang melahirkan ikon cowboy dalam iklan rokok, hingga disebut sebagai ‘Negara Marlboro’. Keberadaan iklan televisi tersebut menunjukkan kejayaan rokok pada masa itu. “Kita bisa merokok di mana saja. Bintang film, politikus, bahkan dokter, semua merokok,” ungkap Christof. Faktanya, di tahun ‘60-an, bisa dikatakan separuh orang dewasa di Amerika merokok. 

Iklan cowboy itu kini sudah tak ada lagi di negeri asalnya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, genderang perang terhadap rokok sangat gencar. Berbagai kampanye dan kebijakan dibuat untuk menekan angka perokok. Di New York misalnya, tak ada lagi tempat publik yang bisa dipakai untuk merokok. Iklan rokok berupa baliho pun tak boleh ada sama sekali. 

Untuk konsumen, mereka yang boleh membeli rokok haruslah berusia 18 tahun ke atas. Tak hanya itu, harga rokok juga dinaikkan berlipat-lipat. Jika sebelumnya harga rokok 1 bungkus bisa diperoleh dengan harga 6 dolar AS (sekitar Rp72.000), maka sekarang setidaknya harus merogoh kocek minimal 12 dolar AS (sekitar Rp144.000) per bungkus. 

Hasilnya? Pada tahun 2007, jumlah perokok di Amerika mencapai tingkat terendah dalam 40 tahun, yakni di bawah 20%. Angka ini membuat produsen rokok  mengalihkan pasar mereka ke negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Dalam kurun waktu seabad, rokok bisa membunuh 1 miliar manusia. Dan, 80% di antaranya adalah penduduk negara berkembang. 

Dalam skala dunia, Indonesia adalah pasar industri tembakau kelima terbesar. Hingga kini, Indonesia menjadi salah satu negara yang belum bergabung dalam kesepakatan internasional WHO Framework Convention on Tobacco Control, yang sudah diikuti oleh 179 negara. Tingginya jumlah perokok di Indonesia, dan temuan adanya smoking baby ini membuat Christof pun menyebut Indonesia sebagai ‘The New Marlboro Country’. (f)


Topic

#HariTanpaTembakau

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?