Career
Mengintip Profesi Peneliti

8 Jun 2016


Foto: 123RF

Tak dipungkiri, masalah klasik seperti  kurangnya dukungan dana, infrastruktur, hingga penghargaan masih menjadi kendala peneliti-peneliti di Indonesia. Tapi,  Dr. Prihartini Widiyanti, drg, M.Kes. (40), Dr. Ratih Asmananingrum (35), dan Olivia Mayasari Tandrasasmita M.Sc. (31), yang memilih menjadi peneliti di dalam negeri, mengaku optimistis. Bekal ilmu pengetahuan, pengalaman, dan prestasi terbaik membuat ketiganya yakin bahwa dunia penelitian Indonesia bisa bersaing di kancah internasional.   

 
Tidak Terikat
Dr. Prihartini Widiyanti, drg, M.Kes (40), Peneliti & Dosen Senior Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya, Finalis Kompetisi Wanita Karier Femina 2016
 
Walau berprofesi sebagai dokter gigi umum, waktu saya lebih banyak dihabiskan sebagai peneliti di Institut of Tropical Disease (ITD) dan menjadi dosen di Program Studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Universitas Airlangga (UNAIR).
           
Berdiri tahun 1992, ITD berada di bawah Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR. ITD diketuai oleh chariman dan semua fakultas di UNAIR boleh bergabung menjadi peneliti di sini. Karena sifatnya terbuka, tiap peneliti bebas untuk menciptakan pohon penelitian sendiri. Kami juga bisa terlibat dengan projek di instansi berbeda.
 
Saat ini saya tengah menekuni penelitian di dua cabang ilmu, yaitu penyakit tropik dan biomaterial. Dicabang penyakit tropic saya meneliti derajat keparahan stadium HIV melalui tumbuhnya jamur di rongga mulut. Hingga saat ini, secara in vitro (perocobaan lab) obat yang kami teliti terbukti mampu menonaktifkan virus. Namun, obat ini perlu naik ke tahap in vivo, yakni menggunakan medium hewan untuk percobaan.
 
Di sinilah kendalanya. Karena obat ini tidak bisa dicoba ke golongan tikus atau kelinci --obat HIV harus dicobakan ke golongan primata-- saya dan tim di ITD masih menunggu proses untuk bisa naik ke tahap in vito. Tiap penelitian memang butuh proses yang panjang. Mengingat  obat akan digunakan manusia, maka  tahap ujinya harus berlapis. Mulai dari tahap awal in vitro, in vivo, pre-clinical, clinical phase, hingga tahap commercial.
 
Namun, bukan berarti semua penelitian yang sudah lolos tahap akhir, commercial, dapat langsung bermanfaat, karena tak jarang kami juga menemukan kendala dalam proses produksi. Contohnya, salah satu produk penelitian berupa lampu halogen sudah lolos semua tahap, tapi sebenarnya lampu tersebut sudah ditawarkan ke BUMN, namun hingga kini belum diproduksi.

 
Menjadi Garda Depan
Dr. Ratih Asmananingrum (35), Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pemenang Penghargaan L’oreal –UNESCO For Women in Science National 2013
Ketika lulus seleksi peneliti di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) tahun 2005, saya merasa keputusan menjadi peneliti profesional sudah tepat. Jenjang karier di LIPI cukup jelas, mulai dari peneliti pertama, peneliti muda, peneliti madya, peneliti utama, hingga profesor riset. Saat ini saya adalah peneliti muda yang sedang mengajukan kenaikan karier ke tingkat madya.  
           
Anggapan bahwa profesi peneliti itu membosankan, menurut saya kurang tepat. Profesi ini justru sangat dinamis. Begitu pula soal penghargaan, dibandingkan 10 tahun lalu, rasanya kini kesejahteraan peneliti Indonesia sudah jauh lebih baik. Baik dalam hal pendapatan maupun dukungan dana penelitian. Di LIPI, misalnya, seorang peneliti akan mendapat tunjangan jabatan fungsional dan tunjangan kinerja.
           
Selain itu, lembaga swasta juga mulai aktif mendukung dana penelitian. Meski belum bisa menyamai kesejahteraan peneliti di luar negeri, rasanya hal ini menjadi angin segar yang mendorong kemajuan dunia penelitian di Indonesia.
 
Memang, ketika melakukan penelitian  kita bisa saja menemukan kesulitan atau keterbatasan. Soal ketersediaan alat, misalnya. Di LIPI, alat-alat penelitian cukup memadai hanya di tahap awal. Ketika penelitian harus mencapai tahap akhir, alat-alatnya kurang mendukung. Makanya, penelitian tahap akhir biasanya diselesaikan dengan cara bekerja sama dengan instansi lain yang memiliki alat-alat lebih lengkap. Kendala ini harus dihadapi dengan pikiran terbuka.
 
Saat ini, saya sedang meneliti obat kanker dan hepatitis berbasis protein rekombinan, yaitu interferon alpha 21, bekerja sama dengan Dr. A. Zaenal Mustopa dari STMIK AMIKOM Yogyakarta, dan Prof. Partomuan Simanjuntak dari Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI. Produk penelitian ini diharapkan dapat meringankan beban pasien, mengingat lamanya terapi hepatitis bisa mencapai 48 minggu.

 
Perlu Idealisme dan Komitmen
Olivia Mayasari Tandrasasmita M. Sc. (31), Associate Principal Scientist Manager  PT Dexa Medica, Finalis Kompetisi Wanita Karier Femina 2016
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya tak pernah merasa kesulitan bermain dengan angka dan rumus. Makin sulit soal mata pelajaran sains, saya justru  makin tertantang memecahkan jawabannya. Hingga akhirnya saya menemukan keasyikan saat berkutat membedah rumus dan terlibat dalam proses penelitian di laboratorium.
 
Di tahun terakhir masa kuliah di S-1 Jurusan Bioteknologi, Fakultas Teknobiologi, Universitas Atmajaya, saya sudah diterima bekerja di Dexa Medica sebagai scientist. Tugas saya saat itu sebagai scientist assistant.  Kini, setelah 10 tahun bekerja di Dexa Medica, saya dipercaya menjadi Associate Principal Scientist Manager.
 
Sebagai peneliti, tugas saya adalah mencari tahu mekanisme kerja dan fungsi suatu obat. Secara tidak langsung kita dituntut untuk selalu ingin tahu dan punya hasrat tinggi dalam melakukan riset. Saya orangnya cukup idealis dan tak mau pindah jalur. Perusahaan tempat saya bekerja ini punya komitmen penuh untuk melakukan riset sejak awal.
 
Berbeda dengan peneliti independen, yang biasanya harus mengajukan proposal lebih dulu untuk mendapatkan dana penelitian. Tak dipungkiri, menjadi peneliti di perusahaan, research fund bukanlah kendala karena semuanya didukung oleh manajemen.
 
Namun, tingkat turn over yang tinggi dapat memengaruhi proses penelitian. Apalagi, suatu proyek penelitian biasanya memakan waktu selama 1 hingga 3 tahun, jadi butuh tim yang solid. Untuk itu, perlu komitmen tinggi untuk bertahan di perusahaan.
 
Sebagai peneliti, ada kebanggaan tersendiri ketika penelitian kita bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh orang lain. Seperti ketika hasil penelitian saya, inlacin (obat diabetes) diluncurkan di pasaran. Waktu lima tahun saya habiskan untuk meneliti obat ini, terbayar ketika obat tersebut dijadikan rekomendasi utama para dokter spesialis kandungan untuk terapi pasien dengan polycytic ovary syndrome. (f)
 
 


Topic

#peneliti

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?